8 Jan 2015

Ludwig Andreas von Feuerbach

Ludwig Andreas von Feuerbach (lahir di Landshut, Bavaria, 28 Juli 1804 – meninggal di Rechenberg dekat Nürnberg, Kekaisaran Jerman, 13 September 1872 pada umur 68 tahun) adalah seorang filsuf dan antropolog Jerman. Ia adalah anak laki-laki keempat dari hakim terkemuka Paul Johann Anselm Ritter von Feuerbach.

Pendidikan

Feuerbach lulus dari Universitas Heidelberg dan bermaksud untuk melanjutkan kariernya di Gereja. Karena pengaruh Prof. Karl Daub ia kemudian mengembangkan minat dalam filsafat Hegel yang dominan waktu itu dan, meskipun ditentang oleh ayahnya, ia melanjutkan ke Berlin untuk belajar di bawah bimbingan sang empu sendiri. Setelah belajar selama dua tahun, pengaruh Hegelian mulai melemah. Feuerbach kemudian berhubungan dengan kelompok yang dikenal sebagai Hegelian Muda, yang mensintesiskan cabang yang radikal dari filsafat Hegel. Tulisnya kepada seorang teman, "Aku tidak dapat lagi memaksakan diriku untuk mempelajari teologi. Aku rindu menyelami alam dalam jiwaku, alam yang di hadapan kedalamannya sang teolog yang kecil hati menjadi kecut hati; dan dengan manusia alamiah, manusia di dalam kualitas keseluruhannya." Kata-kata ini menjadi kunci bagi perkembangan Feuerbach. Ia menyelesaikan pendidikannya di Erlangen di Universitas Friedrich-Alexander, Erlangen-Nuremberg dalam studi ilmu alam.

Tulisan-tulisan awal

Bukunya yang pertama, yang diterbitkannya secara anonim, Gedanken über Tod und Unsterblichkeit (1830), memuat serangan terhadap keabadian pribadi dan pembelaan terhadap keabadian Spinozistis berupa penyerapan kembali ke dalam alam. Prinsip-prinsip ini, ditambah dengan sifatnya yang pemalu untuk berbicara di depan umum, menghalangi perkembangan akademisnya. Setelah beberapa tahun berjuang -- pada waktu itu ia menerbitkan bukunya Geschichte der neueren Philosophie (2 jilid, 1833-1837, ed. ke-2 1844), dan Abelard und Heloise (1834, ed. ke-3 1877), ia menikah pada 1837 dan tinggal di pedesaan di Bruckberg dekat Nuremberg, didukung oleh usaha istrinya berupa pabrik porselin kecil.
Dalam dua bukunya dari periode ini, Pierre Bayle (1838) dan Philosophie und Christentum (1839), yang pada umumnya membahas teologi, ia berpendpat bahwa ia telah membuktikan "bahwa Kekristenan pada kenyataannya telah lama lenyap bukan hanya dari nalar tetapi dari kehidupan umat manusia, bahwa ia tidak lebih daripada sebuah gagasan yang telah mapan." Pernyataan ini sangat kontradiktif dengan ciri-ciri khas peradaban yang sezaman.

Das Wesen des Christentums (Intisari Kekristenan)

Serangan ini diikuti dalam karyanya yang terpenting, Das Wesen des Christentums (1841), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (The Essence of Christianity, oleh George Eliot, 1853, ed. ke-2 1881), bahasa Perancis dan Rusia. Tujuannya dapat digambarkan secara singkat sebagai upaya untuk memanusiawikan teologi. Ia menyatakan bahwa manusia, bagi dirinya sendiri, sejauh bahwa ia rasional, adalah obyek pikirannya sendiri.
Agama adalah kesadaran tentang yang tidak terhingga. Karena itu agama "tak lain daripada kesadaran akan ketidakterbatasan kesadaran, dalam kesadaran akan yang tidak terhingga, atau, dalam kesadaran tentang yang tidak terhingga, subyek yang sadar obyeknya adalah ketidakterbatasan dari hakikatnya sendiri." Jadi Allah tidak lebih daripada manusia: dengan kata lain, ia adalah proyeksi luar dari hakikat batin manusia sendiri.
Tema Feuerbach adalah turunan dari teologi spekulatif Hegel yang menyatakan bahwa Ciptaan tetap merupakan bagian dari sang Pencipta, sementara sang Pencipta tetap lebih besar daripada Ciptaan. Ketika masih mahasiswa Feuerbach pernah menyajikan teorinya ini kepada Profesor Hegel, namun Hegel menolak untuk menanggapinya secara positif..
Pada bagian I dari bukunya Feuerbach mengembangkan apa yang disebutnya what "pengertian sejati atau antropologis agama." Ia memperlakukan Allah dalam berbagai aspeknya "sebagai keberadaan dari pemahaman,” "sebagai keberadaan atau hukum moral," "sebagai cinta kasih" dan seterus. Dengan demikian Feuerbach memperlihatkan bahwa dalam segala aspek Allah sesuai dengan suatu ciri atau kebutuhan dari sifat manusia. "Bila manusia ingin menemukan kepuasan di dalam Allah," katanya, "ia harus menemukan dirinya di dalam Allah." Dalam bagian 2 ia membahas "hakikat yang palsu atau teologis dari agama," artinya, pandangan yang menganggap Allah mempunyai memiliki keberadaan yang terpisah di luar manusia. Karena itu muncullah berbagai keyakinan yang keliru, seperti keyakinan akan wahyu yang diyakininya tidak hanya merusakkan pemahaman moral, tetapi juga "meracuni, tidak, bahkan menghancurkan, perasaan yang paling ilahi dalam manusia, pengertian tentang kebenaran," dan keyakinan akan sakramen seperti misalnya Perjamuan Kudus, yang baginya merupakan sepotong materialisme keagamaan yang "konsekuensinya mau tak mau adalah takhyul dan imoralitas."
Meskipun banyak orang menganggap bukunya Intisari Kekristenan ditulis dengan gaya yang sangat baik dan isinya penting, buku ini tidak pernah menimbulkan kesan yang mendalam terhadap pemikiran di luar Jerman. Perlaukan Feuerbach terhadap bentuk-bentuk agama yang sesungguhnya sebagai ungkapan berbagai kebutuhan manusia kita secara fatal diperlemah oleh suyektivismenya. Feuerbach menyangkal bahwa ia layak disebut seorang ateis, namun penyangkalan ini tinggal penyangkalan. Apa yang disebutnya “teisme” adalah ateisme dalam pengertian sehari-hari. Feuerbach bekerja keras dalam kesulitan yang sama seperti Fichte; kedua pemikir ini berjuang dengan sia-sia untuk mempertemukan kesadaran keagamaan dengan subyektivisme.
Sebuah kritik tajam terhadap Feuerbach disampaikan pada 1844 oleh Max Stirner. Dalam bukunya Der Einzige und sein Eigentum (Ego dan Dirinya Sendiri) ia menyerang Feuerbach yang dianggapnya tidak konsisten dalam ateismenya. Bagian-bagian yang relevan dari buku-buku itu, jawaban Feuerbach, dan jawaban balik Stirner merupakan polemik yang instruktif. (lihat Pranala luar)

Pemikiran-Pemikiran Singkat Ludwig Feuerbach
1 Menuju filsafat Modern
            Ludwig Feuerbach mendasarkan dan memusatkan penyelidikan filsafatnya hanya pada pengalaman yang konkret (indrawi) atau empiris. Filsafat yang berlandaskan kenyataan konkret (indrawi) adalah principil. Hal ini disebabkan karena hal-hal yang empiris menjanjikan kepastian dan kemantapan dalam berfilsafat. Ia menyimpulkan bahwa kebenaran, kenyataan, dan keindahan adalah identik. Keidentikan ini membawa sebuah konsekuensi bagi filsafat, yakni pengalaman indrawi adalah asas untuk berfilsafat. Berangkat dari filsafatnya ini ia mengkritik filsafat hegel yang dianggapnya “ketinggalan zaman” karena Hegel dianggap menekankan roh, kesadaran atau akal budi. Hal ini dianggap tidak konkret (indrawi) terutama dalam menjelaskan seluruh realitas (termasuk manusia dan sejarahnya). Baginya cara berpikir Hegel hanyalah spekulatif melulu.[12]
2 Kritik Feuerbach terhadap Filsafat Roh Hegel
Dalam sebuah karyanya yang berjudul Das Wesen des Christentums (Esensi Agama Kristen), Ludwig Feuerbach memutarbalikan cara berpikir Hegel tentang hubungan dialektik antara manusia dengan Roh Absolut (Allah). Bukan pandangan Hegel mengenai Roh (Allah) sebagai hakekat riil absolut yang membawa ataupun menuntun dirinya sendiri, melainkan manusialah realitas sejati. Jadi, tesis utamanya adalah “Rahasia teologi adalah antropologi” (baca: ilmu tentang Allah adalah ilmu tentang manusia).[13] Dari keterangan ini Ludwig Feuerbach mengarahkan filsafat Hegel (idealisme) kepada filsafatnya. Filsafat Hegel tidaklah cocok dengan kenyataan konkret (indrawi). Alam material adalah kenyataan akhir.[14]
 Pemikiran Ludwig Feuerbach ini digunakan untuk menyerang agama Kristen pada khususnya.  Agama hadir karena aspirasi yang ada pada diri manusia. Aspirasi ini mendorong batin manusia menuju kepada kesempurnaan. Kesempuranaan itu hadir dalam nilai-nilai ideal seperti kebijaksanaan, cinta kasih tanpa pamrih, perasaan keadilan.[15]
            Kepercayaan manusia terhadap Allah dalam agama itu berasal dari keinginan hati manusia. Keterbatasan-keterbatasan dalam diri manusia menuntun manusia keluar dari dirinya melalui imajinasinya untuk membayangkan Wujud tertinggi (sempurna) yaitu Allah sendiri.[16] Ludwig Feuerbach bertitik tolak dari pandangan ini untuk menjelaskan bahwa agama sebagai teori proyeksi manusia. Dalam agama sebagai kepercayaan kepada Allah, manusia sebenarnya melemparkan esensi dan sifat-sifatnya sendiri ke luar diri manusia itu sendiri, kemudian memandangnya sebagai entitas yang otonom. Entitas yang otonom inilah yang dianggap sebagai Allah. Feuerbach menjelaskan demikian “ Allah itu mahatahu...., manusia sebenarnya hanya memenuhi dambaannya untuk dapat mengetahui segala sesuatu”.[17]
3 Kesadaran Manusia
            Menurut Ludwig Feuerbach manusia memiliki totalitas hakikat manusia yang sejati. Hal itu terungkap dalam akal budi, kehendak dan hati yang ada pada diri manusiawi. Pendapat ini seolah menerima kenyataan lain di luar empiris. Namun kesan ini tidaklah benar karena hati berkaitan dengan cinta atau perasaan. Hati yang berkaitan dengan cinta atau perasaan dikategorikan ke dalam bidang pengalaman konkret (indrawi). Apakah akal budi dan kehendak itu kenyatan rohaniah? Ia mengatakan bahwa akal budi dan kehendak adalah akativitas jiwa, namun sifatnya bukan empiris karena jiwa itu sendiri satuan menyeluruh dari semua indra. Keindrawian adalah hakekat manusia.[18]
            Kenyataan yang konkret itu adalah alam material. Alam material dapat diketahui oleh pikiran; objek dapat diketahui melalui subjek yang sadar. Alam material adalah dasar bagi kesadaran. Manusia mampu membedakan dirinya dari alam dan manusia mampu merefleksikan dirinya.[19] Ketika manusia mampu merefleksikan dirinya, ternyata manusia sadar bahwa dirinya mempunyai keterbatasan-keterbatasan.[20]
4.   Kritik Feuerbach atas Agama
Kritik terhadap agama adalah puncak pemikiran Feuerbach. Dalam bukunya Das Wesen des Christentums (Hakekat Agama Kristen), ia mulai “menelanjangi” keberadaan agama, secara khusus agama Kristen, berdasarkan pandangan dan argumen-argumen filosofisnya. Berangkat dari pandangannya mengenai manusia (kesadaran), yang merupakan perkembangan kritiknya atas  Hegel dan disertai dengan argumen  D.F. Strauss tentang keagamaan,  Feuerbach mencoba meneliti lebih dalam perihal agama dengan metode empiris. Dengan cara pandang empiris itu, ia condong meneliti unsur-unsur psikologis yang tampak dalam realitas agama sebagaimana pernah dilakukan oleh Sigmund Freud sebelumnya.
Sesuai dengan pendapat Hegel mengenai proyeksi diri manusia, Feuerbach melihat bahwa proyeksi dari diri manusia terjadi di dalam agama. Manusia mulai melihat kenyataan material dirinya yang terbatas. Dengan menyadari itu, manusia, dengan rasio, kehendak, dan hatinya, mulai membayangkan sesuatu yang tak terbatas dan begitu sempurna, yang bisa diidealisasikan hingga tak terhingga. Bayangan atau proyeksi ini adalah semata-mata hakikat manusia. Namun, agama membuat proyeksi ini sebagai sesuatu yang lain di luar diri manusia. Agama menciptakan suatu alienasi yang berdiri sendiri di luar diri manusia dan agama menyatakannya sebagai Tuhan. Salah satu contohnya ialah ide Kristiani mengenai inkarnasi. Menurut Feuerbach, ide tentang inkarnasi tak lebih daripada suatu refleksi atas impian seorang manusia yang ingin menjadi Tuhan dan realisasinya hanya bisa diraih melalui cinta sejati. Dalam agama, proyeksi itu akhirnya disembah dan dipuja. Dengan kata lain, agama adalah penyembahan manusia terhadap hasil ciptaan manusia itu sendiri, sebagaimana diungkapkan dalam kutipan berikut : 
            “Agama, sekurang-kurangnya agama Kristiani, adalah kelakuan manusia terhadap dirinya sendiri, atau lebih tepat: terhadap hakekatnya sendiri, akan tetapi kelakuan terhadap hakekatnya seperti terhadap makhluk lain. Hakekat Ilahi bukan lain hakekat manusia, atau lebih tepat: hakekat manusia yang dipisahkan dari batas-batas manusia individual, jadi nyata, jasmani, yang diobjektifkan, artinya dipandang dan dipuja sebagai makhluk lain yang berbeda daripadanya – maka dari itu semua ciri hakekat Ilahi adalah ciri hakekat manusia.”
Bagi Feuerbach, kemanusiaan, yang diproyeksikan pada sosok Allah dalam agama, merupakan sesuatu yang positif karena melalui kemanusiaan, manusia bisa melihat hakikatnya yang sebenarnya. Namun, kesadaran manusia akan hal itu justru ditenggelamkan oleh kekuatan dogma-dogma agama. Akibatnya, manusia lupa bahwa proyeksi itu adalah dirinya sendiri dan manusia menganggap proyeksi itu sebagai sesuatu yang real. Manusia menjadi terasing dengan hakikatnya sendiri bahkan takut dan menjadi lumpuh di hadapan proyeksinya sendiri. Manusia memohon berkah dari proyeksinya secara pasif tanpa ada upaya realisasi atas potensi-potensi yang ia miliki. Agama adalah batu sandungan bagi kemajuan, ilmu pengetahuan, pencerahan, kedewasaan, dan kebebasan manusia.
Kesadaran manusia adalah satu-satunya kunci untuk mencapai kemanusiaan dan satu-satunya jalan untuk mencapai kesadaran ialah meniadakan agama dan membuangnya jauh-jauh. Dengan kesadarannya, manusia membuka matanya akan apa yang selama ini ia sembah. Dengan kesadaran itu juga, ia memulai hidup dengan tujuan yang satu, yakni menjadi dirinya sendiri tanpa campur tangan Tuhan dan agama. Dengan kesadarannya, manusia tidak lagi berteologi. Teologi harus menjadi antropologi, sebagai buah kesadaran manusia akan dirinya dan realitas agama. Segala predikat yang dikenakan oleh teologi kepada Allah (Mahaagung, Mahakuasa, dan sebagainya) dapat dipertahankan, asal subjeknya diganti dengan manusia.  Harapan Feuerbach ialah dengan menyadari itu semua, manusia secara umum dapat merealisasikan dirinya secara optimal dan secara khusus dapat mewujudkan dirinya sebagai mahkluk sosial, yang tidak seperti seorang beragama yang sering intoleran dan fanatik.

0 comments:

Post a Comment