• KHILAFAH SISTEM NEGARA TERBAIK

    Khilafah adalah Negara Kaum Muslimin, dimana semua bersatu padu di dalam kesatuan tersebut, Negara inilah yang akan menerapkan Hukum Allah secara Totalitas tanpa Kompromi terhadap Hukum selain Hukum Islam, Aqidah Islamiyah sebagai Pondasi Negara dan masyarakatnya dari berbagai Agama, Ras, Suku dan budaya. Mereka diperlakukan secara Adil tanpa membedakan satu dengan yang lainnya.

  • SESUNGGUHNYA KAUM MUSLIM ITU BERSAUDARA

    Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara. dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS Al Imran: 103)

  • LIVE IS CHOIS

    Barangsiapa menyeru (mengajak) kepada petunjuk, baginya pahala sebagaimana pahala orang yang mengikutinya, tidak berkurang pahala mereka sedikitpun. (HR Muslim)

  • MENUNTUT ILMU

    Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa yang menghendaki kehidupan Akherat, maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa menghendaki keduanya maka wajib baginya memiliki ilmu. (HR. Turmudzi)

  • SAVE PALESTINA WITH KHILAFAH

    Barangsiapa yang membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. (Q.S. Al-Maidah : 32)

24 Dec 2017

Haram Berdiam Diri Dari Menegakkan Khilafah Dengan Alasan Menunggu Imam Mahdi

Dalam kitab “Masâil Fiqhiyyah Mukhtârah”, cetakan kedua (2008), karya Syaikh Abu Iyas Mahmud Abdul Lathif bin Mahmud (Uwaidhah), terdapat jawaban atas pertanyaan seputar Imam Mahdi dan aktivitas untuk menegakkan Khilafah. Mengingat pentingnya masalah ini, maka tulisan ini kami persembahkan kepada para pengunjung situs agar semua dapat mengambil faedah darinya, in sya’ Allah, jika Allah SWT berkehendak. 
Bendera Negara Khilafah

Pertanyaannya: Tidak sedikit di antara kaum Muslim—khususnya mereka yang masih kental dengan kehidupan beragama—yang menyakini bahwa Khilafah akan kembali tegak. Dan Khilafah yang akan tegak kembali itu adalah Khilafah ‘ala minhaji an-nubuwah, Khilafah yang sesuai dengan metode kenabian, yang mereka maksudkan dengan itu adalah Khilafah Rasyidah. Namun, aku tidak melihat mereka itu melakukan aktivitas untuk menegakkan Khilafah ini. Apabila mereka ditanya tentang alasan mengapa mereka berdiam diri (tidak melakukan) aktivitas menegakkan Khilafah, maka mereka menjawab bahwa Imam Mahdi-lah kelak yang akan menegakkannya. Dan sebelum datangnya Imam Mahdi, Khilafah tidak akan pernah tegak. Oleh karena itu, tidak perlu menyeru mereka untuk beraktivitas menegakkan Khilafah. Sehingga, pertanyaannya: Apakah Khilafah akan tegak secara nyata; dan apakah Imam Mahdi yang akan menegakkannya? 


Jawab: Sesungguhnya pernyataan bahwa Khilafah akan tegak adalah pernyataan yang benar, yang ditunjukkan oleh banyak sekali hadits dari Nabi SAW, dan hadits-hadits itu semuanya shahih atau hasan. Mengingat, hadits-hadits itu tidak ada yang mutawatir, maka masalah ini tidak boleh dijadikan sebagai sebuah keyakinan. Sehingga, pernyataan bahwa kaum Muslim meyakini bahwa Khilafah akan tegak adalah pernyataan yang tidak benar. Sebab, keyakinan itu harus dibangun berdasarkan ayat Al-Qur’an atau hadits mutawatir. Sementara berdirinya Khilafah terdapat dalam hadits-hadits shahih dan hasan, bukan hadits mutawatir. Sehingga, tidak boleh menjadikan berdirinya kembali Khilafah sebagai sebuah keyakinan. Namun, kami membenarkan akan berdirinya kembali Khilafah dengan pembenaran yang tidak pasti; kami katakan bahwa Khilafah akan tegak kembali dengan izin Allah. Berikut ini hadits-hadits terkait masalah tersebut:

Pertama. Dari Sauban radhiyallahu ‘anhu berkata: Bersabda Rasulullah SAW:

إِنَّ اللهَ زَوَى لِي اْلأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا

“Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan (memperlihatkan) bumi kepadaku. Sehingga, aku melihat bumi mulai dari ujung Timur hingga ujung Barat. Dan umatku, kekuasaannya akan meliputi bumi yang telah dikumpulkan (diperlihatkan) kepadaku….” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi).


Sabda beliau, “umatku, kekuasaannya akan meliputi bumi yang telah dikumpulkan (diperlihatkan) kepadaku” belum terrealisasikan hingga sekarang. Sebab, kaum Muslim belum pernah menguasai bumi mulai ujung Timur hingga ujung Barat hingga sekarang. Dan ini akan terjadi di masa yang akan datang. Sehingga ini menjadi isyarat akan berdirinya negara bagi kaum Muslim yang akan menaklukkan bumi mulai dari ujung Timur bumi hingga ujung Baratnya. 


Kedua. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhu berkata: Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

”Jika kalian telah berjual-beli dengan cara ’înah (penjualan secara kredit dengan tambahan harga); dan kalian telah mengambil ekor sapi, lalu kalian (lebih) suka bertani, hingga kalian meninggalkan jihad, maka (ketika itu) Allah menimpakan kepada kalian kehinaan, Allah tidak akan mecabutnya sampai kalian kembali ke agama kalian.” (HR. Abu Dawud) 


Sabda beliau, ”sampai kalian kembali ke agama kalian” artinya adalah sampai kalian kembali melaksanakan ajaran agama, dan menerapkannya untuk semua urusan kehidupan kalian. Dengan demikian, hadits ini merupakan bisyârah (kabar gembira) dari Rasulullah SAW bahwa kaum Muslim akan kembali lagi menerapkan agamanya secara kâffah, menyeluruh, setelah sebelumnya mereka meninggalkannya.


Ketiga. Dari Abu Qabil yang berkata: Kami berada di sisi Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu ’anhu. Lalu, ia ditanya tentang manakah di antara dua kota yang akan ditaklukkan pertama, Konstantinopel atau Roma. Kemudian ia mengambil kotak yang ada hiasannya, ia mengeluarkan surat dari katak tersebut, ia berkata: Abdullah Berkata, ”Pada saat kami sedang menulis di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba Rasulullah SAW ditanya, manakah di antara dua kota yang akan ditaklukkan pertama, Konstantinopel atau Roma. Rasulullah SAW bersabda:

مَدِينَةُ هِرَقْلَ تُفْتَحُ أَوَّلاً يَعْنِي قُسْطَنْطِينِيَّةَ

”Kota Heraklius yang akan ditaklukkan pertama—yakni Konstantinopel.” (HR. Ahmad) 


Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang penaklukkan dua kota, Konstantinopel dan Rumiyah—yaitu Roma ibu kota Italia—beliau tidak menafikan (membantah) penaklukkan Roma. Namun beliau hanya mengatakan bahwa Konstantinopel akan ditaklukkan pertama. Ini menunjukkan bahwa Roma akan ditaklukkan setelahnya. Sementara hingga saat ini, Roma belum ditaklukkan oleh kaum Muslim. Dengan demikian, hadits ini merupakan bisyârah (kabar gembira), bahwa kaum Muslim akan menaklukkan ibu kota Italia tersebut. Dan tidak terbayangkan bahwa kaum Muslim akan menaklukkannya sebelum kembalinya Khilafah yang menghidupkan kembali jihad di jalan Allah dan penaklukkan kota (melakukan futuhat).


Keempat. Dari Nu’man bin Basyir, dari Hudzaifah radhiyallahu ’anhu berkata: Rasulullah SAW bersabda:

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ

“Akan ada fase kenabian di tengah-tengah kalian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada fase Khilafah berdasarkan metode kenabian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudia akan ada fase penguasa yang zalim. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Lalu akan ada fase penguasa diktator. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Selanjutnya akan datang kembali Khilafah berdasarkan metode kenabian. Kemudian belia SAW diam.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani) 


Hadits ini menjelaskan bahwa Khilafah akan tegak kembali setelah fase penguasa yang zalim (mulkan ’adhan), dan fase penguasa diktator (mulkan jabariyan). Dan Khilafah yang akan tegak itu adalah Khilafah ‘ala minhaji an-nubuwah, Khilafah yang sesuai dengan metode kenabian, yakni Khilafah yang menilai dirinya seperti Khilafah pada masa Khulafaur Rasyidin. Sehingga dengan izin Allah, Khilafah yang akan tegak adalah Khilafah Rasyidah. Inilah jawaban untuk pertanyaan masalah pertama. Sedangkan jawaban untuk pertanyaan masalah kedua adalah sebagai berikut: 


Sesungguhnya, sekalipun hadits-hadits an-nabawiyah asy-syarîfah menyebutkan bahwa Al-Mahdi akan menegakkan Khilafah, maka hal ini tidak menunjukkan bahwa kaum Muslim wajin menunggu Al-Mahdi sampai Al-Mahdi mendirikan Khilafah untuk mereka. Apa yang diwajibkan atas mereka tetap wajib, yaitu menegakkan Khilafah. Menegakkan Khilafah di samping wajib atas Al-Mahdi, wajib pula atas kaum Muslim selain dia. Sehingga, mereka yang masih kental dengan kehidupan beragama, seperti yang digambarkannya, tidak punya hujjah (alasan) yang dapat mereka jadikan dasar untuk berdiam diri, tidak beraktivitas untuk menegakkan Khilafah, hanya dengan mengajukan pernyataan bahwa Al-Mahdi yang akan menegakkan Khilafah, sebagaimana hal itu tampak dengan jelas. Oleh karena itu, mereka yang masih beragama, namun berdiam diri, tidak beraktivitas menegakkan Khilafah, maka mereka berdosa, akibat sikapnya yang berdiam diri, tidak berbuat apa-apa, dan Allah juga akan meminta pertanggungjawaban mereka atas sikap diamnya ini. Konsekwensinya, jika mereka mati sebelum tegaknya Khilafah, maka ia mati seperti matinya kaum jahiliyah (mati dalam keadaan berdosa). Sebab, ada riwayat dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhu yang berkata: Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Siapa saja yang melepaskan ketaatan, maka ia akan bertemu Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah. Dan siapa saja yang meninggal sedang di pundaknya tidak ada baiat, maka ia mati seperti mati jahiliyah (dalam keadaan berdosa).” (HR. Muslim).


Sementara itu, orang yang selamat dari mati jahiliyah adalah orang-orang yang beraktivitas menegakkan Khilafah. Oleh karena itu, wahai orang-orang yang masih beragama waspadalah agar jangan sampai kalian mati jahiliyah, yang tentu kalian tidak menginginkannya. Ini yang pertama. 


Kedua, sesungguhnya hadits-hadits an-nabawiyah asy-syarîfah tidak secara mutlak menyebutkan bahwa Al-Mahdi yang akan menegakkan Khilafah, karena banyak sekali hadits yang meriwayatkannya. Sedangkan, masing-masing hadits yang disebutkan semuanya menunjukkan bahwa Al-Mahdi adalah seorang Khalifah yang baik dan memerintah dengan adil. Misalnya sabda Rasulullah SAW:

الْمَهْدِيُّ مِنِّي أَجْلَى الْجَبْهَةِ أَقْنَى اْلأَنْفِ يَمَْلأُ اْلأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا وَظُلْمًا يَمْلِكُ سَبْعَ سِنِينَ

“Al-Mahdi itu dari keturunanku, wajahnya tampan, dan hidungnya mancung. Ia akan memenuhi bumi dengan kebaikan dan keadilan. Dimana sebelumnya, bumi dipenuhi dengan kekejaman dan ketidak adilan. Dan ia berkuasa selama tujuh tahun.” (HR. Abu Dawud) 


Sehingga, dalam hal ini, nama nash yang mereka jadikan dalil bahwa Al-Mahdi yang akan menegakkan Khilafah? Justru kami memiliki nash yang menolak pemahaman bahwa Al-Mahdi yang akan menegakkan Khilafah. Dan nash ini menjelaskan bahwa Al-Mahdi akan menjadi Khalifah setelah meninggalnya Khalifah sebelumnya. Sehingga, ini menegaskan bahwa Khilafah akan tegak sebelum Al-Mahdi menjadi Khalifah. Al-Mahdi adalah Khalifah yang menggantikan Khalifah sebelumnya dalam daulah Khilafah Rasyidah yang—tidak lama lagi—akan datang (berdiri) dengan izin Allah. Sekali lagi, ini menegaskan bahwa Al-Mahdi bukan orang yang menegakkan Khilafah. Dengan begitu, gugurlah hujjah (alasan) mereka untuk berdiam diri, tidak beraktivitas, dan hanya menunggu Al-Mahdi, yang menurut klaim mereka bahwa Al-Mahdi inilah yang akan menegakkan Khilafah untuk mereka. 


Diriwayatkan bahwa Ummu Salamah radhiyallahu ’anha berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:

يَكُونُ اخْتِلافٌ عِنْدَ مَوْتِ خَلِيْفَةٍ فَيَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي هَاشِمٍ فَيٌّاتِي مَكَّةَ، فَيَسْتَخْرِجُهُ النَّاسُ مِنْ بَيْتِهِ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالمَقَامِ، فَيُجَهَّزُ إليهِ جَيْش مِنَ الشَّامِ حَتَّى إذَا كَانُوا بالبَيْدَاءِ خُسِفَ بِهِمْ، فَيَأتِيْهِ عَصَائِبُ العِرَاقِ وأبْدَالُ الشَّامِ: ويَنْشئا رَجُلٌ بالشَّامِ أَخْوالُهُ مِنْ كَلْبٍ، فَيُجَهَّزُ إليهِ جَيْش، فَيَهْزِمُهُمُ الله، فَتَكُونُ الدَّائِرَةُ عَلَيْهِمْ، فَذَلِكَ يَوْمُ كَلْبٍ، الخَائِبُ مَنْ خَابَ مِنْ غَنِيْمَةِ كَلْبٍ، فَيَسْتَفْتِحُ الكُنُوزَ، وَيَقْسِمُ أَلامْوَالَ وَيُلْقِي إلاسْلاَمُ بِجَرَانِهِ ِإلى أَلارْضِ، فَيَعِيْشُونَ بِذَلِكَ سَبْعَ سِنينَ أو قال: تِسْعَ.

“Terjadi perselisihan ketika meninggalnya seorang Khalifah. Kemudian, seorang dari Bani Hasyim (Al-Mahdi) keluar pergi ke Makkah. Masyarakat membawanya (Al-Mahdi) keluar rumah menuju antara ar-rukn (hajar aswad) dan al-maqâm (maqam Ibrahim ‘alaihissalam). Sementara, dari Syam telah disiapkan pasukan untuk menyerangnya, namun ketika mereka berada di al-Baida’ (sebuah tempat antara Makkah dan Madinah), mereka semua ditenggelamkan (oleh Allah). (Melihat karamahnya itu), beberapa kelompok dari Irak, dan para wali (Abdal) dari Syam mendatanginya (untuk berbaiat). Seseorang di Syam yang ibunya dari Bani Kalb, menyiapkan pasukan untuk menyerangnya, kemudian Allah-pun mengalahkan mereka, sehingga bencana pun menimpa mereka, maka hari itu merupakan hari kekalahan bagi Bani Kalb. Bahkan, orang yang menyesal adalah orang yang tidak berhasil mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) Bani Kalb. Kemudian, ia (Al-Mahdi) membuka berbagai harta simpanan, membagi-bagi harta, menyampaikan (mendakwahkan) Islam ke wilayah-wilayah sekitarnya. Masyarakat hidup bersama (Al-Mahdi) itu selama tujuh tahun, atau sembilan tahun.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath, Al-Haitsami menyebutnya dalam Majma’uz Zawâij, ia berkata “semuanya rawinya adalah para rawi yang shahih). 


Hadits ini disepakati oleh para rawi hadits dan pensyarahnya bahwa Khalifah yang dimaksud dalam hadits ini adalah Al-Mahdi (Imam Mahdi). Hadits ini merupakan nash yang sharîh (gamblang) bahwa Khalifah (Imam Mahdi) ini datang menggantikan Khalifah sebelumnya, “Terjadi perselisihan ketika meninggalnya seorang Khalifah. Kemudian, seorang dari….” Dengan demikian, Imam Mahdi bukan orang yang akan menegakkan Khilafah, dan ia juga bukan Khalifah pertama dalam negara Khilafah Rasyidah—yang tidak lama lagi—akan tegak dengan izin Allah. Sehingga yang tersisa di depan setiap orang Muslim adalah kekhawatiran dan ketakutan dari mati jahiliyah, mati dalam keadaan berdosa. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain, selain bangkit dengan penuh semangat beraktivitas untuk menegakkan kembali Khilafah, dan mengangkat seorang Khalifah. Wallahu a’lam bish-shawab.(www. http://www.al-aqsa.org)


20 Feb 2016

BAGAIMANA KELOMPOK MINORITAS DALAM NEGARA KHILAFAH?

Islam adalah satu-satunya agama yang benar, sesuai dengan fitrah dan akal manusia. Islamlah satu-satunya agama yang juga diridhai oleh Allah SWT. Namun, demikian ketika Islam hendak diyakini oleh umat manusia, maka Allah tidak memaksakan keyakinan tersebut kepada mereka. Allah SWT pun berfirman, “La ikrâha fî ad-dîn [tidak ada paksaan dalam memeluk agama].” [TQS al-Baqarah: 256].

Karena itu, wajar ketika Islam diemban ke seluruh penjuru dunia, Islam tidak memberangus agama dan keyakinan masyarakatnya. Agama dan keyakinan mereka tetap diberi tempat di sana. Karenanya, bisa dikatakan, bahwa Islam benar-benar menjaga hak dasar manusia dalam beragama, sesuai dengan keyakinannya. Dalam surat Nabi SAW kepada wali Yaman dinyatakan, “Siapa saja yang masuk Islam dari kalangan Yahudi atau Nasrani, mereka adalah orang-orang Mukmin. Mereka tetap berhak atas harta dan apa saja yang mereka miliki. Sedangkan siapa saja yang tetap memeluk Yahudi atau Nasrani, maka janganlah dihasut [dibujuk] agar meninggalkan agamanya.” [Abu Ubaid, al-Amwal, hal. 24]

Ketika orang Yahudi, Nasrani atau musyrik, tidak bersedia memeluk Islam, asalkan mau tunduk kepada Negara Islam, maka mereka tetap dibiarkan memeluk agamanya. Mereka dibiarkan berpakaian mengikuti kebiasaan agama mereka, seperti baju bagi biarawati, pendeta, paus dan sebagainya. Mereka juga dibiarkan untuk makan dan minum yang dibolehkan oleh agama mereka. Mereka juga dibiarkan menikah dan bercerai menurut agama mereka. Inilah hak-hak mereka yang diberikan, dan dijaga oleh Negara Islam sejak zaman Nabi hingga Khilafah yang terakhir.

Karena itu, harta, darah dan kehormatan [isteri dan anak perempuan] mereka dijaga oleh Islam. Bahkan, ketika harta, darah dan kehormatan itu dilanggar oleh orang Islam sekalipun, maka Negara akan menjaga dan menindak pelakunya. Nabi pernah bersabda, “Siapa saja yang membunuh orang yang terikat dengan perjanjian, maka dia tidak dibenarkan mencium bau surga.” [HR Bukhari]. Dalam riwayat lain, “Siapa saja yang berbuat zalim kepada orang yang terikat perjanjian, mengurangi hak-hak mereka, memberikan beban di luar batas, merampas sesuatu darinya dengan paksaan, maka kelak aku pada Hari Kiamat akan menjadi penuntut baginya.” [HR Abu Dawud]

Dalam Perang Khaibar terjadi peristiwa yang menarik untuk dijadikan pelajaran. Ketika itu, ‘Abdullah bin Sahal al-Anshari terbunuh di wilayah Yahudi. Kemungkinan besar pembunuhnya adalah orang Yahudi. Tetapi, tidak ada bukti yang menguatkan dugaan tersebut. Karena itu, Nabi saw. tidak memberikan sanksi apapun terhadap orang Yahudi. Nabi SAW hanya meminta mereka bersumpah, bahwa mereka tidak membunuhnya. Meski orang-orang Anshar enggan menerima sumpah mereka, tetapi Rasulullah SAW tetap meminta mereka bersumpah.

Setelah itu, Nabi SAW mengeluarkan diyat untuk Sahal bin Abi Haritsah, dengan 100 unta kepada keluarga Sahal. Sedangkan terhadap orang Yahudi, Nabi SAW  pun enggan menumpahkan darah mereka. Padahal, Sahal adalah sahabat Nabi, sedangkan lawannya adalah Yahudi, yang nota bene bukan Muslim. Tetapi, di situlah keadilan Islam.

Inilah tuntunan yang kemudian dijadikan pedoman oleh generasi berikutnya, para Khalifah setelah baginda SAW. Karena itu, orang-orang non-Muslim pun menikmati hidup yang lebih baik di dalam naungan Khilafah Islam, ketimbang hidup mereka di bawah Romawi, Persia maupun emperium yang lainnya.[]har

Sumber: Tabloid Mediaumat edisi 166

17 Feb 2016

HUKUM SYARIAH

Imam al-Ghazali di dalam Al-Mustashfâ fî ‘Ilmi al-Ushûl menyatakan, ushûl al-fiqh merupakan ungkapan tentang dalil-dalil hukum syariah dan tentang pengetahuan arah penunjukkan dalil atas hukum secara global, bukan aspek rinciannya. Maksud yang dituju adalah mengetahui tatacara mengekstrak hukum-hukum dari dalil-dalil. Karena itu wajib menelaah hukum, dalil dan bagian-bagiannya; tatacara ekstraksi hukum dari dalil, kemudian sifat orang yang mengekstrak yang mampu mengekstrak hukum dari dalil.

Jadi, ushul fikih tidak membahas tentang masalah ushul, yakni akidah, tetapi membahas hukum-hukum syariah dari sisi asas yang menjadi landasan bangunan hukum syariah, bukan dari sisi masalah-masalah yang dicakup oleh hukum tersebut. Karena itu harus ada pengetahuan tentang hakikat hukum syariah ketika membahas tentang pengetahuan dalil-dalil syariah.

Pembahasan tentang hukum setidaknya mencakup pembahasan tentang siapakah Al-Hâkim itu, tentang al-mahkûm ‘alayhi yakni siapa yang dibebani dengan hukum syariah dan tentang hukum syariah itu sendiri. Pada edisi sebelumnya telah dibahas tentang Al-Hâkim dan al-mahkûm alayhi. Adapun pembahasan tentang hukum syariah itu setidaknya mencakup definisinya, hakikatnya, jenisnya dan bagiannya.

Menurut Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi di dalam Bahr al-Muhîth, al-hukmu secara bahasa berarti al-man’u wa ash-sharfu (penghalang dan pemalingan). Dari situlah muncul istilah al-hakamah untuk menyebut belenggu besi. Al-Hukmu juga bisa bermakna al-ihkâm (ketepatan, ketelitian, akurasi). Dari dari kata itu juga diambil kata Al-Hakîm (Maha Bijaksana) dalam hal sifat Allah SWT.

Adapun secara istilah menurut para ulama ushul fikih, al-hukmu asy-syar’i didefinisikan sebagai khithâb asy-Syâri’ al-muta’allaqu bi af’âli al-‘ibâd bi al-iqtidhâ` aw at-takhyîr aw al-wadh’i (seruan Asy-Syâri’ berkaitan dengan perbuatan hamba berupa seruan al-iqtidhâ’ (yakni tuntutan), at-takhyîr (pilihan) atau al-wadh’u. Asy-Syâri’, yakni Al-Hâkim, adalah Allah SWT. Karena itu seruan (khithâb) Asy-Syâri’ adalah seruan Allah SWT.

Makna dari hukum yang dikeluarkan oleh Al-Hâkim adalah penilaian terpuji atau tercela atau tidak terpuji dan tidak pula tercela terhadap suatu perbuatan atau sesuatu. Maksud dari hal itu adalah untuk menentukan sikap manusia apakah melakukan, atau tidak melakukan atau dia boleh memilih melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan; dan menentukan sikap manusia apakah mengambil atau tidak mengambil sesuatu.

Informasi tentang penilaian terpuji atau tercela atau tidak terpuji dan tidak tercela itulah yang dimaksudkan dengan khithâb. Khithâb Allah, meskipun itu merupakan pengarahan atau penginformasian apa yang diinformasikan kepada orang yang mendengar atau yang pada posisi itu—di mana itu menimpakan seruan untuk sesuatu yang ada yang mungkin untuk dipahami—adalah apa yang diinformasikan itu sendiri, bukan pengarahan/penginformasian apa yang diinformasikan. Jadi khithâb itu adalah apa yang diinformasikan itu sendiri. Lalu penginformasian itu menggunakan lafal-lafal sehingga dipahami oleh yang diberi seruan. Namun, seruan itu bukan pengarahan atau penginformasian apa yang diinformasikan. Karena itu seruan itu tidak lain adalah makna-makna yang dikandung oleh lafal dan kalimat.

Dikatakan khithâb asy-Syâri’, bukan dikatakan khithâbulLâh, agar bisa mencakup as-Sunnah dan Ijmak Sahabat dari sisi bahwa keduanya menunjukkan atas khithâb. Dengan begitu tidak akan dirancukan bahwa yang dimaksudkan adalah al-Quran saja. Sebab, as-Sunnah merupakan wahyu dari Allah SWT, jadi itu merupakan khithâb (seruan) Allah. Adapun Ijmak Sahabat menyingkap adanya dalil dari as-Sunnah, Jadi, Ijmak Sahabat juga merupakan khithâb (seruan) Asy-Syâri’.

Terkait ungkapan al-muta’allaqu bi af’âli al-‘ibâd (berkaitan dengan perbuatan seorang hamba), maka batasan al-muta’allaqu bi af’âl itu juga mengeluarkan seruan-seruan yang tidak berkaitan dengan perbuatan, misalnya seruan berupa berita murni, atau berkaitan dengan masalah iman. Yang demikian tidak termasuk dalam cakupan hukum syariah.

Batasan al-muta’allaqu bi af’âl bukan berarti hanya mencakup seruan tentang perbuatan itu sendiri, tetapi juga mencakup sesuatu yang digunakan oleh hamba ketika melangsungkan perbuatannya. Dengan demikian batasan tersebut juga meliputi hukum asyyâ‘ (sesuatu/benda).

Dikatakan al-muta’allaqu bi af’âl al-‘ibâd dan tidak dikatakan al-muta’allaqu bi af’âli al-mukallafîn (berkaitan dengan perbuatan para mukallaf) supaya definisi hukum syariah itu mencakup hukum-hukum berkaitan dengan anak kecil dan orang gila seperti hukum zakat pada harta keduanya. Batasan ini juga mengeluarkan seruan Allah SWT yang tidak berkaitan dengan perbuatan manusia, misalnya ikhbâr (pemberitaan) dari Allah SWT tentang perbuatan Allah SWT sendiri.

Batasan al-muta’allaqu bi al-iqtidhâ‘ maknanya adalah berkaitan dengan seruan berupa thalab (tuntutan). Sebab, makna al-iqtidhâ‘ adalah ath-thalab. Thalab (tuntutan) ada dua jenis: thalab li al-fi’li (tuntutan untuk melakukan perbuatan) dan thalab li at-tarki (tuntutan untuk meninggalkan perbuatan). Kedua jenis tuntutan itu masih terbagi lagi dari sisi intensitas atau sifat tuntutannya menjadi tuntutan yang tegas atau pasti (jâzim) dan tidak tegas yakni tidak pasti (ghayru jâzim).

Tuntutan untuk melakukan perbuatan itu bersifat tegas/pasti, artinya perbuatan itu harus dilakukan dan tidak boleh ditinggalkan. Itulah yang disebut fardhu atau wâjib. Adapun tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan itu tidak tegas atau tidak pasti (ghayru jâzim), artinya perbuatan itu tidak harus dilakukan dan jika ditinggalkan tidak ada masalah, namun adanya tuntutan itu menunjukkan lebih dikuatkan agar dilakukan. Thalab li al-fi’li yang ghayru jâzim itulah yang disebut mandûb atau sunnah.

Adapun tuntutan untuk meninggalkan (thalab li at-tarki) suatu perbuatan, jika tuntutan itu bersifat tegas (jâzim) atau pasti, maknanya perbuatan itu harus ditinggalkan dan tidak boleh dilakukan. Itulah yang dimaksudkan sebaga haram. Sebaliknya, jika tuntutan untuk meninggalkan perbuatan itu bersifat tidak tegas atau tidak pasti maka perbuatan itu tidak harus ditinggalkan dan jika dilakukan maka tidak ada masalah, namun adanya tuntutan untuk meninggalkan itu menunjukkan lebih dikuatkan agar ditinggalkan. Thalab li at-tarki yang ghayru jâzim itu yang disebut makruh.

Dengan demikian khithâb asy-Syâri’ al-muta’allaqu bi af’âli al-‘ibâd bi al-iqtidhâ` itu meliputi empat hukum syariah yaitu: fardhu atau wajib; sunnah atau mandûb; haram; makruh.
Adapun al-muta’allaqu bi at-takhyîr (berkaitan dengan pilihan) maknanya seruan Asy-Syâri’ itu memberikan pilihan kepada hamba untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Jadi, seruan yang demikian bermakna hukum mubah.

Kelima hukum ini—yakni fardhu, mandûb, haram, makruh dan mubah—semuanya berkaitan dengan taklif yang diberikan kepada hamba. yakni berkaitan dengan status taklif itu. Para ulama menyebut khithâb demikian sebagai khithâb at-taklîf.

Adapun khithâb asy-Syâri’ al-muta’allaqu bi al-wadh’i (status, kondisi) maka itu adalah khithâb yang berkaitan dengan al-wadh’u (status dan kondisi) hukumnya. Para ulama menyebut itu sebagai khithâb al-wadh’i. Bisa dikatakan, khithâb al-wadh’i itu adalah hukumnya hukum.

Khithâb al-wadh’i itu meliputi khithâb yang menjadikan sesuatu sebagai sabab (sebab); mâni’ (penghalang); syarat; sah, batil dan fasad; serta ‘azimah dan rukhshah. Misal, khithâb asy-Syâri’ menjadikan tergelincirnya matahari sebagai penanda kewajiban shalat zhuhur, yakni menjadi sebab shalat zhuhur. Khithâb asy-Syâri’ menjadikan najis sebagai penghalang dari pelaksanaan shalat. Semua itu, meski merupakan pertanda untuk hukum-hukum, namun semuanya merupakan hukum, yakni hukumnya hukum. Sebab, Asy-Syâri’ menjadikan tergelincirnya matahari sebagai penanda kewajiban adanya shalat zhuhur. Asy-Syâri’ menjadikan najis sebagai penanda batilnya shalat. Tidak ada makna keberadaan tergelincirnya matahari yang mewajibkan shalat kecuali itu bermakna thalab (tuntutan) melakukan shalat. Tidak ada makna adanya najis itu membatalkan shalat kecuali itu bermakna sebagai thalab (tuntutan) untuk meninggalkan shalat ketika ada najis. Begitu juga ketika Asy-Syâri’ menjadikan sesuatu sebagai syarat; menjadikan status hukum sebagia sah, batil dan fasad, menjadikan sesuatu sebagai ‘azimah dan rukhshah. Pada hakikatnya semua itu merupakan khithâb dari Asy-Syâri’ yang berkaitan dengan perbuatan hamba dari sisi status dan kondisi perbuatan itu.

Dari semua itu, definisi hukum syariah—yaitu khithâb asy-Syâri’ yang berkaitan dengan perbuatan hamba berupa tuntutan (iqtidhâ‘) atau pilihan (takhyîr) atau status dan kondisi (al-wadh’u) itu telah mencakup dua jenis khithâb: Pertama, khithâb at-taklîf yaitu wajib, mandûb, haram, makruh dan mubah. Kedua, khithâb al-wadh’i yaitu yang berupa sebab; syarat; sah, batil dan fasad; serta menjadikan sesuatu sebagai ‘azimah atau rukhshah.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]

1 Sept 2015

Soal Jawab: Hukum Demonstrasi dan Hadits Keluarnya Kaum Muslim dalam Dua Shaf

بسم الله الرحمن الرحيم
Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fiqhiyah”
 

Demonstrasi dan Long March dan Hadits Keluarnya Kaum Muslim dalam Dua Shaf
Pertanyan:
Kepada Moadh Seif Elmi
Syaikhuna al-fadhil, assalamu ‘alaikum… Apakah hadits keluarnya kaum Muslim dalam dua barisan dimana pada kepala masing-masing barisan adalah Umar dan Hamzah adalah hadits dha’if, terima kasih?

Kepada Andalusi Maqdisi Andalus
Assalamu ‘alaikum, syaikhuna al-fadhil.
Dalam jawab soal Anda tentang demonstrasi, Anda berdalil dengan hadits “Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah bin Ahmad bin Ishaq bin Musa bin Mahran al-Ashbahani (w. 430 H) dalam kitabnya Hilyatu al-Awliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’ dari Ibn Abbas, ia berkata: aku bertanya kepada Umar ra.:
لِأَيِّ شَيْءٍ سُمِّيتَ الْفَارُوقَ؟ قَالَ: أَسْلَمَ حَمْزَةُ قَبْلِي بِثَلَاثَةِ أَيَّامٍ، ثُمَّ شَرَحَ اللهُ صَدْرِي لِلْإِسْلَامِ… قلت: أَيْنَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم؟، قَالَتْ أُخْتِي: هُوَ فِي دَارِ الْأَرْقَمِ بْنِ الْأَرْقَمِ عِنْدَ الصَّفَا، فَأَتَيْتُ الدَّارَ… فَقُلْتُ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، قَالَ: فَكَبَّرَ أَهْلُ الدَّارِ تَكْبِيرَةً سَمِعَهَا أَهْلُ الْمَسْجِدِ، قَالَ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَلَسْنَا عَلَى الْحَقِّ إِنْ مُتْنَا وَإِنْ حَيِينَا؟ قَالَ: «بَلَى وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّكُمْ عَلَى الْحَقِّ إِنْ مُتُّمْ وَإِنْ حَيِيتُمْ»، قَالَ: فَقُلْتُ: فَفِيمَ الِاخْتِفَاءُ؟ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَتَخْرُجَنَّ، فَأَخْرَجْنَاهُ فِي صَفَّيْنِ، حَمْزَةُ فِي أَحَدِهِمَا، وَأَنَا فِي الْآخَرِ، لَهُ كَدِيدٌ كَكَدِيدِ الطَّحِينِ، حَتَّى دَخَلْنَا الْمَسْجِدَ، قَالَ: فَنَظَرَتْ إِلَيَّ قُرَيْشٌ وَإِلَى حَمْزَةَ، فَأَصَابَتْهُمْ كَآبَةٌ لَمْ يُصِبْهُمْ مِثْلَهَا، فَسَمَّانِي رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَوْمَئِذٍ الْفَارُوقَ، وَفَرَّقَ اللهُ بَيْنَ الْحَقِّ وَالْبَاطِلِ
“Karena apa engkau disebut al-Faruq?” Umar berkata: “Hamzah masuk Islam tiga hari sebelumku, kemudian Allah melapangkan dadaku untuk Islam… Aku berkata: “dimana Rasulullah saw? Saudara perempuanku berkata: “beliau di rumah al-Arqam bin al-Arqam di bukit Shafa”, maka aku datang ke rumah itu… lalu aku berkata: “aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.” Umar berkata: “maka orang yang ada di rumah itu meneriakkan takbir sehingga terdengar oleh orang-orang di masjid.” Umar berkata: “lalu aku katakan: “ya Rasulullah saw, bukankah kita di atas kebenaran jika kita mati dan jika kita hidup? Beliau menjawab: “benar demi Zat yang jiwaku ada di genggaman tangannya, sungguh kalian berada di atas kebenaran jika kalian mati dan jika kalian hidup.” Umar berkata: “lalu aku katakan: “lalu kenapa sembunyi? Demi Zat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran sungguh kalian harus keluar. Maka kami keluar dalam dua barisan, Hamzah di salah satunya dan aku di barisan satunya lagi, ia memiliki garam halus seperti tepung, sampai kami masuk ke masjid.” Umar berkata: “lalu aku memandang kepada Quraisy dan kepada Hamzah, maka mereka ditimpa bencana yang semisalnya belum pernah menimpa mereka, maka Rasulullah saw pada saat itu menamaiku al-Faruq, dan Allah memisahkan antara yang haq dan yang batil.” Selesai.
Pada saat menelaah hadits tersebut, al-Albani menyebutkan bahwa itu mungkar dan didhaifkan oleh kebanyakan ahli hadits. Pertanyaanku: pertama, apakah boleh berdalil dengan hadits dha’if? Jika boleh, kapan kita berdalil dengannya dan bagaimana kita menghukuminya? Jika jawabannya tidak boleh, lalu apakah engkau punya takhrij selain yang disebutkan dalam pertanyaan ini? Semoga Allah memberi manfaat kepada kami dengan ilmumu. Semoga Allah memberkahimu dan memberikan kemenangan kepadamu. Abdullah asy-Syami.)

Jawab:
Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Dua pertanyaan tersebut topiknya sama. Karena itu, inilah jawaban kepada kalian berdua.
Saudaraku yang mulia, jika engkau membaca ada orang yang mendha’ifkan satu riwayat bukan berarti riwayat itu dhaif secara pasti. Misalnya, ada para syaikh yang mendhaifkan hadits-hadits di (Shahih) al-Bukhari dan Muslim, yakni mendhaifkan hadits-hadits yang ditakhrij oleh keduanya yang diambil oleh umat dengan penerimaan dan ketenteraman. Al-Bukhari dan Muslim sangat memperhatikan standar-standar besar dan agung dalam menshahihkan suatu riwayat baik secara sanad maupun matan… Meski demikian, ada orang yang mendhaifkan hadits-hadits yang ada di keduanya (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim)!
Benar, bahwa jika suatu hadits menjadi jelas dhaifnya maka tidak boleh beristidlal dengannya. Akan tetapi, kadang kala para ahli hadits atau sebagian dari mereka menyatakan suatu hadits adalah dhaif, sementara orang-orang yang lain menghukumi bahwa hadits itu hasan dan layak beristidlal dengannya. Siapa yang memiliki pengetahuan ilmu hadits dan ushulnya, ia mengetahui masalah ini. Masalah ini masyhur di kalangan ahli hadits, dan para mujtahid. Maka engkau temukan, yang ini berdalil dengan hadits ini sementara yang itu tidak berdalil dengannya… Kami telah menjelaskan masalah ini secara rinci dalam kitab kita asy-Syakhshiyyah juz pertama bab “al-Hadîts al-Maqbûl wa al-Hadîts al-Mardûd” dan bab “I’tibar al-Hadîts Dalîlan fî al-Ahkâmi asy-Syar’iyyati.”
Dan sekarang kami menjawab tentang keluarnya para sahabat di Mekah setelah keislaman Umar ra.:
  1. Riwayat yang dinyatakan di jawab soal, diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah bin Ahmad bin Ishaq bin Musa bin Mahran al-Ashbahani (w. 430 H) dalam kitabnya “Hilyatu al-Awliyâ’ wa Thabaqâtu al-Ashfiyâ’ “. Dan Abu Nu’aim seorang hafizh dan tsiqah. Az-Zarkali berkata tentangnya di A’lâm an-Nubalâ’:
Abu Nu’aim (336 – 430 H/948 – 1038 M), Ahmad bin Abdullah bin Ahmad al-Ashbahani, Abu Nu’aim: seorang hafizh, sejarahwan, termasuk orang yang tsiqah dalam hafalan dan riwayat.
Ia lahir dan meninggal di Ashbahan. Diantara karyanya: (Hilyatu al-Awliyâ’ wa Thabaqâtu al-Ashfiyâ’) sudah dicetak terdiri sepuluh juz, (Ma’rifatu ash-Shahâbah) besar, sebagiannya masih berupa manuskrip dalam dua jilid, berdasarkan itu qraah tahun 551 di perpustakaan Ahmad III di Thubuqbu Sarayi si Istanbul, nomor 497 seperti yang disebutkan dalam memoar al-Maymini – manuskrip, dan (Thabaqâtu al-Muhadditsin wa ar-Ruwât) dan (Dalâ`il an-Nubuwwah – dicetak) dan (Dzikru Akhbâr Ashbahân – dicetak) dua jilid dan kitab (asy-Syu’ara` -manuskrip), selesai.
Karena itu, dimungkinkan bersandar kepada riwayatnya tentang keluarnya kaum Muslimin dalam dua barisan setelah keislaman Umar.
  1. Meski demikian, itu bukan satu-satunya riwayat, akan tetapi ada riwayat-riwayat lain yang shahih.:
–                      Di dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn karya al-Hakim dinyatakan:
…عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَرْقَمِ، عَنْ جَدِّهِ الْأَرْقَمِ، وَكَانَ بَدْرِيًّا، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم آوَى فِي دَارِهِ عِنْدَ الصَّفَا حَتَّى تَكَامَلُوا أَرْبَعِينَ رَجُلًا مُسْلِمَيْنِ، وَكَانَ آخِرَهُمْ إِسْلَامًا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، فَلَمَّا كَانُوا أَرْبَعِينَ خَرَجُوا إِلَى الْمُشْرِكِينَ…
Dari Utsman bin Abdullah bin al-Arqam dari kakeknya al-Arqam, dan ia Badriyan, dan Rasulullah saw berlindung di rumahnya di bukit Shafa sampai genap empat puluh orang muslim, dan yang terakhir keislamannya adalah Umar bin al-Khaththab radhiyallâh ‘anhum. Ketika mereka empat puluh orang mereka keluar kepada orang-orang musyrik…
Al-Hakim berkata: “ini adalah hadits shahih sanadnya, tetapi al-Bukhari dan Muslim tidak mentakhrijnya” dan disepakati oleh adz-Dzahabi.

–                      Di Thabaqât al-Kubrâ karya Ibn Sa’ad: ia berkata …. dari Yahya bin Imran bin Utsman bin al-Arqam, ia berkata; “aku mendengar kakekku Utsman bin al-Arqam mengatakan:
أَنَا اِبْنُ سَبْعَةِ فِي الْإِسْلاَمِ، أَسْلَمَ أَبِيْ سَابِعُ سَبْعَةِ، وَكَانَتْ دَارُهُ بِمَكَّةَ عَلَى الصَّفَا، وَهِيَ الدَّارُ الَّتِيْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكُوْنُ فِيْهَا أَوَّلَ الْإِسْلاَمِ، وَفِيْهَا دَعَا النَّاسَ إِلَى الْإِسْلاَمِ وَأَسْلَمَ فِيْهَا قَوْمٌ كَثِيْرٌ، وَقَالَ لَيْلَةَ الْاِثْنَيْنِ فِيْهَا: “اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلاَمَ بِأَحَبِّ الرَّجُلَيْنِ إِلَيْكَ: عُمَرِ بْنِ الْخَطَّابِ أَوْ عَمْرُو بْنِ هِشَامٍ” فَجَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مِنَ الْغَدِّ بُكْرَةً فَأَسْلَمَ فِي دَارِ الْأَرْقَمِ، وَخَرَجُوْا مِنْهَا فَكَبَّرُوْا وَطَافُوْا الْبَيْتَ ظَاهِرِيْنَ وَدُعِيَتْ دَارُ الْأَرْقَمِ دَارَ الْإِسْلاَمِ…
“Aku anak orang ketujuh di dalam Islam, bapakku masuk Islam sebagai orang ketujuh, rumahnya di Mekah di bukit shafa, dan itu adalah rumah yang Nabi saw ada di situ pada awal Islam, di situ beliau mengajak orang kepada Islam dan di situ banyak orang telah masuk Islam. Beliau pada satu malam Senin berdoa: “Ya Allah muliakan Islam dengan salah satu laki-laki yang lebih Engkau sukai: Umar bin al-Khathab atau Amru bin Hisyam”. Lalu Umar bin al-Khathab datang besoknya pagi-pagi lalu dia masuk Islam di rumah al-Arqam dan mereka keluar dari situ, mereka meneriakkan takbir dan berthawaf mengelilingi baitullah terang-terangan dan rumah al-Arqam disebut Dar al-Islam…”

–                      Ibn Ishaq berkata di as-Sîrah an-Nabawiyyah:
قاَلَ عُمَرٌ عِنْدَ ذَلِكَ: وَاللهِ لَنَحْنُ بِالْإِسْلاَمِ أَحَقٌّ أَنْ نُنَادِيَ… فَلْيَظْهَرَنَّ بِمَكَّةَ دِيْنُ اللهِ، فَإِنْ أَرَادَ قَوْمُنَا بَغْياً عَلَيْنَا نَاجَزْنَاهُمْ، وَإِنْ قَوْمُنَا أَنْصَفُوْنَا قَبِلْنَا مِنْهُمْ، فَخَرَجَ عُمَرٌ وَأَصْحَابُهُ، فَجَلَسُوْا فِيْ الْمَسْجِدِ، فَلَمَّا رَأَتْ قُرَيْشٌ إِسْلاَمَ عُمَرٍ سَقَطَ فِيْ أَيْدِيْهِمْ
“Umar berkata pada saat demikian, “Demi Allah, sungguh kita dengan Islam lebih berhak untuk menyeru… dan sungguh agama Allah akan nampak di Mekah, jika kaum kita ingin zalim terhadap kita maka kita lawan mereka dan jika kaum kita berlaku fair kepada kita maka kita terima dari mereka”. Lalu Umar dan sahabat-sahabatnya keluar dan mereka duduk di Masjid. Ketika Quraisy melihat Islamnya Umar maka jatuhlah (apa yang ada) di tangan mereka.”
Juga dinyatakan topik dua shaf itu di karya Taqiyuddin al-Maqrizi dalam Imtâ’ al-Asmâ’; dan Husain bin Muhammad ad-Diyar Bakri dalam Tarîkh al-Khamîs fî Ahwâl Anfusi an-Nafîs, dan Muhammad Abu Syuhbah dalam as-Sîrah an-Nabawiyyah ‘alâ Dhaw’ al-Qur’ân wa as-Sunnah, dan Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam ar-Rahîq al-Makhtûm … dan selain mereka.

  1. Pendapat bolehnya demonstrasi dan long march tidak hanya berdalil dengan riwayat-riwayat ini saja. Sebab demonstrasi dan long march adalah uslub untuk menampakkan pendapat dan menyampaikan ide, persis sama seperti nasyrah (leaflet), pidato, seminar, video dan wasilah-wasilah serta uslub-uslub lainnya. Dan hukum asal dalam uslub dan wasilah adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkan sebagiannya, maka (wasilah dan uslub itu) terlarang pada saat itu. Wasilah-wasilah dan uslub-uslub itu menggerakkan masyarakat untuk mengemban Islam dan terikat dengannya, serta berinteraksi dengannya. Hizb melakukan aktivitas ini sesuai kemampuan dengan syarat Hizb sajalah yang melakukan dan mengaturnya dengan panji dan slogan-slogannya dan mengumpulkan masyarakat dengan kepemimpinan Hizb… bukan bergabung dengan yang lain di mana masing-masing mengusung panjinya dan slogan-slogannya… Ini tidak dilakukan oleh Hizb. Jadi apa yang bisa kita lakukan dengan pengaturan kita dan kepemimpinan kita, kita lakukan. Kadang ada waktu kita tidak bisa (melakukannya) sedangkan pada waktu lain kita bisa (melakukannya)… Ini semisal uslub berupa Maktab-maktab I’lami. Dahulu sulit dilakukan pada masa Abu Ibrahim rahimahullah, dan lebih kecil kesulitannya pada masa Abu Yusuf rahimahullah, maka beliau menugaskan aku menjadi juru bicara resmi di Yordania. Dan sekarang seperti yang engkau lihat, Maktab-maktab I’lami kita menarik perhatian.

  1. Sebagai penutup, wahai saudaraku yang mulia, sungguh setiap amal yang kami lakukan, setiap langkah yang kami tempuh, kami pikirkan dan kami renungkan, bukan hanya kami menjauhkan diri dari keharaman, akan tetapi juga dari sesuatu yang mendekatkan dari satu debu ke debu keharaman lainnya, seraya bertawakkal kepada Allah SWT dalam kondisi rahasia maupun terang-terangan, kecil maupun besar… Sungguh kami mengemban tugas yang gunung enggan memikulnya. Apakah engkau memandang kami mampu berjalan seandainya tidak terikat dengan hukum-hukum syara’ di hati, lisan dan setiap lahiriah kami? Sungguh kami memohon kepada Allah pertolongan dan hidayah kepada perkara yang paling lurus, dan Allah menolong orang-orang shalih.

Saudaramu
Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

10 Sya’ban 1435 H
8 Juni 2014 M
http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_36851

26 Jun 2015

Menjadikan Ramadhan Sepanjang Tahun

Alhamdulillah  sebulan penuh kita melewati Ramadhan dengan memperbanyak amalan, baik yang wajib maupun yang sunnah dengan niat untuk meraih nilai ketakwaan.  Ramadhan adalah bulan penyucian diri dan momentum untuk menempa kualitas ketakwaan kita.  Lalu apakah setelah Ramadhan berlalu semangat membina diri luntur? Bagaimana supaya kita istiqamah memelihara semangat tersebut? Apa pula yang seharusnya dilakukan dalam keluarga?
 


Spirit Ramadhan
Ramadhan memang hanya datang satu kali dalam satu tahun.  Lamanya pun hanya satu bulan.  Bulan Ramadhan boleh saja berakhir ketika datang tanggal satu Syawal. Namun, semestinya amal-amal baik yang sudah biasa dilakukan pada bulan Ramadhan tidak lantas berhenti.  Ramadhan adalah bulan penyucian jiwa, bulan untuk menempa diri untuk meraih takwa.  Ibarat fase kepompong pada perkembangan seekor ulat menjadi kupu-kupu.  Ketika menjadi kepompong tampak diam, lemah dan tidak bergerak.  Tatkala masa kepompong selesai, maka segera akan keluar kupu-kupu nan cantik yang akan menarik hati siapapun yang melihatnya.  Artinya, apa yang dialami ulat semasa menjadi kepompong kadang tidak mengenakkan dan tidak menarik.  Hasilnya baru terlihat ketika sudah menjadi kupu-kupu.  Begitupun aktivitas Ramadhan, mungkin saja terasa berat dan banyak godaan.  Namun hakikatnya, di balik semua yang terasa berat itu ada keberkahan dan pahala yang tidak ternilai besarnya.  Mestinya bagi orang-orang yang berhasil melewati Ramadhan akan merasakan hasilnya  sampai kapan pun. Dia akan memperoleh energi baru untuk menjalani hari-hari selama 11 bulan ke depan.  Energi tersebut merupakan hasil tempaan amaliah Ramadhan yang dilaksanakan selama sebulan penuh.  Dengan kata lain, amalan-amalan Ramadhan akan terlihat hasilnya pasca Ramadhan sebagai wujud ketakwaan.

Wujud Takwa
Hikmah besar yang akan diraih oleh orang-orang yang melaksanakan shaum Ramadhan atas dasar keimanan adalah memperoleh derajat takwa (lihat: QS al-Baqarah [2]:183).
Banyak definisi takwa yang sudah disebutkan oleh para ulama.  Di antaranya adalah bahwa dalam kata takwa mengandung makna: Pertama, al-khawf min al-Jalil; rasa takut yang besar terhadap kemahakuasaan Allah.  Orang yang shaum dilatih kesadarannya akan sifat-sifat Allah dan diuji konsistensinya dalam ketaatannya terhadap aturan Allah SWT.  Dia akan menjaga hal-hal yang bisa membatalkan shaumnya, semisal jangan sampai ada air yang masuk ke kerongkongannya sekalipun hanya setetes dan tidak diketahui orang lain.  Diapun tidak berani makan dan minum sekalipun azan magrib tinggal beberapa detik lagi.  Mengapa? Karena dia sadar bahwa hal tersebut bisa membatalkan shaumnya dan dia juga yakin bahwa Allah Maha Melihat apapun yang dilakukan hamba-Nya.

Kedua,  al-‘amal bi at-tanzil; mMelaksanakan ketentuan hukum yang tertera dalam wahyu Allah yang telah diturunkan baik yang ada dalam al-Quran maupun yang terdapat dalam hadis Rasulullah saw.  Ramadhan adalah bulan turunnya al-Quran (lihat: QS al-Baqarah [2]: 185). Firman Allah SWT dalam ayat ini jelas sekali menyatakan bahwa al-Quran yang diturunkan pada bulan Ramadhan merupakan petunjuk bagi manusia.  Karena itu, bulan ini merupakan momen yang tepat untuk membaca, mempelajari, mendalami maksud dan kandungannya, melaksanakan seruannya, serta mengajarkan dan mendakwahkannya di tengah-tengah manusia.  Dengan begitu fungsi al-Quran sebagai petunjuk dan pedoman hidup manusia betul-betul terealisasi dalam kehidupan nyata, dan tidak berhenti pada tataran pengetahuan.  Pada bulan Ramadhan kita dididik untuk senantiasa berpegang pada hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT.  Shaum, shalat fardhu, shalat tarawih, infak dan zakat serta amal-amal lainnya senantiasa akan disesuaikan dengan aturan-Nya supaya semua amalan Ramadhan tersebut diterima Allah dan mendapat balasan pahala.  Selepas Ramadhan keterikatan pada al-Quran dan wahyu Allah yang ada dalam hadis ini akan terus dipelihara dan dipertahankan.
Ketiga, al-isti’dad li ar-rahil; persiapan untuk menghadapi timbangan amal pada Hari Kiamat.  Orang yang bertakwa seharusnya memiliki kesadaran bahwa dia akan kembali kepada Allah SWT untuk mempertanggung jawabkan semua yang telah dilakukannya di dunia.  Berikutnya, dia akan senantiasa menjaga perbuatannya supaya sesuai dengan syariah-Nya.  Dia akan terus berusaha untuk tidak melakukan maksiat sekecil apapun dan tidak akan melalaikan kewajiban seberat apapun.

Takwa Selamanya
Rasulullah saw. menyuruh kita semua untuk senantiasa bertakwa dimana pun kita berada:

اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقْ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.
Bertakwalah kepada Allah dimanapun/kapanpun/dalam keadaan bagaimanapun engkau berada; ikutilah keburukan dengan kebaikan sehingga (kebaikan itu) akan menghapusnya; dan berbuat baiklah kepada manusia dengan akhlak yang baik (HR ath-Thabrani dari Abi Dzarr ra.)

Berdasarkan perintah Rasulullah saw. dalam hadis di atas, maka tidak selayaknya ada pemahaman bahwa takwa hanya ada dalam waktu dan tempat tertentu saja.  Takwa tidak hanya ada ketika shalat atau tatkala di masjid saja. Takwa juga bukan sekadar harus dikejar pada bulan Ramadhan saja.  Takwa harus ada selamanya dan senantiasa menyertai kita dimana pun kita berada.  Bahkan kita diperintahkan untuk terus menjaga ketakwaan hingga kematian tiba (lihat: QS Ali ‘Imran [3]:102).

Menjaga Amaliah Ramadhan
Orang yang memahami keberkahan Ramadhan akan berlomba-lomba untuk mengisinya dengan berbagai aktivitas ibadah. Setiap tempat diwarnai dengan kegiatan-kegiatan keislaman,  baik di rumah, di sekolah, apalagi di masjid-masjid.  Semangat beramal pada bulan Ramadhan memang sangat tinggi.  Penentunya adalah adanya dorongan keimanan dan keyakinan atas besarnya pahala; juga situasi amal jama’i yang sangat mendukung.  Beberapa aktivitas Ramadhan sering dilakukan bersama-sama, baik dengan anggota keluarga maupun bersama teman dan tetangga.  Sahur dan buka bersama, shalat wajib juga shalat tarawih dilaksanakan berjamaah di masjid. Pesantren kilat atau kajian Islam menjelang zuhur dan sesaat sebelum berbuka biasanya juga diselenggarakan bersama.
Ketika Ramadhan telah berlalu tidak berarti bahwa semangat ber’amal juga menurun.  Karenanya penting sekali memelihara supaya semangat tersebut tetap menyala dan kita istiqamah dalam ketaatan sebagaimana yang terjadi dibulan Ramadhan. Peran keluarga sangatlah penting agar supaya nuansa Ramadhan terus hadir.  Di antara peran tersebut adalah: Pertama, senantiasa menjaga kesadaran bahwa kita harus menjadi orang bertakwa sepanjang hayat.  Kesadaran ini terus dipupuk dengan selalu mengkaitkan dengan sifat-sifat Allah, seperti Allah Maha Pembalas amal, Allah Maha Pemberi rizqi, Allahlah Yang menghidupkan dan mematikan serta hanya kepada Allahlah kita akan kembali untuk mempertanggung jawabkan amal kita di dunia.  Dengan pengaitan ini, diharapkan akan muncul sikap takut, harap, dan taat pada Allah.

Kedua, terus memberi maklumat tentang  aturan-aturan Allah yang harus ditaati. Semangat mempelajari tsaqafah Islam bukan hanya dilakukan dalam pesantren kilat Ramadhan saja.  Tadarus dan tadabur al-Quran juga akan terus didawamkan.

Ketiga, memfasilitasi supaya anggota keluarga senang dan mudah untuk melakukan  ketaatan.  Misal, disediakan buku-buku agama, menjaga shalat berjamah, saling beramar makruf, membiasakan infak, saling menolong, membiasakan shaum sunat, membiasakan shalat malam, dll. Yang penting, upaya tersebut harus terprogram dan terencana supaya  tidak  dilakukan sementara, atau hanya rutinitas yang kosong dari kesadaran akan hubungannya dengan Allah, apalagi karena keterpaksaan.  Semuanya betul-betul dilakukan karena semata mengharap ridha Allah SWT.

Keempat, memahami bahwa untuk meraih ketakwaan sempurna tidak bisa dilakukan sendiri, tetapi juga harus didukung dengan ketakwaan kolektif.  Individu yang berjuang untuk senantiasa bertakwa akan menghadapi kesulitan ketika masyarakat dan lingkungan sekitar kontra produktif dengan semua yang dia upayakan. Semangat ketaatan individu boleh jadi akan dilemahkan dengan rongrongan kemaksiatan yang ada dimana-mana.  Sebaliknya, dorongan ketakwaan individu akan tetap terpelihara jika dipadu dengan semangat masyarakat untuk senantiasa taat pada aturan Allah, baik aturan yang menyangkut individu, keluarga, masyarakat maupun negara; serta ketakutan dan kekhawatiran kalau tetap hidup dalam sistem yang jauh dari sistem Allah; memunculkan kesadaran pada masyarakat untuk senantiasa memperjuangkan tegaknya seluruh aturan Allah dalam naungan Khilafah.  Sebab, hanya dengan Khilafahlah kita akan mampu melakukan ketaatan yang kaffah. WalLahu a’lam.

Bolehkah Zakat Fitrah Dengan Uang ?

Tanya :
Apakah boleh kita membayar zakat fitrah dalam bentuk uang?
Jawab :
Ada khilafiyah di kalangan fuqaha dalam masalah ini menjadi dua pendapat. Pertama, pendapat yang membolehkan. Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Tsauri, Imam Bukhari, dan Imam Ibnu Taimiyah. (As-Sarakhsi, al-Mabsuth, III/107; Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXV/83). 

Dalil mereka antara lain firman Allah SWT (artinya),”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS at-Taubah [9] : 103). Menurut mereka, ayat ini menunjukkan zakat asalnya diambil dari harta (mal), yaitu apa yang dimiliki berupa emas dan perak (termasuk uang). Jadi ayat ini membolehkan membayar zakat fitrah dalam bentuk uang. (Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha’am, hal. 4)

Mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi SAW,”Cukupilah mereka (kaum fakir dan miskin) dari meminta-minta pada hari seperti ini (Idul Fitri).” (HR Daruquthni dan Baihaqi). Menurut mereka, memberi kecukupan (ighna`) kepada fakir dan miskin dalam zakat fitrah dapat terwujud dengan memberikan uang. (Abdullah Al-Ghafili, Hukm Ikhraj al-Qimah fi Zakat al-Fithr, hal. 3)

Kedua, pendapat yang tidak membolehkan dan mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok (ghalib quut al-balad). Ini adalah pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (Al-Mudawwanah al-Kubra, I/392; Al-Majmu’, VI/112; Al-Mughni, IV/295). 

Dalil mereka antara lain hadits Ibnu Umar RA bahwa,”Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah berupa satu sha’ kurma atau satu sha’ jewawut (sya’ir) atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa, dari kaum muslimin.” (HR Bukhari, no 1503). Hadits ini jelas menunjukkan zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk bahan makanan, bukan dengan dinar dan dirham (uang), padahal dinar dan dirham sudah ada waktu itu. (Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha’am, hal. 9).

Menurut kami, yang rajih adalah pendapat jumhur yang tak membolehkan zakat fitrah dengan uang dan mewajibkannya dalam bentuk makanan pokok. Alasan kami: Pertama, ayat QS at-Taubah : 103 memang bersifat global (mujmal), yaitu zakat itu diambil dari harta (mal). Namun telah ada penjelasan (bayan) dari As-Sunnah yang merinci bahwa harta yang dikeluarkan dalam zakat fitrah adalah bahan makanan, bukan uang. (Ustadz Siddiq Al Jawie)

Kedua, hadits yang dijadikan dalil adalah dhaif (lemah), karena ada seorang periwayat hadits bernama Abu Ma’syar yang dinilai lemah. Demikianlah menurut Imam Nawawi (al-Majmu’, VI/126), Ibnu Hazm (al-Muhalla, VI/121), Imam Syaukani (Nailul Authar, IV/218), Imam az-Zaila’i (Nashbur Rayah, II/431), Ibnu Adi, (al-Kamil fi adh-Dhu’afa, VII/55), dan Imam Nashiruddin al-Albani (Irwa`ul Ghalil, III/844). Padahal hadits dhaif tidak layak dijadikan dasar hukum.

Kalaupun dianggap sahih, hadits itu bersifat mutlak, tanpa penjelasan bagaimana caranya mewujudkan kecukupan (ighna`). Maka as-Sunnah memberikan pembatasan (taqyid) mengenai caranya, yaitu mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan, bukan dengan uang. (Nada Abu Ahmad, Ahkam Zakat al-Fithr Hal Yajuzu Ikhrajuha Qiimah, hal. 35). 

Kesimpulannya, tidak boleh membayar zakat fitrah dalam bentuk uang, melainkan wajib dalam bentuk bahan makanan pokok. Wallahu a’lam. (Ustadz Siddiq al Jawie)