Tiap kekasih pasti merindukan perjumpaan dengan kekasihnya. Itulah tanda
cinta yang tertanam dalam jiwa. Bahkan, tidak ada seorang kekasih yang
ingin berpisah dengan kekasihnya, walau sekejap. Cintalah yang membuat
Mu’adz bin Jabal, tak kuasa mengayunkan langkahnya, saat mendengar Nabi
saw menuturkan perjumpaannya yang terakhir dengannya, ketika hendak
melepasnya ke Yaman.
ilustrasi |
Saat itu Mu’adz sudah naik di atas punggung tunggannya, Nabi berjalan
kaki di bawah Mu’adz. Baginda saw. bertutur kepadanya, “Sesungguhnya
Engkau, wahai Mu’adz, boleh jadi tidak akan bertemu denganku lagi
setelah tahun ini. Maka, datangilah kubur dan masjidku.” Mu’adz pun tak
kuasa menahan tangisnya. Menangis sejadi-jadinya, karena hendak berpisah
dengan baginda saw.
Seolah langit hendak runtuh. Badannya terasa lemas. Kakinya pun sulit
digerakkan. Karena tidak sanggup berpisah dengan kekasihnya, Muhammad
saw. Air mata pun berderai membasahi kedua pipi Mu’adz. Ketakutan bukan
hanya berpisah di dunia, tetapi juga di akhirat.
Seorang lelaki datang kepada Nabi saw. seraya berkata, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Engkau lebih aku cintai, ketimbang diriku,
keluargaku dan anakku. Sungguh, jika aku berada di rumah, aku selalu
mengingatmu, dan tidak sabar rasanya hingga aku bertemu denganmu, dan
melihatmu. Jika aku ingat mati, dan Engkau juga wafat, aku tahu bahwa
Engkau pasti masuk surga, dan diangkat derajatmu bersama para Nabi.
Sementara aku, jika pun aku masuk surga, aku khawatir tidak lagi
melihatmu. Nabi saw pun tidak menjawab sepatah kata pun, hingga Malaikat
Jibril menurunkan ayat:
وَمَن يُطِعِ اللـهَ وَالرَسولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذينَ أَنعَمَ اللـهُ عَلَيهِم مِّنَ النَبيينَ
“Siapa saja yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka akan
bersama-sama orang-orang yang mendapatkan nikmat dari Allah, yaitu para
Nabi.” (Q.s. an-Nisa’ [04]: 69)
Begitulah cinta mereka kepada Nabi saw. Sampai ada seorang ibu yang
dengan sengaja memberikan anaknya, sebagai wujud cintanya kepada Nabi,
agar anak itu bisa membantu baginda saw. Anak itu tak lain adalah Anas
bin Malik. Anas menuturkan kisah hidupnya, “Ummu Sulaim memegang
tanganku, dan membawaku kepada Rasulullah saw. seraya berkata, ‘Wahai
Rasulullah, ini anakku. Dia anak yang bisa menulis.’ Dia (Anas) berkata,
‘Aku membantu baginda saw. selama 9 tahun. Baginda saw. tidak pernah
mengomentari sedikit pun apa yang aku lakukan. Apakah aku melakukan
keburukan, atau buruk apa yang aku lakukan.” Anas bin Malik tiba di
Madinah, saat berusia 10 tahun. Membantu Nabi saw sejak berusia 11
tahun, dan ketika baginda saw. wafat, Anas berusia 20 tahun.
Cintalah yang kelak akan mempertemukan seseorang dengan kekasihnya di
akhirat. Anas bin Malik menuturkan sebuah hadits, “Sesungguhnya engkau
akan bersama siapa saja yang engkau cintai.” Dalam penuturannya yang
lain, Anas menyatakan, “Belum pernah aku begitu gembira setelah memeluk
Islam melebihi kegembiraanku karena sabda Nabi saw ini.” Karena itu,
lanjutnya, “Aku mencintai Allah, Rasul-Nya, Abu Bakar dan ‘Umar, dengan
harapan kelak aku bisa bersama-sama mereka, meski aku belum mampu
melakukan perbuatan sebagaimana perbuatan mereka.”
Mencintai Nabi saw, bukanlah cinta yang lahir dari naluri seksual
(gharizatu an-nau’), tetapi lahir dari naluri beragama (gharizatu
at-tadayyun). Karena, kecintaan kita kepada baginda saw merupakan
manifestasi dari keimanan kita pada risalah dan kerasulan baginda saw.
Karena itu, Nabi saw. bersabda:
«لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ»
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian, hingga aku lebih dia
cintai, melebihi cintanya kepada orang tuanya, anaknya, dan seluruh umat
manusia.”
Apa yang ditunjukkan oleh Mu’adz bin Jabal, Ummu Sulaim, ibunda Anas dan
Anas bin Malik sendiri adalah kekuatan cinta yang terpancar dari
keimanan mereka kepada risalah dan kerasulan Nabi saw. Itulah cinta.
Cinta inilah yang membawa kerinduan yang begitu mendalam kepada sosok
yang kita cintai.
Perasaan itulah yang selalu menggelayuti pikiran dan hati kita, saat
kita hendak menuju ke Madinah, kota suci Nabi (haram an-Nabî), rumah dan
tempat peristirahatan terakhir kekasih kita, Nabi Muhammad saw.
Bayangan kita langsung menerawang kepada sosok agung, manusia sempurna
dan ma’shûm itu. Kita membayangkan, seolah Nabi saw sudah siap menyambut
kita di Madinah, sebagaimana yang sabda baginda saw:
«مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِي بَعْدَ وَفَاتِي فَكَأَنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي»
“Siapa saja yang telah menunaikan ibadah haji (di Baitullah), kemudian
menziarahi kuburku, setelah aku wafat, maka dia seperti mengunjungiku
ketika aku masih hidup.”
Tidak hanya itu, Nabi saw pun menyatakan akan menjawab langsung tiap
salam yang kita sampaikan kepada baginda, ketika kita menziarahi kubur
baginda saw.
«مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ عِنْدَ قَبْرِي إلا رَدَّ اللَّهُ عَلَيَّ رُوحِي حَتَّى أَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلامَ»
“Tidak seorang pun yang mengucapkan salam kepadaku di kuburku, kecuali
Allah pasti mengembalikan ruhku kepadaku, hingga aku menjawab salamnya.”
Lalu kita pun berpikir, apa kira-kira oleh-oleh yang pantas kita
persembahkan kepada Nabi? Nabi saw jelas tidak membutuhkan oleh-oleh
dalam bentuk materi. Kita pun tidak mungkin membawakan Nabi saw.
oleh-oleh seperti itu. Maka, oleh-oleh yang harus kita persembahkan
kepada Nabi itu tak lain adalah “shalawat”. Karena itulah yang baginda
saw harapkan:
«مَنْ صَلَّى عَلَيَّ مَرَّةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْراً»
“Siapa saja yang mengucapkan shalawat untukku sekali, maka Allah akan membalasnya sepuluh kali.”
Bahkan Nabi saw. juga bersabda:
«إنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِي يَوْمَ القِيَامَةِ أكْثَرُهُمْ عَلَيَّ صَلاةً»
“Sesungguhnya orang yang paling dekat denganku pada Hari Kiamat kelak
adalah mereka yang paling banyak membaca shalawat untukku.”
Maka, ketika kita hendak memasuki Madinah, kota suci Nabi saw., dan
hendak menziarahi baginda saw. maka tak henti-hentinya shalawat kita
panjatkan. Mulai dari yang pendek:
«صَلَّى اللَّهُ عَلَىٰ مُحَمَّدٍ»
“Semoga ampunan dan kasih sayang Allah tetap tercurah kepada (kekasihku) Muhammad.”
Atau:
«اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ»
“Semoga ampunan dan kasih sayang Allah tetap tercurah kepada (kekasihku) Muhammad.”
Hingga yang panjang, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi, “Kita
diperintahkan oleh Allah SWT. untuk membaca shalawat untukmu, wahai
Rasulullah. Lalu, bagaimana caranya kami membaca shalawat untukmu?”
Rasulullah saw. pun diam, hingga kami membayangkan seolah Basyir bin
Sa’ad tidak pernah bertanya kepada baginda saw. Kemudian baginda saw
bersabda, “Ucapkanlah:
«اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ
عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِي الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ
مَجِيدٌ»
“Ya Allah, ampunilah dan kasihilah (kekasihku) Muhammad, keluarga
Muhammad, sebagaimana Engkau berikan ampunan dan kasih sayang kepada
keluarga Ibrahim. Berkatilah Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana
Engkau berkati keluarga Ibrahim di seluruh dunia. Engkaulah Dzat yang
Maha Terpuji dan Mulia.”
Iya, itulah “oleh-oleh” yang kita persembahkan untuk kekasih kita, Nabi
Muhammad saw. ketika kita hendak menuju ke Madinah, menziarahi makam
baginda saw. Kerinduan yang begitu mendalam kepada Nabi, membuat kita
harus bergegas sampai di Madinah al-Munawwarah. Nabi pun selalu
melakukan hal yang sama, ketika sedang bepergian, karena cinta baginda
saw kepada Madinah.
*****
Kerinduan kita semakin membuncah, saat kita hendak memasuki kota
Madinah. Sosok manusia pilihan (al-Mukhtâr), Muhammad saw begitu
melekat, menggelayuti pikiran kita. Sosok itu semakin dekat, dan tampak
hidup, saat kita mendengar penjelasan tentang baginda saw. dari isteri
baginda tercinta, Sayyidah ‘Aisyah ra, saudara sepupu baginda, Sayyidina
‘Ali bin Abi Thalib ra, dan para sahabatnya, dan Abu Taufik, orang
terakhir yang masih hidup, yang kala itu sempat melihat sosoknya secara
langsung.
Mereka menuturkan, bahwa Nabi Muhammad saw. memiliki rambut ikal
berwarna sedikit kemerahan terurai hingga bahu. Kulitnya putih
kemerah-merahan, dengan wajah cenderung bulat, mata hitam dan bulu
matanya panjang. Tidak berkumis dan berjanggut sepanjang kepalan telapak
tangannya. Tulang kepalanya besar dan berbahu lebar. Berperawakan
sedang dan atletis. Jemari tangan dan kakinya tebal dan lentik
memanjang.
Langkahnya cenderung cepat dan tidak pernah menancapkan kedua telapak
kaki dengan langkah yang cepat dan pasti. Muhammad dicirikan sangat unik
oleh para sahabatnya. Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib ra. menuturkan,
“Rasulullah saw. tidaklah tinggi; juga tidak pendek. Telapak tangan dan
kaki baginda saw padat berisi. Baginda memiliki kepala yang agak besar
dan kuat. Bulu-bulu halus tumbuh di dada hingga pusar baginda. Jika
baginda berjalan, langkahnya seolah-olah seperti turun dari suatu
ketinggian (cepat). Saya belum pernah melihat ciri-cicri baginda saw. di
antara sahabat-sahabatnya, dan dari orang-orang yang hidup setelahnya.”
Nabi Muhammad saw. digambarkan sebagai orang yang berkulit putih dan
berjenggot hitam dengan uban. Dalam hadis lain dijelaskan, bahwa Nabi
Muhammad saw. bertubuh sedang, kulitnya berwarna cerah tidak terlalu
putih dan tidak pula hitam, dan rambutnya agak berombak. Ketika Nabi
Muhammad saw. wafat, uban yang tumbuh di rambut dan janggutnya masih
sedikit.
Sayyidina ‘Ali menambahkan, bahwa Nabi Muhammad saw. memiliki rambut
lurus sedikit berombak, berpostur tubuh tidak gemuk dan tidak terlalu
besar, berperawak baik dan tegak. Warna kulit cerah, matanya hitam
dengan bulu mata yang panjang. Persendian tulang yang kuat, dada,
tangan, dan kakinya kekar. Tidak memiliki bulu yang tebal tetapi hanya
tipis dari dada sampai pusarnya.
Jika berbicara dengan seseorang, maka ia akan menghadapkan wajahnya
kepada orang tersebut dengan penuh perhatian. Di antara bahunya ada
tanda kenabian. Muhammad orang yang baik hatinya dan paling jujur, orang
yang paling dirindukan dan sebaik-baiknya keturunan. Siapa saja yang
mendekati dan bergaul dengannya maka akan langsung merasa terhormat,
khidmat, menghargai dan mencintainya.
Hidungnya agak melengkung dan mengkilap jika terkena cahaya serta tampak
agak menonjol jika pertama kali melihatnya padahal sebenarnya tidak.
Berjanggut tipis tapi penuh rata sampai pipi. Mulutnya sedang, giginya
putih cemerlang dan agak renggang. Pundaknya bagus dan kokoh, seperti
dicor perak. Anggota tubuh lainnya normal dan proporsional. Dada dan
pinggangnya seimbang dengan ukurannya. Tulang belikatnya cukup lebar,
bagian-bagian tubuhnya tidak tertutup bulu lebat, bersih dan bercahaya,
kecuali bulu halus yang tumbuh dari dada hingga pusar.
Lengan dan dada bagian atas berbulu, pergelangan tangannya cukup
panjang, telapak tangannya agak lebar serta tangan dan kakinya berisi,
jari-jari tangan dan kaki cukup langsing. Jika berjalan agak condong ke
depan melangkah dengan anggun serta berjalan dengan cepat dan sering
melihat ke bawah dari pada ke atas. Jika berhadapan dengan orang, maka
ia memandang orang itu dengan penuh perhatian dan tidak pernah melototi
seseorang dan pandangannya menyejukkan. Selalu berjalan agak di
belakang, terutama jika saat melakukan perjalanan jarak jauh dan ia
selalu menyapa orang lain terlebih dahulu.
Dari kisah Jabir bin Samurah meriwayatkan bahwa Muhammad memiliki mulut
yang agak lebar, di matanya terlihat juga garis-garis merahnya, serta
tumitnya langsing. Jabir (ra) juga meriwayatkan bahwa ia berkesempatan
melihat Muhammad di bawah sinarrembulan, ia juga memperhatikan pula
rembulan tersebut, baginya Muhammad lebih indah dari rembulan tersebut.
Abu Ishaq mengemukakan bahwa, Bara’ bin ‘Azib pernah berkata, bahwa rona
Muhammad lebih mirip purnama yang cerah. Abu Hurairah mengatakan bahwa
Muhammad sangatlah rupawan, seperti dibentuk dari perak. Rambutnya
cenderung berombak dan Abu Hurairah belum pernah melihat orang yang
lebih baik dan lebih tampan dari Muhammad, rona mukanya secemerlang
matahari dan tidak pernah melihat orang yang secepatnya. Seolah-olah
tanah digulung oleh langkah-langkah Muhammad jika sedang berjalan.
Dikatakan jika Abu Hurairah dan yang lainnya berusaha mengimbangi
jalannya Muhammad dan nampak ia seperti berjalan santai saja.
Jabir bin Abdullah mengatakan Muhammad pernah bersabda bahwa ia pernah
menyaksikan gambaran tentang para nabi. Di antaranya adalah Musa
berperawakan langsing seperti orang-orang dari suku Shannah, dan melihat
Isa yang mirip salah seorang sahabatnya yang bernama Urwah bin Mas’ud,
dan ketika melihat Ibrahim dikatakan sangat mirip dengan dirinya sendiri
(Muhammad), kemudian Muhammad juga mengatakan bahwa ia pernah melihat
malaikat Jibril yang mirip dengan Dehya Kalbi.
Said al-Jariri mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Thufail berkata,
bahwa pada saat ini tidak ada lagi orang yang masih hidup yang pernah
melihat secara langsung Muhammad kecuali dirinya sendiri, ia mengatakan
bahwa Muhammad memiliki roman muka sangat cerah dan perawakannya sangat
baik.
Ibn ‘Abbas mengatakan bahwa gigi depan Nabi Muhammad saw. agak renggang
tidak terlalu rapat dan jika bericara nampak putih berkilau.
Itulah sosok dan perawakan Nabi saw. yang kita cintai. Kecintaan kita
kepadanya semakin mendalam dan membuncah, saat kita tahu, bahwa baginda
saw. sangat mencintai kita. Kecintaan yang membuat baginda lebih memilih
hidup miskin, agar bisa merasakan penderitaan, dan lebih sensitif
terhadap apa saja yang dialami oleh umatnya. Allah melukiskan sifatnya:
لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri,
berat terasa olehnya penderitaanmu. Dia sangat menginginkan (keimanan
dan keselamatan) bagimu. Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap
orang-orang mukmin.” (Q.s. at-Taubah [09]: 128)
Sejak diutus di Makkah, Allah telah menawarkan kepadanya untuk
menjadikan gunung-gunung di Makkah menjadi emas untuknya, namun baginda
saw menolaknya. Saat mengarungi kehidupan sulit bersama ‘Aisyah, isteri
tercintanya, di Madinah, baginda saw. menuturkan, “Sesungguhnya aku
telah ditawari (apakah aku menginginkan) gunung-gunung yang ada di
Makkah dijadikan emas untukku? Maka, aku pun menjawab, ‘Tidak wahai
Tuhanku. Aku lebih menginginkan lapar sehari, dan kenyang sehari.’”
Nabi juga telah diberi hak oleh Allah SWT seperlima bagian Ghanimah
sebagai bagiannya. Begitu juga dengan seperlima Fai’ juga ditetapkan
sebagai bagian Nabi saw. Allah berfirman:
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ
وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ
السَّبِيلِ
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat
Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil.” (Q.s.
al-Anfal [08]: 41)
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ
وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ
السَّبِيلِ
“Apa saja harta rampasan (Fai’i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya
yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul,
kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang
dalam perjalanan.” (Q.s. al-Hasyr [59]: 07)
Semuanya ini membuktikan, bahwa pilihan Nabi untuk hidup miskin bukan
karena terpaksa, bukan pula karena Nabi saw. tidak bisa hidup mewah dan
bergelimang harta. Namun, Nabi saw. sengaja memilih kehidupan seperti
itu untuk misi risalah yang diembannya. Agar baginda saw. bisa merasakan
berbagai kesulitan yang dirasakan oleh umatnya, sebagaimana yang Allah
jelaskan di atas. ‘Azîz[un] ‘alaihi mâ ‘anittum (berat terasa olehnya
penderitaanmu). Pada saat yang sama, semua bagian yang menjadi haknya
tidak digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, tetapi untuk
menghidupi lebih dari 400 sahabat baginda yang tinggal di Suffah.
Bahkan Nabi saw. berdoa:
«اللهمَّ أَحْينِي مِسْكِيْناً، وَتَوَفَّنِي مِسْكِيْناً، وَاحْشُرْنِي في زُمْرَةِ الْمَسَاكِيْنِ»
“Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin. Wafatkanlah aku sebagai
orang miskin, dan kumpulkanlah aku dalam kumpulan orang-orang miskin.”
Pilihan hidupnya itu tampak dalam keseharian manusia teladan, pemimpin
dan kepala negara yang sempurna itu. Lihatlah, makanannya. Roti yang
dimakannya adalah roti gandum yang kasar. Baginda saw. tidak pernah
memakan roti tepung yang halus dan empuk hingga baginda saw. wafat.
Kondisi inilah yang dikenang betul oleh ‘Abdurrahman bin ‘Auf,
sahabatnya. Naufal bin Iyas al-Hudzali menuturkan, suatu ketika
‘Abdurrahman bin ‘Auf pernah menjadi teman ngobrol, lalu dia mengajaknya
untuk masuk ke rumahnya. Setelah itu, ‘Abdurrahman bin ‘Auf masuk dan
mandi, kemudian keluar dan membawa nampan berisi roti dan daging, lalu
menangis. Naufal pun bertanya, “Apa yang membuatmu menangis wahai Abu
Muhammad (‘Abdurrahman bin ‘Auf)? Dia menjawab, ‘Rasulullah saw. telah
wafat, sementara baginda saw. bersama keluarganya perutnya tidak pernah
kenyang dengan roti gandum.”
Hal yang sama dituturkan oleh Ibn ‘Abbas, sahabat dan saudara sepupunya,
“Rasulullah pernah tidur beberapa malam berturut-turut, sedangkan
baginda saw. dan keluarganya dalam kondisi lapar. Karena tidak memiliki
sesuatu untuk dimakan pada malam hari. Roti yang mereka makan pun
sebagian besar terbuat dari gandum (kasar).”
Hingga suatu ketika Fatimah datang membawakan roti yang telah diremukkan
kepada ayahanda tercintanya. Baginda saw. bertanya, “Remukan apa ini
wahai Fatimah?” Putri tercintanya itu menjawab, “Roti pipih bulat, wahai
Ayah. Hatiku tidak tenang, hingga ananda membawakannya untuk ayah.”
Nabi pun besabda, “Sungguh, ini adalah makanan pertama yang masuk ke
dalam mulut ayahmu setelah tiga hari.”
Lauk pauk dan kuah yang kadang-kadang disantap oleh Nabi saw. dan
kadang-kadang digunakan untuk membasahi rotinya adalah cuka. Nabi
menuturkan, “Kuah yang paling enak adalah cuka.” Lauk pauknya
kadang-kadang daging.
Tetapi, yang pasti Rasulullah saw. tidak pernah memanggang daging domba
untuk baginda makan; juga tidak memakan daging domba yang dipanggang.
Anas bin Malik menuturkan, “Aku belum pernah melihat Rasulullah saw.
memakan roti tipis yang halus lagi empuk, hingga baginda saw wafat; juga
tidak pernah melihat baginda memakan daging kambing yang dipanggang
hingga meninggal dunia.”
Itulah makanan yang dimakan Nabi saw. Itulah lauk pauk dan kuah yang
baginda saw. santap. Tampak seadanya. Kondisi yang justru melengkapi
kesempurnaannya, sekaligus mengundang pujian atas pilihan hidupnya.
Sesuai dengan nama, yang disematkan oleh Allah kepadanya, Muhammad.
Orang yang terpuji, karena segala kebaikan dan kesempurnaannya. Iya,
Muhammad bukan hanya sekedar nama, tetapi menggambarkan sosoknya, yang
memang layak mendapatkan berbagai pujian.
Keindahannya bahkan tidak pernah pudar, meski tubuhnya yang agung dan
suci itu tidak dibalut dengan pakaian yang glamour dan nan indah.
‘Aisyah menuturkan, bahwa Nabi saw. tidak pernah memiliki pakaian yang
dipakai, lebih dari satu. Baginda saw. tidak memiliki dua baju, dua
jubah, dua kain pinggang, juga tidak memiliki sandal lebih dari
sepasang.
Sebagian besar pakaian yang baginda saw. kenakan adalah baju bertambal
sulam. Abu Hurairah menuturkan, “Kami pernah mengunjungi ‘Aisyah. Beliau
menunjukkan kepada kami sebuah kain penutup bertambal dan kain pinggang
yang kasar. ‘Aisyah menceritakan, ‘Kain seperti inilah yang menjadi
kafan baginda saw. ketika baginda saw. dimakamkan.”
Sebagaimana Nabi saw. memakai pakaian bertambal sulam, keluarganya pun
memakai pakaian bertambal sulam juga. ‘Urwah bin Zubair menuturkan,
“Aisyah ra. tidak suka memperbarui bajunya (menggantinya dengan baju
baru), melainkan menambalnya atau membaliknya.” Semua pakaiannya itu pun
harganya sangat murah, sampai Hasan al-Bashri pernah memperkirakan,
bahwa harga muruth (pakaian yang dibalutkan ke tubuh) istri baginda saw.
hanya 6 Dirham. Begitulah kesederhanaan baginda saw. dan keluarganya.
Namun, semuanya itu tidak mengurangi sedikit pun kemuliaan dan
keagungannya. Justru sebaliknya.
Tempat tinggal baginda saw. juga bukanlah istana yang megah, tetapi
hanya sebuah ruangan petak untuk tiap istrinya. Di situlah, Nabi saw.
tidur, duduk, makan dan menerima tamu. Perabotnya pun sangat sederhana
dan murah. Kasur dan bantal Rasulullah saw. terbuat dari kulit yang
diisi dengan serabut.
Baginda saw. tidak menghiasi dinding rumahnya dengan tirai apapun.
Bahkan, baginda marah, jika melihatnya. Karena menganggap hal itu
termasuk pemborosan, di saat kaum Muslim yang lain sangat membutuhkan,
dan menganggapnya sebagai sesuatu yang bisa mendorong seseorang untuk
mencintai dunia.
‘Aisyah menuturkan, “Suatu saat Rasulullah saw. berangkat berperang,
lalu aku menggantungkan sebuah permadani. Ketika Rasulullah saw. datang
dan melihat permadani itu, aku melihat pandangan tidak suka pada
wajahnya. Lalu baginda saw. mencopot permadani dan mengoyaknya, seraya
bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT tidak memerintahkan kita untuk
menghiasi ruangan dan tanah ini.”
Rasulullah saw. melarang menggunakan tirai sebagai penghias ruangan dan
tanah, karena kaum Muslim tidak memiliki sesuatu untuk menutupi tubuhnya
dan menjaga mereka dari panas dan dingin. Rasulullah saw. mengunjungi
rumah putrinya, Fatimah ra. dan melihat sebuah tirai yang dibentangkan,
kemudian baginda saw. kembali pulang.
Datanglah ‘Ali kepada Nabi, seraya berkata, “Apakah benar kabar yang
sampai kepadaku, bahwa Engkau mendatangi rumah putrimu, tetapi tidak
jadi masuk ke dalamnya.” Rasulullah saw. menjawab, “Apakah aku tidak
salah lihat, bahwa rumahnya telah dihiasi tirai yang berasal dari nafkah
di jalan Allah?” Padahal harga kain tipis yang digunakan putrinya itu
hanya 4 Dirham.
Nabi saw. pun tidak pernah menyimpan harta atau benda lainnya. Anas bin
Malik menuturkan, “Rasulullah saw. tidak menyimpan sesuatu pun untuk
hari esok.” Cukuplah kita ketahui, ketika Rasulullah saw. wafat, baginda
saw. tidak meninggalkan apapun, kecuali sebuah pedang, seekor keledai,
dan sebidang tanah yang disedekahkan di jalan Allah.
Nabi saw. juga meninggalkan sebuah baju besi yang masih tergadaikan di
tangan seorang laki-laki Yahudi seharga 30 Sha’ gandum, yang diambil
baginda saw. untuk memberi makan keluarganya.
Begitulah sosok baginda saw. Begitu sederhana, namun memiliki kemuliaan
dan keagungan yang tiada tara. Pribadinya begitu memesona, hingga tak
kuasa kita melukiskannya dengan kata-kata. Semakin dekat kita
mengenalnya, semakin kuat kerinduan kita kepadanya. Setiap kita membaca
dan membayangkan keindahannya, derai air mata pun tak terbendung.
Seperti untaian cinta al-Busyiri dalam kasidah Burdah-nya:
• Kenapa kedua matamu tetap menetaskan air mata?
Padahal Engkau telah berusaha membendungnya
Dan kenapa hatimu senantiasa gundah gulana?
Padahal Engkau telah menghiburnya
• Apakah orang yang dimabuk cinta menyangka
Bahwa api cinta dapat ditutupi nyalanya?
Di antara tetesan airmata
Dan hati yang terbakar membara
• Andaikan tak ada cinta yang menggores kalbu
Tak mungkin Engkau mencucurkan air matamu
Meratapi puing-puing kenangan masa lalu
Berjaga mengenang pohon Ban dan gunung yang Kau rindu
• Bagaimana Kau dapat mengingkari cinta?
Sedangkan saksi adil telah menyaksikannya
Berupa deraian air mata
Dan jatuh sakit amat sengsara
• Duka nestapa telah membentuk dua garisnya
Isak tangis dan sakit lemah tak berdaya
Bagai mawar kuning dan merah
Yang melekat pada pipi dua
• Memang benar, bayangan orang yang kucinta
Selalu hadir membangunkan tidurku untuk terjaga
Dan memang cinta sebagai penghalang bagi si empunya
Antara dirinya dan kelezatan cinta yang berakhir derita
• Wahai pencaci derita cinta Udzrah-ku
Kata maaf kusampaikan padamu
Aku yakin andai Kau rasakan derita cinta ini
Tak mungkin Engkau mencaci maki
Begitulah yang kita rasakan, ketika kita membayangkan kekasih, pujaan
dan tambatan hati kita, Muhammad saw. Kita menangis, mencucurkan air
mata, dan bahkan meronta, saat kita membandingkan hidup kita dengannya.
Kita merasa mencintainya, namun saat kita mengetahui kisah hidupnya, dan
kesehariannya, kemudian kita membandingkan diri kita dengannya, saat
itu kita merasa berdosa. Begitu sempurna sosoknya, sedangkan kita?
Maka, untaian syair al-Busyiri ini tampaknya bisa mewakili perasaan kita, yang bergelora, saat kita memvisualisasikan sosoknya.
• Kutinggalkan sunnah Nabi
Nabi yang beribadah di tengah pekatnya malam
Hingga telapak kaki
Sakit membengkak merintih
• Nabi yang karena lapar
Mengikatkan batu pada pusar
Dan juga dengan batu
Mengganjal perut nan halus itu
• Gunung emas yang menjulang tinggi
Kendati menawarkan diri
Namun, tawaran itu ia tolak
Dengan perasaan bangga
• Sungguh menambah kezuhudannya
Butuh harta, namun menolak tawaran
Sesungguhnya butuh harta keduniaan
Tidaklah merusak nilai kesucian
• Bagaimana mungkin Nabi nan mulia
Tertarik kepada kemilau dunia
Padahal tanpa wujud baginda
Dunia takkan pernah ada
• Nabi Muhammad adalah Gusti
Baik di dunia kini atau di akhirat nanti
Pemimpin jin dan insani
Bangsa Arab dan Ajami (non-Arab)
• Nabi kita adalah penganjur kebaikan
Dan pencegah kemungkaran
Tak seorangpun lebih baik darinya
Dalam berkata “Tidak” dan “Iya”
• Beliaulah kasih kinasih Allah Ta’ala
Yang diharap syafa’atnya
Dari tiap ketakutan
Dan bahaya yang datang menakutkan
• Beliau mengajak kepada agama Allah Ta’ala
Orang yang berpegang teguh padanya
Berarti ia berpegang pada tali
Tali yang takkan putus secara pasti
• Beliau mengungguli para Nabi
Baik bentuk tubuh ataupun budi
Mereka takkan bisa menyamai
Dalam ilmu atau kemulian Nabi
• Semua para Nabi meminta
Dari diri Rasul Allah Ta’ala
Seciduk lautan ilmunya
Dan tetesan hujan kesantunannya
• Berdirilah mereka Anbiya’
Di sisi Nabi pada puncak mereka
Mengharap setitik ilmu
Dan seharakat hikmah Baginda
• Dialah Nabi yang sempurna
Baik batin maupun lahirnya
Terpilih sebagai kekasih Allah Ta’ala
Pencipta manusia
• Dialah Nabi tersuci dari persamaan
Dalam segala kebaikan
Inti Kebaikan pada diri Nabi
Tak mungkin terbagi
• Tinggalkan tuduhan orang Nasrani
Tuduhan yang dilontarkan kepada Nabi mereka
Tetapkanlah untaian puji kepada Nabi
Pujian apapun yang Engkau suka
• Nisbahkan kepada zat Nabi
Segala kemulian yang Engkau kehendaki
Nisbahkan kepada martabat Nabi
Segala keagungan yang Engkau kehendaki
• Karena keutamaan Rasul Allah Ta’ala
Tiada tepi batasnya
Sehingga mengurai mudah terasa
Bagi lisan yang berkata
• Bila keagungan mukjizat Baginda
Sama dengan ketinggian derajatnya
Maka sebutan namanya
Dapat hidupkan orang yang hancur tulangnya
• Nabi tidaklah menguji kita
Dengan apa yang tak Terjangkau akal manusia
Karena sangat cintanya kita beroleh cahaya
Hingga tiada ragu dan bimbang pada apa yang ia bawa
• Seluruh makhluk tiada mampu
Memahami hakikat Nabi
Takkan melihat dari dekat atau jauh
Kecuali lemah tak berdaya berdiam diri
• Ia bagaikan matahari dari jauh
Tampak kecil pada kedua mata
Padahal mata tiada kan mampu
Bila berdekatan dengannya
• Bagaimana kaum ketahui hakikat Nabi
Semasa dalam dunia ini
Sedangkan mereka lega berjumpa Nabi
Walau dalam sekilas mimpi
• Puncak pengetahuan tentang Nabi
Bahwa ia adalah manusia
Dan bahwasanya Nabi
Sebaik-baik makhluk semuanya
• Semua mukjizat yang datang tiba
Dibawa para Rasul mulia
Hanyalah pancaran nur Rasul Allah Ta’ala
Nur yang melekat kepada mereka
• Dalam keutamaan Nabi bak sang Surya
Sedang para Nabi bintang gemintangnya
Bintang pantulkan sinar surya kepada manusia
Dalam suasana gelap gulita
• Alangkah mulia pribadi Nabi
Terhias budi pekerti
Keindahan yang dimiliki
Paras wajahnya tampak berseri
• Kehalusannya bagai bunga
Kemuliaannya bagai purnama
Kedermawanannya bagai samudera
Cita-citanya bagai perjalanan masa
• Seakan-akan Baginda Nabi
Orang yang menyendiri
Di antara para pasukan dan pelayan kala Kau jumpa
Karena dampak keagungannya
• Bagaikan mutiara
yang tersimpan dalam keolpaknya
Dikeluarkan dari dua tambangnya
Yaitu ycapan dan senyumnya
• Tiada keharuman melebihi tanah buana
tanah yang mengubur jasadnya
Betapa bahagia
Orang yang mencium dan mengecupnya
Di Madinah, jasad manusia suci dan sempurna itu disemayamkan. Itulah
tanah terbaik di muka bumi, karena di tanah itulah manusia paling mulia,
dan paling dikasihi Allah SWT jasadnya dimakamkan. Ke sanalah, kita
hendak menginjakkan kaki kita. Di bumi, tempat kekasih pilihan Allah itu
berada. Wajar kiranya, jika Imam Malik merasa malu menaiki kenadaraan
apapun di Madinah, karena begitu ta’dhim dan hormatnya kepada Nabi, yang
jasadnya disemayamkan di sana. Beliau mengatakan, “Sungguh saya malu
menaiki tunggangan apapun, dimana kuku kakinya menginjak bumi yang
tanahnya menjadi persemayaman jasad Rasulullah saw.” [KH. Hafidz Abdurrahman]
0 comments:
Post a Comment