Bagaimana langkah praktis mengubah mata uang yang ada
di negeri-negeri Muslim menjadi mata uang dinar atau dirham?
Jawab:
Sebelum menjawab secara praktis pertanyaan tersebut,
alangkah baiknya kita mengenal lebih dulu apa yang disebut dengan dinar dan
dirham syar‘î dan konsep umum tentang mata uang yang beredar di tengah-tengah
masyarakat dewasa ini.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan
(dari Bani Umayah) telah dicetak dan diterbitkan mata uang dinar dan dirham
syar‘î. Keduanya berlaku sebagai mata uang dan alat tukar dalam seluruh
transaksi barang maupun jasa. Baik dinar maupun dirham di-peg-kan pada standar
tertentu berupa timbangan berat (wazan) tertentu yang bersifat fixed. 1 dinar
syar‘î setara dengan 4,25 gram emas, sedangkan 1 dirham syar‘î setara dengan
2,975 gram perak. Saat itu mata uang yang beredar dalam bentuk logam emas
(dinar) maupun perak (dirham).
Tentu saja untuk transaksi-transaksi yang bernilai
besar, mata uang yang berbentuk logam emas atau perak sangat tidak praktis
untuk dipindah-pindahkan dan dibawa-bawa. Karena itu, boleh saja Negara
Khilafah menggantinya dengan uang kertas, uang plastik, atau bahan-bahan
lainnya yang bersifat praktis. Syaratnya, uang kertas atau uang plastik
tersebut tergolong paper money (yaitu nilai nominalnya dijamin oleh negara
setara dengan nilai nominal emas atau perak yang ada di dalam cadangan kas
negara).
Apabila Negara Khilafah berdiri kembali
(insya Allah dalam waktu dekat), langkah-langkah praktis untuk menggantikan
mata uang yang ada di tengah-tengah kaum Muslim saat ini menjadi dinar dan
dirham syar‘î harus memperhatikan beberapa hal. Di antaranya adalah jumlah uang
yang beredar saat itu, harga emas atau perak di dalam maupun di pasar luar
negeri, serta ketersediaan dan ketercukupan cadangan bank sentral (yang umumnya
berbentuk dolar AS atau mata uang asing kuat lainnya) untuk mem-back-up
penggantian mata uang menjadi dinar dan dirham.
Pada prinsipnya, cadangan (baik emas atau perak ataupun
mata uang asing) yang dimiliki Negara Khilafah saat berdirinya harus mampu
mem-back-up penggantian mata uang yang ada di masyarakat. Jika ketersediaan
cadangan ini tidak mencukupi, secara praktis penggantian mata uang ini tidak
akan berjalan.
Komponen jumlah uang yang beredar di masyarakat pada
umumnya dipresentasikan sebagai agregat moneter yang dikenal dengan M1, M2, dan
seterusnya. M1 disebut juga dengan uang transaksi, yaitu uang yang benar-benar
digunakan dalam bertransaksi, meliputi uang koin/logam (termasuk uang koin yang
tidak dipegang bank sentral), uang kertas, dan rekening giro (checking
account). Jumlah koin dan uang kertas dinamakan dengan uang kartal (currency),
yang biasanya mencakup seperempat atau seperlima dari total M1. Rekening giro ini
disebut dengan uang giral (bank money), yaitu dana yang disimpan di bank atau
lembaga keuangan.
Dengan jenis rekening ini, kita dapat membayar suatu
transaksi dengan cara menulis atau menandatangani cek. Semua itu adalah bagian
dari M1. Agregat lain yang sering memperoleh perhatian adalah M2, yakni yang
disebut dengan uang dalam pengertian luas (broad money). Contohnya adalah
simpanan uang yang ada di bank, rekening giro, dan rekening dana yang ada di
pasar uang dan dipegang oleh para pialang, deposito di pasar uang yang dikelola
oleh bank-bank komersial, dan lain-lain. M2 tidak termasuk uang transaksi,
karena tidak dapat digunakan sebagai alat tukar untuk seluruh pembelian.
Meskipun demikian, M2 disebut juga dengan near money, karena dapat ditukarkan
menjadi uang kontan dalam waktu pendek tanpa kehilangan nilainya. Pada umumnya,
M1 dan M2 inilah yang dijadikan acuan utama untuk mengetahui dan mengontrol
arus uang yang beredar di masyarakat.
Masalahnya sekarang, apakah Negara Khilafah akan
mengganti M1 saja atau akan mengganti M1 dan M2 sekaligus (meski inilah pilihan
yang paling tepat dan aman). Kemudian, apakah cadangan devisa yang dimilikinya
saat ini mencukupi untuk menjamin total nominal M1 dan M2. Apakah emas atau
perak yang dimiliki negara (dalam cadangan devisa atau yang akan dibelinya di
pasar emas internasional) tersedia? Jika jawabannya ya, Negara Khilafah saat
itu juga dapat menggantikan mata uang yang ada menjadi dinar dan dirham yang
syar‘î. Ini tentu dengan beberapa asumsi, misalnya tidak ada utang yang harus
dibayar saat itu, atau tidak ada pelarian emas dan perak ke luar negeri.
Sebagai contoh, jika di negeri ini berdiri
Negara Khilafah dan diketahui jumlah uang yang beredar (misalnya) M1 = Rp 200,-
triliun dan M2 (misalnya 5 kalinya) = Rp 1.000,- triliun, sedangkan harga emas
di dalam negeri 1 gramnya = Rp 90.000,- maka Negara Khilafah paling tidak harus
memiliki cadangan devisa sejumlah Rp 1.200,- triliun; setara dengan USD 133,33
miliar (jika 1 USD = Rp. 9.000); setara dengan 13,33 miliar gram emas = 3,136
miliar dinar (jika di pasar dalam negeri 1 gram emas = Rp 90.000,-).
Perhitungannya akan berbeda sedikit jika ketersediaan emas yang ada di dalam
negeri tidak mencukupi sehingga mengharuskan Negara Khilafah membelinya ke
pasar internasional (dengan harga USD, yang saat ini berada pada kisaran USD
300-an per troy-ounce-nya, dengan 1 troy-ounce = 31,103 gram emas). Akan
tetapi, selama negara memiliki cadangan devisa yang mencukupi dan tidak ada
boikot dan rintangan lain di pasar internasional, hal itu secara praktis mudah
dilakukan. Perhitungan ini juga didasarkan pada standar dan keadaan harga emas
saat ini serta pertukaran nilai mata uang yang ada dengan USD saat ini. Jika
Negara Khilafah menghendaki mata uangnya sangat kuat terhadap mata uang asing
lainnya, tentu konversi mata uang IDR dengan USD harus direvisi; bisa 1 USD =
Rp 1000,- atau 1 USD = Rp 100,-. Semuanya memiliki konsekuensi pada nilai
ketersediaan dan ketercukupan cadangan devisa. Sebab, jika konversi yang
digunakan misalnya 1 USD = Rp100,- maka untuk menggantikan M1 dan M2 diperlukan
paling tidak cadangan devisa sebesar USD 12 triliun.
Apabila semuanya tercukupi dan tersedia, Negara
Khilafah tinggal mencetak dinar atau dirham syar‘î, kemudian terhadap
masyarakat diberikan tenggat waktu untuk menukar mata uangnya menjadi dinar dan
dirham. Proses ini mirip dengan apa yang terjadi di Uni Eropa tatkala
negara-negara anggotanya secara hampir bersamaan mengubah mata uangnya dengan
mata uang euro. Perbedaannya, dalam Negara Khilafah, nilai nominal uang yang
beredar (baik pada M1 maupun M2) dijamin dan di-back-up oleh emas atau perak
yang nilainya setara dengan jumlah uang yang beredar dan disimpan di dalam kas
negara sebagai cadangan (guaranteed); sedangkan euro, sama dengan dolar AS,
berbentuk fiat money, yaitu onggokan kertas yang oleh
pemerintah dianggap sebagai legal tender dan masyarakat diharuskan menerimanya
sebagai alat pembayaran/transaksi yang memiliki nilai tertentu. Artinya,
negara-negara yang ada saat ini (termasuk Indonesia) yang menganut fiat money
bisa mencetak sebanyak berapapun mata uang kertasnya dan dengan nilai nominal
berapapun tanpa di-back-up oleh jaminan emas atau perak. Tentu saja, pada satu
titik dan keadaan tertentu, legal tender ini akan runtuh dan tumpukan rupiah
atau dolar sekalipun akan sama nilainya dengan setumpuk sampah kertas biasa.
Dengan demikian, upaya Negara Khilafah untuk memiliki
ketersediaan dan ketercukupan cadangan devisa harus dimulai sejak sekarang
(meski Negara Khilafah itu belum lagi terwujud), yaitu dengan mencegah pelarian
emas atau perak ke luar negeri. Langkah-langkah praktis
yang mampu menjaga dan menambah ketersediaan emas atau perak antara lain:
Negeri-negeri Muslim saat ini harus mengurangi atau
bahkan menghentikan impor barang-barang luar negeri. Sebab, hal ini hanya
berakibat pada pelarian modal keluar negeri (dalam bentuk emas/perak dan mata
uang asing).
Meningkatkan ekspor ke luar negeri, dengan pembayaran
berupa emas/perak atau mata uang asing yang digunakan untuk pembayaran impor
(jika negara masih melakukan impor terhadap komoditi tertentu yang sangat
diperlukan).
Menghentikan dan mengambilalih perusahaan-perusahaan
pertambangan (termasuk pertambangan emas dan perak) yang dikonsesikan kepada
pihak asing. Dengan begitu, negaralah yang akan memproduksi, mengontrol, dan
menjadikannya sebagai cadangan devisa untuk mem-back-up penerbitan dinar dan
dirham yang syar‘î.
Negara memaksakan setiap transaksi perdagangan dengan
luar negeri untuk menggunakan standar dinar dan dirham (atau mata uang yang
berbasis pada logam emas dan perak). Dalam hal ini, negara Khilafah dapat
memperoleh keuntungan kapital berupa emas dan perak dari pembayaran komoditi
strategis yang dibutuhkan oleh dunia internasional, seperti minyak.
Berdasarkan penjelasan ini, tidak mungkin suatu negara
menerapkan dan mengubah mata uangnya menjadi dinar dan dirham yang syar‘î,
kecuali negara tersebut mampu melawan hegemoni politik, ekonomi, dan militer
negara-negara adidaya saat ini, terutama AS. Sebab, AS tidak akan tinggal diam
terhadap keberadaan negara lain yang akan menghancurkan sistem ekonomi
kapitalis yang dibangun untuk melayani kepentingan-kepentingannya di seluruh
dunia. AS menghendaki seluruh negara yang ada di dunia merujuk pada USD, karena
hal ini dapat dijadikan senjata dan alat imperialisme baru AS untuk
menghancurkan atau mengekploitasi kekayaan negara-negara lain di dunia. Itu
berarti, keinginan untuk mengubah mata uang negeri-negeri Islam yang ada saat
ini menjadi dinar dan dirham syar‘î yang berbasiskan logam emas dan perak (yang
nilai nominal dan intrinsiknya sama) harus dibarengi dengan keinginan kuat umat
Islam untuk memiliki Negara Khilafah yang besar, kuat, dan menjadi negara
adidaya di dunia. Sistem moneter yang syar‘î (termasuk mata uang dinar dan
dirham syar‘î) tidak akan berhasil diwujudkan pada suatu negara yang
terkungkung oleh dominasi ekonomi kapitalis dan sangat tergantung pada kekuatan
ekonomi global (terutama ekonomi negara-negara kafir Barat). Untuk itu, umat
Islam maupun para penguasa kaum
Muslim saat ini harus mulai mempersiapkan ketersediaan
dan ketercukupan cadangan devisa (dalam bentuk emas dan perak) agar dengan
berdirinya Negara Khilafah (dalam waktu dekat, insya Allah) kaum Muslim dapat
menerapkan secara total seluruh hukum-hukum Islam, termasuk hukum-hukum tentang
moneter dan mata uang.
Tanpa konsep dan tahapan-tahapan yang jelas, cita-cita
besar dan gamblang, serta kerja keras dan perjuangan yang tak mengenal lelah,
yang disertai dengan kesiapan kaum Muslim untuk berkorban maka keinginan itu
tidak mungkin terwujudkan. Masalahnya bagi kita sekarang adalah tinggal memilih
salah satu di antara dua jalan, apakah kita hanya sekadar ingin bermimpi di
bawah telapak kaki kapitalisme yang penuh dengan kotoran dan najis atau
berjuang, berkorban, dan bekerja keras untuk mewujudkan hukum-hukum Allah Swt.
melalui tegaknya negara Khilafah ar-Râsyidah yang mengikuti manhaj Nabi saw.?
[]
0 comments:
Post a Comment