Alhamdulillah sebulan penuh
kita melewati Ramadhan dengan memperbanyak amalan, baik yang wajib maupun yang
sunnah dengan niat untuk meraih nilai ketakwaan. Ramadhan adalah bulan
penyucian diri dan momentum untuk menempa kualitas ketakwaan kita. Lalu
apakah setelah Ramadhan berlalu semangat membina diri luntur? Bagaimana supaya
kita istiqamah memelihara semangat tersebut? Apa pula yang seharusnya dilakukan
dalam keluarga?
Spirit
Ramadhan
Ramadhan memang hanya datang satu kali
dalam satu tahun. Lamanya pun hanya satu bulan. Bulan Ramadhan
boleh saja berakhir ketika datang tanggal satu Syawal. Namun, semestinya
amal-amal baik yang sudah biasa dilakukan pada bulan Ramadhan tidak lantas
berhenti. Ramadhan adalah bulan penyucian jiwa, bulan untuk menempa diri
untuk meraih takwa. Ibarat fase kepompong pada perkembangan seekor ulat
menjadi kupu-kupu. Ketika menjadi kepompong tampak diam, lemah dan tidak
bergerak. Tatkala masa kepompong selesai, maka segera akan keluar kupu-kupu
nan cantik yang akan menarik hati siapapun yang melihatnya. Artinya, apa
yang dialami ulat semasa menjadi kepompong kadang tidak mengenakkan dan tidak
menarik. Hasilnya baru terlihat ketika sudah menjadi kupu-kupu.
Begitupun aktivitas Ramadhan, mungkin saja terasa berat dan banyak
godaan. Namun hakikatnya, di balik semua yang terasa berat itu ada
keberkahan dan pahala yang tidak ternilai besarnya. Mestinya bagi
orang-orang yang berhasil melewati Ramadhan akan merasakan hasilnya sampai
kapan pun. Dia akan memperoleh energi baru untuk menjalani hari-hari selama 11
bulan ke depan. Energi tersebut merupakan hasil tempaan amaliah Ramadhan
yang dilaksanakan selama sebulan penuh. Dengan kata lain, amalan-amalan
Ramadhan akan terlihat hasilnya pasca Ramadhan sebagai wujud ketakwaan.
Wujud
Takwa
Hikmah besar yang akan diraih oleh
orang-orang yang melaksanakan shaum Ramadhan atas dasar keimanan adalah
memperoleh derajat takwa (lihat: QS al-Baqarah [2]:183).
Banyak definisi takwa yang sudah
disebutkan oleh para ulama. Di antaranya adalah bahwa dalam kata takwa
mengandung makna: Pertama, al-khawf min al-Jalil; rasa takut yang besar
terhadap kemahakuasaan Allah. Orang yang shaum dilatih kesadarannya akan
sifat-sifat Allah dan diuji konsistensinya dalam ketaatannya terhadap aturan
Allah SWT. Dia akan menjaga hal-hal yang bisa membatalkan shaumnya,
semisal jangan sampai ada air yang masuk ke kerongkongannya sekalipun hanya
setetes dan tidak diketahui orang lain. Diapun tidak berani makan dan
minum sekalipun azan magrib tinggal beberapa detik lagi. Mengapa? Karena
dia sadar bahwa hal tersebut bisa membatalkan shaumnya dan dia juga yakin bahwa
Allah Maha Melihat apapun yang dilakukan hamba-Nya.
Kedua, al-‘amal bi at-tanzil;
mMelaksanakan ketentuan hukum yang tertera dalam wahyu Allah yang telah
diturunkan baik yang ada dalam al-Quran maupun yang terdapat dalam hadis
Rasulullah saw. Ramadhan adalah bulan turunnya al-Quran (lihat: QS
al-Baqarah [2]: 185). Firman Allah SWT dalam ayat ini jelas sekali menyatakan
bahwa al-Quran yang diturunkan pada bulan Ramadhan merupakan petunjuk bagi
manusia. Karena itu, bulan ini merupakan momen yang tepat untuk membaca,
mempelajari, mendalami maksud dan kandungannya, melaksanakan seruannya, serta
mengajarkan dan mendakwahkannya di tengah-tengah manusia. Dengan begitu
fungsi al-Quran sebagai petunjuk dan pedoman hidup manusia betul-betul
terealisasi dalam kehidupan nyata, dan tidak berhenti pada tataran
pengetahuan. Pada bulan Ramadhan kita dididik untuk senantiasa berpegang
pada hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Shaum, shalat fardhu, shalat
tarawih, infak dan zakat serta amal-amal lainnya senantiasa akan disesuaikan
dengan aturan-Nya supaya semua amalan Ramadhan tersebut diterima Allah dan
mendapat balasan pahala. Selepas Ramadhan keterikatan pada al-Quran dan
wahyu Allah yang ada dalam hadis ini akan terus dipelihara dan dipertahankan.
Ketiga, al-isti’dad li ar-rahil;
persiapan untuk menghadapi timbangan amal pada Hari Kiamat. Orang yang
bertakwa seharusnya memiliki kesadaran bahwa dia akan kembali kepada Allah SWT
untuk mempertanggung jawabkan semua yang telah dilakukannya di dunia.
Berikutnya, dia akan senantiasa menjaga perbuatannya supaya sesuai dengan
syariah-Nya. Dia akan terus berusaha untuk tidak melakukan maksiat
sekecil apapun dan tidak akan melalaikan kewajiban seberat apapun.
Takwa
Selamanya
Rasulullah saw. menyuruh kita semua
untuk senantiasa bertakwa dimana pun kita berada:
اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ
الحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقْ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.
Bertakwalah kepada Allah
dimanapun/kapanpun/dalam keadaan bagaimanapun engkau berada; ikutilah keburukan
dengan kebaikan sehingga (kebaikan itu) akan menghapusnya; dan berbuat baiklah
kepada manusia dengan akhlak yang baik (HR ath-Thabrani dari Abi Dzarr ra.)
Berdasarkan perintah Rasulullah saw.
dalam hadis di atas, maka tidak selayaknya ada pemahaman bahwa takwa hanya ada
dalam waktu dan tempat tertentu saja. Takwa tidak hanya ada ketika shalat
atau tatkala di masjid saja. Takwa juga bukan sekadar harus dikejar pada bulan
Ramadhan saja. Takwa harus ada selamanya dan senantiasa menyertai kita
dimana pun kita berada. Bahkan kita diperintahkan untuk terus menjaga
ketakwaan hingga kematian tiba (lihat: QS Ali ‘Imran [3]:102).
Menjaga
Amaliah Ramadhan
Orang yang memahami keberkahan
Ramadhan akan berlomba-lomba untuk mengisinya dengan berbagai aktivitas ibadah.
Setiap tempat diwarnai dengan kegiatan-kegiatan keislaman, baik di rumah,
di sekolah, apalagi di masjid-masjid. Semangat beramal pada bulan
Ramadhan memang sangat tinggi. Penentunya adalah adanya dorongan keimanan
dan keyakinan atas besarnya pahala; juga situasi amal jama’i yang sangat
mendukung. Beberapa aktivitas Ramadhan sering dilakukan bersama-sama, baik
dengan anggota keluarga maupun bersama teman dan tetangga. Sahur dan buka
bersama, shalat wajib juga shalat tarawih dilaksanakan berjamaah di masjid.
Pesantren kilat atau kajian Islam menjelang zuhur dan sesaat sebelum berbuka
biasanya juga diselenggarakan bersama.
Ketika Ramadhan telah berlalu tidak
berarti bahwa semangat ber’amal juga menurun. Karenanya penting sekali
memelihara supaya semangat tersebut tetap menyala dan kita istiqamah dalam
ketaatan sebagaimana yang terjadi dibulan Ramadhan. Peran keluarga sangatlah
penting agar supaya nuansa Ramadhan terus hadir. Di antara peran tersebut
adalah: Pertama, senantiasa menjaga kesadaran bahwa kita harus menjadi orang
bertakwa sepanjang hayat. Kesadaran ini terus dipupuk dengan selalu
mengkaitkan dengan sifat-sifat Allah, seperti Allah Maha Pembalas amal, Allah
Maha Pemberi rizqi, Allahlah Yang menghidupkan dan mematikan serta hanya kepada
Allahlah kita akan kembali untuk mempertanggung jawabkan amal kita di
dunia. Dengan pengaitan ini, diharapkan akan muncul sikap takut, harap,
dan taat pada Allah.
Kedua, terus memberi maklumat
tentang aturan-aturan Allah yang harus ditaati. Semangat mempelajari
tsaqafah Islam bukan hanya dilakukan dalam pesantren kilat Ramadhan saja.
Tadarus dan tadabur al-Quran juga akan terus didawamkan.
Ketiga, memfasilitasi supaya anggota
keluarga senang dan mudah untuk melakukan ketaatan. Misal,
disediakan buku-buku agama, menjaga shalat berjamah, saling beramar makruf,
membiasakan infak, saling menolong, membiasakan shaum sunat, membiasakan shalat
malam, dll. Yang penting, upaya tersebut harus terprogram dan terencana
supaya tidak dilakukan sementara, atau hanya rutinitas yang kosong
dari kesadaran akan hubungannya dengan Allah, apalagi karena
keterpaksaan. Semuanya betul-betul dilakukan karena semata mengharap
ridha Allah SWT.
Keempat, memahami bahwa untuk meraih
ketakwaan sempurna tidak bisa dilakukan sendiri, tetapi juga harus didukung
dengan ketakwaan kolektif. Individu yang berjuang untuk senantiasa
bertakwa akan menghadapi kesulitan ketika masyarakat dan lingkungan sekitar
kontra produktif dengan semua yang dia upayakan. Semangat ketaatan individu
boleh jadi akan dilemahkan dengan rongrongan kemaksiatan yang ada
dimana-mana. Sebaliknya, dorongan ketakwaan individu akan tetap terpelihara
jika dipadu dengan semangat masyarakat untuk senantiasa taat pada aturan Allah,
baik aturan yang menyangkut individu, keluarga, masyarakat maupun negara; serta
ketakutan dan kekhawatiran kalau tetap hidup dalam sistem yang jauh dari sistem
Allah; memunculkan kesadaran pada masyarakat untuk senantiasa memperjuangkan
tegaknya seluruh aturan Allah dalam naungan Khilafah. Sebab, hanya dengan
Khilafahlah kita akan mampu melakukan ketaatan yang kaffah. WalLahu a’lam.
0 comments:
Post a Comment