28 Apr 2015

HADITS AHAD TIDAK BOLEH DIJADIKAN HUJJAH DALAM PERKARA AQIDAH

Oleh: Syamsuddin Ramadhan an-Nawi

Meskipun diskusi seputar hadits ahad –menghasilkan keyakinan atau tidak– telah
menjadi bahan perdebatan di kalangan kaum muslim dan para ‘ulama, akan tetapi perbedaan
pendapat dalam masalah ini tidak pernah menyulut pertentangan maupun tindakan-tindakan
gegabah untuk saling mengkafirkan dan menyesatkan. Para ‘ulama yang berpendapat, bahwa
hadits ahad menghasilkan ilmu (keyakinan) tidak pernah mengeluarkan sepatah kata “pengkafiran
maupun penyesatan” kepada ‘ulama yang berpendapat, bahwa khabar ahad tidak menghasilkan
keyakinan. Sebab, perbedaan pendapat dalam masalah tersebut masih dalam lingkup yang
diperbolehkan, dan tidak berhubungan dengan masalah-masalah prinsip (‘aqidah).

Salah seorang pakar tafsir Syaikh Mohammad Jamaluddin al-Qasimi dalam kitab
tafsirnya, Mahasinu Ta’wil menyatakan, bahwa mengkritik hadits ahad sudah biasa terjadi dan
populer sejak periode shahabat. Beliau menyebutkan pendapat al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, dan
al-Fanari, bahwa yang mengkritik dan menolak hadits ahad[1] tidak dapat dianggap kafir, fasik,
atau sesat. Pasalnya, hal semacam ini pernah terjadi dan dilakukan oleh para shahabat dan
ulama. ‘Aisyah ra pernah menolak hadits yang menyebutkan, bahwa seorang mayit akan disiksa
karena ditangisi oleh keluarganya. ‘Umar juga pernah menolak riwayat dari Hafshah pada saat
terjadi pengumpulan al-Quran[2].

Sayyid Qutub dalam tafsir Fi Dzilalil Quran menyatakan, bahwa hadits ahad tidak bisa
dijadikan hujjah dalam menerima masalah ‘aqidah. Al-Quranlah rujukan yang benar, dan
kemutawatirannya adalah syarat dalam menerima pokok-pokok ‘aqidah[3].
Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali menyatakan, “Kami berpendapat bahwa khabar ahad tidak
menghasilkan keyakinan (ilmu). Masalah ini adalah perkara yang sudah diketahui secara luas
(ma’lumun bi al-dlarurah). Sesungguhnya, kami tidak membenarkan (mengimani) semua berita
yang kami dengar. Seandainya kami harus membenarkan (mengimani) dan mengakui
pertentangan diantara dua berita, lantas bagaimana kami bisa menyakini dua perkara yang
bertentangan? Adapun pendapat-pendapat yang dituturkan oleh para ahli hadits, bahwa hadits
ahad itu wajib diyakini, maka ketahuilah bahwa yang mereka maksud dengan “hadits ahad
menghasilkan ilmu”, adalah wajibnya seseorang mengamalkan isi hadits ahad.” [4]

Anehnya, ada sebagian kaum muslim yang dengan gegabah dan prematur telah
menyesatkan sekelompok kaum muslim yang berpendapat bahwa khabar ahad tidak boleh
dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah. Padahal pendapat yang menyatakan bahwa khabar ahad
tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekedar dzan adalah pendapat terkuat yang dipilih oleh
jumhur ‘ulama. Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan
keyakinan adalah pendapat rapuh yang didasarkan pada dalil-dalil yang lemah. Bahkan, orang
yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan ilmu (keyakinan) telah merendahkan akal
pikirannya sendiri.

Perhatikan komentar dari Imam Bazdawiy, “Adapun siapa saja yang menyerukan bahwa
hadits ahad menghasilkan ilmu yaqin, tanpa diragukan lagi, itu adalah seruan bathil. Sebab,
setiap orang pasti menolaknya. Semua ini disebabkan karena, khabar ahad masih mengandung
syubhat. Tidak ada keyakinan bila masih mengandung syubhat (kesamaran). Siapa saja yang
menolak hal ini, sungguh ia telah merendahkan dirinya sendiri dan sesat akalnya.”[5]

Pada dasarnya, ’aqidah harus dibangun berdasarkan dalil-dalil yang menyakinkan, baik tsubut
maupun dilalahnya. Sebab, keyakinan (‘aqidah) yang dituntut oleh syara’ adalah keyakinan yang
tidak ada keraguan sedikitpun. Dengan kata lain, ‘aqidah harus menyakinkan dan pasti
kebenarannya. Oleh karena itu, dalil yang membangun pokok-pokok ‘aqidah haruslah dalil yang
menyakinkan, baik dari sisi tsubut maupun dilalahnya[6].

Allah swt berfirman, artinya:
م تك يل لا له و س ور ه وا الل طيع ت ن إ و م بك و ي لق ف يان إ ال خل يد ا & لم و نا م ل س لوا أ و ق ن لك و نوا م ؤ ت لم ل ا ق & من ا- ء اب عر لأ ا لت قا
هم ل وا م أ وا ب د اه وج بوا تا ير لم & ثم له و رس و ه بالل نوا م ا- ء ين لذ ا نون ؤم م ا ال نم& حيم) 14 إ( ر 6 فور غ ه الل ن ئا إ 9 ي ش م لك ا م أع ن م
قون اد & الص هم ك لئ أو ه الل بيل ي س ف م ه س ف ن أ و
“Orang-orang Badui itu berkata,”Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka),”Kamu belum
beriman, tetapi katakanlah,”kami telah tunduk”, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu dan jika kamu taat kepada Allah dan RasulNya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun pahala
amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Sesungguhnya orangorang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.”[al-Hujurat:14-15]

Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas sebagai berikut:
“Dari ayat ini diperoleh pemahaman, bahwa iman itu lebih khusus dibandingkan Islam. Pendapat
ini dipegang oleh kalangan ahlu sunnah wal jama’ah……Orang-orang yang beriman adalah orangorang yang tidak pernah ragu dan goyah. Mereka selalu teguh dalam pendirian, yakni
membenarkan secara pasti (al-tashdiiq al-mahdliy).”[7]

Dari keterangan Imam Ibnu Katsir ini kita bisa menyimpulkan, bahwa keimanan yang dituntut oleh
Allah swt adalah keimanan yang tidak pernah disusupi oleh keraguan dan kesamaran. Dengan
kata lain, keimanan yang dituntut oleh syariat adalah keimanan pasti yang tidak pernah dimasuki
unsur dzan maupun keraguan. Ayat di atas juga menuturkan dengan sangat gamblang, bahwa
Allah swt telah menolak klaim keimanan sebagian orang Arab. Allah swt menolak klaim
keimanan mereka disebabkan karena keimanan yang sebenarnya belum masuk ke dalam hati
mereka. Mereka hanya tunduk dan berserah diri kepada Allah swt dan RasulNya, namun belum
sepenuhnya iman.

Dari ayat di atas dapat disimpulkan, bahwa keimanan yang dituntut oleh Allah swt adalah
keimanan pasti, tanpa ada keraguan sedikitpun (tashdiid al-mahdl)
Hadits ahad adalah hadits yang sanadnya masih mengandung syubhat atau
kesamaran[8]. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa dari sisi itsbat (penetapan), hadits ahad
tidak bisa diyakini seratus persen (100%) benar-benar berasal dari Rasulullah saw. Dengan kata
lain, hadits ahad –dari sisi sumber—hanya menghasilkan dzan belaka (99,99%). Atas dasar itu,
dari sisi tsubut (penetapan), hadits ahad tidak bisa menghasilkan kepastian atau keyakinan. Ia
hanya menghasilkan dzan saja.

Karena tidak menghasilkan keyakinan, alias hanya menghasilkan dzan saja, maka hadits
ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam perkara-perkara yang membutuhkan keyakinan pasti
(‘aqidah = 100%). Sebab, dari sisi itsbat, derajat kebenaran hadits ahad tidak mencapai 100%.
Pendapat semacam ini dipegang dan dianggap paling kuat oleh jumhur para ‘ulama.
Prof. Mahmud Syaltut[9] menyatakan,”Sesungguhnya jalan satu-satunya untuk
menetapkan masalah ‘aqidah adalah al-Quran al-Karim; yakni ayat-ayat Quran yang qath’iy
dilalahnya –ayat yang tidak mengandung dua makna atau lebih–, sebagaimana ayat-ayat yang
digunakan untuk menetapkan keesaan Allah, risalah, dan keyakinan kepada hari akhir. Ayat-ayat
yang tidak qath’iy dilalahnya –mengandung dua makna atau lebih–, maka ayat-ayat semacam ini
tidak absah dijadikan dalil dalam masalah ‘aqidah……Walhasil, apakah ‘aqidah bisa ditetapkan
dengan al-Quran atau tidak, tergantung dari dilalahnya, qath’iy atau dzanniy. Jika ‘aqidah tidak
boleh ditetapkan kecuali berdasarkan nash yang qath’iy baik dari sisi wurud (tsubut) dan
dilalahnya, maka….. ”[10]

Seluruh ‘ulama tidak berbeda pendapat, bahwa al-Quran dan hadits mutawatir yang qath’iy
dilalahnya merupakan sumber yang menyakinkan (qath’iy tsubut) untuk menetapkan pokok keyakinan. Namun, bila dilalahnya tidak qath’iy maka ia tidak boleh dijadikan hujjah dalam
perkara ‘aqidah –yang berimplikasi kepada kekufuran dan keimanan–, meskipun dari sisi tsubut
menyakinkan. Para ‘ulama berbeda pendapat mengenai status hadits ahad; apakah dari sisi
tsubut (penetapan) menghasilkan keyakinan atau tidak.
Sebagian ‘ulama berpendapat, bahwa hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan. Sebagian
‘ulama lain menyatakan bahwa hadits ahad menghasilkan keyakinan. Ada pula yang berpendapat,
jika hadits ahad diperkuat qarinah, maka ia menghasilkan keyakinan.[11]

Pendapat Para ‘Ulama Mengenai Hadits Ahad
Berikut ini kami ketengahkan para ‘ulama yang berpendapat bahwa khabar ahad tidak
menghasilkan keyakinan.

Imam Syaukani menyatakan, “Khabar ahad adalah berita yang dari dirinya sendiri tidak
menghasilkan keyakinan. Ia tidak menghasilkan keyakinan baik secara asal, maupun dengan
adanya qarinah dari luar…Ini adalah pendapat jumhur ‘ulama. Imam Ahmad menyatakan
bahwa, khabar ahad dengan dirinya sendiri menghasilkan keyakinan. Riwayat ini diketengahkan
oleh Ibnu Hazm dari Dawud al-Dzahiriy, Husain bin ‘Ali al-Karaabisiy dan al-Harits al-
Muhasbiy.’[12]

Prof Mahmud Syaltut menyatakan, ‘Adapun jika sebuah berita diriwayatkan oleh seorang,
maupun sejumlah orang pada sebagian thabaqat –namun tidak memenuhi syarat mutawatir [pentj]
—maka khabar itu tidak menjadi khabar mutawatir secara pasti jika dinisbahkan kepada
Rasulullah saw. Ia hanya menjadi khabar ahad. Sebab, hubungan mata rantai sanadnya yang
bersambung hingga Rasulullah saw masih mengandung syubhat (kesamaran). Khabar
semacam ini tidak menghasilkan keyakinan (ilmu)[13].”

Beliau melanjutkan lagi, ‘Sebagian ahli ilmu, diantaranya adalah imam empat (madzhab) ,
Imam Malik, Abu Hanifah, al-Syafi’iy dan Imam Ahmad dalam sebuah riwayat menyatakan bahwa
hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan.”[14]

Imam Bazdawiy menyatakan, “Adapun yang mendakwakan ilmu yaqin –maksudnya
adalah hadits hadits–, maka itu adalah dakwaan bathil tanpa ada keraguan lagi. Sebab, setiap
orang pasti menolaknya. Semua ini disebabkan karena, khabar ahad masih mengandung
syubhat. Tidak ada keyakinan bila masih mengandung syubhat (kesamaran). Siapa saja yang
menolak hal ini, sungguh ia telah merendahkan dirinya sendiri dan sesat akalnya.”[15] Imam
Bazdawiy menambahkan lagi, ‘Khabar ahad selama tidak menghasilkan ilmu tidak boleh
digunakan hujah dalam masalah i’tiqad (keyakinan). Sebab, keimanan harus didasarkan kepada
keyakinan. Namun demikian, khabar ahad hanya menjadi hujjah dalam masalah amal.[16]”
Imam Asnawiy menyatakan, “Sedangkan sunnah, maka hadits ahad tidak menghasilkan
apa-apa kecuali dzan[17]” Beliau menambahkan lagi, “Riwayat ahad hanya menghasilkan
dzan. Namun, Allah swt membolehkan dalam masalah-masalah amal didasarkan pada
dzan….”[18]

Al-Ghazali berkata, ‘Khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan. Masalah ini –khabar ahad
tidak menghasilkan keyakinan—merupakan perkara yang sudah dimaklumi. Apa yang dinyatakan
sebagian ahli hadits bahwa ia menghasilkan ilmu, barangkali yang mereka maksud dengan
menghasilkan ilmu adalah kewajiban untuk mengamalkan hadits ahad. Sebab, dzan kadangkadang
disebut dengan ilmu.”[19]

Al-Kasaaiy menyatakan, “Jumhur fuqaha’ sepakat, bahwa hadits ahad yang tsiqah bisa
digunakan dalil dalam masalah ‘amal (hukum syara’), namun tidak dalam masalah
keyakinan…”[20]

Imam Al-Qaraafiy salah satu ‘ulama terkemuka dari kalangan Malikiyyah berkata,
“..Alasannya, mutawatir berfaedah kepada ilmu sedangkan hadits ahad tidak berfaedah kecuali
hanya dzan saja.”[21]

Al-Qadliy berkata, di dalam Syarh Mukhtashar Ibn al-Haajib berkata, “’Ulama berbeda
pendapat dalam hal hadits ahad yang adil, dan terpecaya, apakah menghasilkan keyakinan bila
disertai dengan qarinah. Sebagian menyatakan, bahwa khabar ahad menghasilkan keyakinan
dengan atau tanpa qarinah. Sebagian lain berpendapat hadits ahad tidak menghasilkan ilmu, baik
dengan qarinah maupun tidak.”Syeikh Jamaluddin al-Qasaamiy, berkata, “Jumhur kaum muslim, dari kalangan shahabat, tabi’in, dan ‘ulama-ulama setelahnya, baik dari kalangan fuqaha’, muhadditsin, serta ‘ulama ushul; sepakat bahwa khabar ahad yang tsiqah merupakan salah satu hujjah syar’iyyah; wajib diamalkan, dan hanya menghasilkan dzan saja, tidak menghasilkan ‘ilmu.”[22]

Dr. Rifat Fauziy berkata, “Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang,dua
orang, atau lebih akan tetapi belum mencapai tingkat mutawatir, sambung hingga Rasulullah saw.
Hadits semacam ini tidak menghasilkan keyakinan, akan tetapi hanya menghasilkan dzan….akan
tetapi, jumhur ‘Ulama berpendapat bahwa beramal dengan hadits ahad merupakan
kewajiban.”[23]

Inilah komentar sebagian ulama mengenai hadits ahad. Mereka menyatakan bahwa hadits ahad
tidak menghasilkan ilmu (keyakinan). Dengan kata lain, hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah
untuk membangun pokok-pokok keimanan. Lebih dari itu, pendapat semacam ini adalah pendapat
terkuat yang dipegang oleh jumhur para ‘ulama.
Akan tetapi, kita tidak pernah menjumpai bahwa para ‘ulama-‘ulama tersebut dengan gegabah
menyesatkan atau mengkafirkan ‘ulama-‘ulama lain yang berseberangan pendapat dengan
mereka.

Sangat disesalkan, ada sebagian kaum muslim yang sedikit pengetahuannya telah menyesatkan,
bahkan mengkafirkan saudara seimannya, padahal pendapat mereka sendiri adalah pendapat
lemah yang tidak layak untuk diikuti.
Untuk menepis pendapat-pendapat yang menyatakan, bahwa hadits ahad wajib dijadikan
hujjah dalam masalah ‘aqidah, kami akan memaparkan secara ringkas penjelasan yang dipilih oleh
jumhur ‘ulama.

Dalil Kokoh : Hadits Ahad Tidak Absah Digunakan Dalil Dalam Perkara ‘Aqidah

1. Ijma’ shahabat tatkala mengumpulkan al-Quran al-Kariim.
Bila anda perhatikan dengan seksama proses pengumpulan al-Quran dalam mushhaf
Imam, maka anda akan berkesimpulan bahwa riwayat ahad tidak bisa digunakan hujjah dalam
perkara-perkara yang membutuhkan keyakinan (aqidah). Bahkan, bersikeras dengan pendapat
yang menyatakan, bahwa khabar ahad harus diyakini dan wajib dijadikan hujjah dalam perkara
‘aqidah justru akan berimplikasi serius bagi kesucian dan kebersihan ‘aqidah Islam itu sendiri.
Kita telah memahami bahwa al-Quran merupakan salah satu pokok keimanan bagi kaum
muslim. Seorang mukmin tidak boleh meragukan keotentikan dan kesempurnaan al-Quran. Al-
Quran yang dimaksud di sini adalah al-Quran yang terlembaga dalam mushhaf ‘Utsmaniy. Apabila
ada riwayat yang dianggap al-Quran, namun tidak diriwayatkan dengan jalan mutawatir, maka
riwayat itu tidak boleh diyakini sebagai al-Quran.

Al-Quran yang sampai ke tangan kita, seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir.
Riwayat-riwayat ahad yang dianggap sebagai al-Quran, tidak boleh diyakini sebagai Al-Quran.
Para shahabat sendiri tidak pernah melembagakan riwayat-riwayat ahad yang dianggap al-Quran
ke dalam mushhaf Imam.
Kenyataan ini saja sudah cukup untuk menggugurkan wajibnya menjadikan riwayat ahad
sebagai hujjah dalam masalah ‘aqidah. Sebab, al-Quran adalah pokok dan sumber ‘aqidah kaum muslim. Sementara itu, semua yang tertulis di dalam mushhaf Imam tidak diriwayatkan kecuali
secara mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang dianggap sebagai al-Quran sama sekali tidak
ditulis, bahkan harus ditolak sebagai bagian dari al-Quran.

Pakar ‘ulumul Quran, al-Hafidz al-Suyuthiy dalam kitab al-Itqan fi ‘Uluum al-Quran
menyatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat, bahwa semua bagian dari al-Quran harus (wajib)
mutawatir, baik dari sisi pokoknya, bagian-bagiannya, tempatnya, topiknya dan urut-urutannya.
Kalangan pentahqiq ahlu sunnah juga berpendapat bahwa al-Quran harus diriwayatkan secara
qath’iy (mutawatir). Sebab, biasanya sesuatu yang menghasilkan kepastian harus mutawatir. Al-
Quran adalah mukjizat agung yang menjadi pokok agama yang lurus (ashl al-diin al-qawiim). Ia
juga sebagai shirath al-mustaqim (jalan yang lurus), baik pada aspek global, maupun
terperincinya. Adapun, riwayat yang dituturkan secara ahad dan tidak mutawatir , secara qath’iy
ia bukan merupakan bagian dari al-Quran. Sebagian besar kalangan ushuliyyin berpendapat
bahwa mutawatir merupakan syarat penetapan apakah riwayat tersebut termasuk al-Quran atau
tidak.“ [24]

Sebagian besar ‘ulama ushul –sebagaimana pendapat al-Hafidz al-Suyuthiy—
berpendapat, bahwa mutawatir merupakan syarat itsbat (penetapan), apakah suatu riwayat
dianggap sebagai bagian dari al-Quran atau tidak. Mereka berpendapat, bahwa riwayat-riwayat
ahad yang dinyatakan sebagai al-Quran tidak boleh diyakini sebagai al-Quran secara pasti. Ini
menunjukkan bahwa khabar ahad tidak boleh digunakan hujjah untuk menetapkan al-Quran. Al-
Quran adalah pokok dari keyakinan kaum muslim. Mengingkari al-Quran, atau menyakini bahwa
al-Quran telah mengalami penambahan ataupun pengurangan adalah tindakan bathil yang harus
dijauhi oleh orang-orang beriman.

Keterangan ini telah membuktikan, bahwa hadits ahad tidak bisa digunakan sebagai hujjah
dalam perkara ‘aqidah (keyakinan). Al-Quran adalah pokok keimanan kaum muslim, dan ia harus
ditetapkan dengan riwayat-riwayat yang mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang diklaim sebagai al-
Quran harus ditolak sebagai bagian dari al-Quran.
Berikut ini kami ketengahkan riwayat-riwayat ahad yang dianggap al-Quran, akan tetapi
tidak boleh diyakini sebagai al-Quran:
· Bukhari dalam kitab Tarikhnya menyatakan sebuah riwayat dari Hudzaifah, ia berkata:
الن ه دت وج ا م J ية آ ن ي ع ب ها س ن م ت ي س نف م لس و ه ي ع ل ل M ى ا صل ي & ى البن عل ب زا ح ا ة ال ر و س ت أ ر ق
”Saya pernah membaca surat al-Ahzab pada masa Nabi saw dan tujuh puluh ayat
daripadanya saya sudah lupa, dan saya tidak mendapatkannya di dalam al-Quran
sekarang.’[25]

Riwayat ini adalah riwayat ahad. Seandainya riwayat ini bisa digunakan hujjah dalam
masalah ‘aqidah, tentu kita harus menyakini juga bahwa surat al-Ahzab yang tertuang dalam
mushhaf Imam tidak lengkap. Sebab, ada 70 ayat dalam surat al-Ahzab yang telah hilang.
Padahal, keyakinan semacam ini tentu akan berakibat fatal bagi kebersihan dan keotentikan
al-Quran al-Karim sebagai kalamullah dan mukjizat terbesar dari Rasulullah saw. Menyakini
riwayat ini sama artinya menuduh al-Quran telah mengalami tahrif (perubahan).

· Riwayat semacam ini juga diketengahkan oleh Abu Ubaid di dalam al-Fadlaail dan Ibnu
Mardawaih dari ‘Aisyah, ia menyatakan:
ر قد ي لم ف اح ص م ال ان م ث ع ب ت ا ك & م ل ف J آية ي ئ ات م م لس و ه ي ع ل M ى ال ل ي ص ب& انل ان م ي ز ف أر تق اب ز ح ا ال ة ور س ت نا ك
و الن ه ا ى م عل لا إ ا ه من
“Pada masa Nabi saw, surat al-Ahzab dibaca sebanyak dua ratus ayat. Akan tetapi,
ketika ‘Utsman menulis mushhaf dia tidak bisa mendapatkannya kecuali sebagaimana yang ada sekarang ini.” [26]

Seandainya riwayat ahad ini harus diyakini, tentunya lebih dari separuh surat al-Ahzab
harus diyakini telah hilang, tepatnya seratus dua puluh tujuh ayat hilang dari surat al-Ahzab.
Sebab, surat al-Ahzab yang ada di dalam Al-Quran hanya sampai tujuh puluh tiga ayat. Atas
dasar itu, riwayat ini tidak boleh diyakini sebagai bagian dari al-Quran. Jika, riwayat ahad
memang benar-benar bisa dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah tentunya, mereka harus
menyakini riwayat ini; namun pada saat yang bersamaan ia akan menentang keotentikan
mushhaf ‘Utsmaniy.

· Imam al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashahif dan al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Zuhri
dalam hadits panjang yang menceritakan tentang pengumpulan Al-Quran, disana disebutkan:
وأمر أبو بكر مناديا فنادى ف الناس من كان عنده من القرآن شيء فليجيء به قالت حفصة إذا انتهيتم إل
هذه الية فأخبون حافظوا على الصلوات والصلة الوسطى فلما بلغوا إليها قالت اكتبوا والصلة الوسطى
وهي صلة العصر فقال لا عمر ألك بذا بينة قالت ل قال فو ال ل ندخل ف القرآن ما تشهد به امرأة بل
إقامة بينة
“Abu Bakar ra memerintah seorang mu’adzin untuk mengumumkan kepada masyarakat,
siapa saja yang memiliki sesuatu dari al-Quran agar mereka menyerahkannya. Hafshah salah
seorang Ummul Mukminin berkata, “Jika kalian sampai pada ayat ini , beritahulah aku!
(Hafidzu ‘ala al-shalawaat wa al-shalaat al-wustha…). Setelah sampai pada ayat tersebut,
mereka menyampaikan kepada Hafshah. Hafshah berkata, “Tulislah, hafidzu…wa al-shalaat
al-wustha, wa al-shalaat al-‘ashr..”. ‘Umar ra bertanya, “Apakah kamu punya saksi?” Hafshah
menjawab, “Tidak!”. ‘Umar berkata, “Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang
disaksikan oleh seorang perempuan sedangkan ia tak punya bukti.”[27]

Riwayat Hafshah ini juga tidak boleh diyakini sebagai al-Quran. Sebab, ia adalah
khabar ahad, dan riwayat-riwayat ahad tidak boleh diyakini sebagai bagian al-Quran. Jika
riwayat ini diyakini sama artinya menyakini bahwa al-Quran telah mengalami pengurangan.
Sebab, mushhaf ‘Utsmaniy tidak mencantumkan lafadz “al-‘ashr”.

· Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwatha’, dan Ibnu Dawud dalam Mashahif dari
Ummul Mukminin ‘Aisyah ra, ia berkata, “Telah turun ayat tentang 10 (kali isapan) susuan yang
mengharamkan (menjadikan mahram), kemudian dihapus dengan 5 kali (isapan) susuan.
Kemudian Rasulullah saw meninggal, sedangkan beliau menyatakan ia adalah al-Quran.”
Namun demikian, tak seorangpun shahabat yang memperhatikan riwayat ini. Mereka tidak
menulisnya di dalam Mushhaf. Perilaku shahabat ini membuktikan bahwa mereka tidak
menganggap riwayat ‘Aisyah ini sebagai bagian dari al-Quran dan mereka tidak menyakini
riwayat ini. Pasalnya, jika riwayat ini harus diyakini, maka sama artinya kita menuduh para
shahabat telah bersekongkol mengurangi ayat al-Quran. Tentunya, keyakinan semacam ini
adalah keyakinan bathil yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Na’udzu billahi
min dzalik.

Tatkala menjelaskan masalah radla’ah (persusuan), Imam Ibnu Taimiyyah
menyatakan, bahwa sebagian ulama, diantaranya adalah Abu Tsaur dan lain-lainnya, telah
menolak berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ini. Menurut mereka, riwayat
tersebut bukanlah al-Quran. Sebab, al-Quran tidak ditetapkan kecuali dengan riwayat
mutawatir, sedangkan hadits ini tidak mutawatir. Imam Ibnu Tamiyyah kemudian
menyatakan pendiriannya, “Kami pun tidak menyatakan bahwa riwayat ini adalah al-Quran,
dan kami tidak menganggap riwayat ini sebagai al-Quran.” Selanjutnya, beliau juga mengutip
pendapat Imam al-Syafi’iy yang menyatakan bahwa riwayat ini tidak boleh dianggap sebagai
al-Quran. Sebab, al-Quran tidak ditetapkan kecuali dengan berita mutawatir. Atas dasar itu, al-Syafi’iy menolak berhujjah dengan hadits ini.[28]

· Ibnu Abi Dawud meriwayatkan dalam Mashahif, Ibnu Mundzir, al-Haakim, dan lain-lain
dari Mushhafnya Ubay bin Ka’ab, ia menuturkan ayat tentang kifarah (denda) budak. Di
dalam mushhafnya Ubay tersebut disebutkan bahwa Ubay membaca:
فصيام ثلثة أيام متتابعات
“fa shiyaam tsalaats ayaam mutatabi’aat fi kifaarat al-yamiin”[berpuasa tiga hari berturut-turut
untuk kifarat al-yamin].”[29]

Akan tetapi, riwayat ini juga tidak dicantumkan ke dalam mushhaf imam, sebab riwayat
tersebut adalah khabar ahad. Riwayat ini juga tidak boleh dianggap sebagai al-Quran.
Sebab, seandainya ia harus diyakini, maka al-Quran yang terlembaga di dalam mushhaf
‘Utsmaniy tidak lagi otentik, alias telah mengalami pengurangan. Imam Syafi’iy menolak
riwayat ini, sebab ia dinukil dengan jalan ahad.[30]

Imam Ibnu Katsir menafsirkan surat al-Maidah ayat 89 sebagai berikut,”…Para ‘ulama
berbeda pendapat apakah puasa wajib dikerjakan secara berurutan (mutatabi’aat) atau tidak.
Ada dua pendapat dalam masalah ini. Pendapat pertama menyatakan tidak wajib. Pendapat
ini dipegang oleh Imam Syafi’iy dalam kitab al-Aiman (sumpah) dan juga dianut oleh Imam
Malik, dimana beliau berhujjah berdasarkan kemutlakan ayat di atas. Pendapat ini dianggap
paling tepat oleh mayoritas para ulama dan beberapa kelompok ulama, seperti halnya qadla
dalam puasa Ramadlan. Namun demikian, pada pembahasan lain di dalam kitab al-Umm,
Imam Syafi’iy menyatakan wajib mengerjakan puasa secara berurutan. Ini sejalan dengan
pendapat Hanafiyah dan Hanabilah. Mereka membangun pendapatnya berdasarkan sebuah
hadits yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab,” “fa shiyaam tsalaats ayaam mutatabi’aat fi
kifaarat al-yamiin”[berpuasa tiga hari berturut-turut untuk kifarat al-yamin]….al-A’masy berkata,
“Shahabat Ibnu Mas’ud telah membaca ayat di atas seperti itu (dengan tambahan
mutataabi’aat). Akan tetapi, jika riwayat ini tidak terbukt telah ditetapkan sebagai Quran yang
mutawatir, bisa jadi ia hanyalah khabar ahad, atau tafsir dari para shahabat yang hukumnya
marfu’ (bersambung hingga Rasulullah saw)….”[31]

· Imam Ahmad, Haakim dari Katsir bin Shalat, ia berkata, “Adalah Ibn al-‘Ash dan Zaid bin
Tsabit sedang menulis mushhaf. Lalu, sampailah mereka kepada ayat ini, maka Zaid
berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “al-Syaikh wa syaikhaat idza zanaya
[kakek dan nenek jika berzina].” ‘Umar berkata, “Bukankah engkau tahu bahwa seorang
kakek, jika ia tidak muhshon akan dijilid, sedangkan jika seorang pemuda berzina, dan ia
muhshon, maka dirajam”.

· Dalam riwayat Muwatha’ ‘Umar berkata dalam khutbahnya, “Seandainya bukan karena
orang-orang mengatakan, bahwa ‘Umar bin Khaththab telah menambah Kitabullah, sungguh
aku akan menulisnya (ayat rajam), sungguh kami telah membacanya”.

Riwayat ini bukanlah al-Quran dan tidak boleh diyakini sebagai ayat al-Quran yang
dihapus (mansukh). Sebab, riwayat ini adalah khabar ahad, dan ia bukan bagian dari al-
Quran. Kita telah memahami bahwa khabar ahad tidak menghasilkan apapun kecuali hanya
sekedar dzan saja. Al-Quran tidak ditetapkan kecuali dengan jalan kepastian (qath’iy) . Atas
dasar itu kita tidak bisa menyatakan bahwa riwayat-riwayat semacam ini sebagai al-Quran,
apalagi dinyatakan bahwa riwayat-riwayat di atas adalah al-Quran yang dihapus. Di sisi yang
lain, para ‘ulama, misalnya Imam Syafi’iy telah menyatakan bahwa, al-Quran tidak bisa
dihapus oleh sunnah[32].

Al-Quran sendiri adalah salah satu rukun dari rukun-rukun ‘aqidah yang harus diimani baik yang global maupun yang rinci. Seandainya riwayat ini bisa digunakan hujjah dalam
masalah keyakinan (‘aqidah) tentu kita harus menyakini juga bahwa mushhaf ‘Utsmaniy tidak
lagi otentik. Sebab, mereka tidak melembagakan ayat rajam yang disampaikan oleh ‘Umar ra
di dalam mushhaf ‘Utsmaniy.

· Ada pula riwayat yang dikeluarkan oleh Ahmad, al-Bazari, Thabarani, Ibnu Mardawaih
dengan jalan shahih dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud, bahwa Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas
tidak memasukkan al-Mu’awidzatain (surat al-Falaq dan al-Naas) dari mushhafnya. Keduanya
menyatakan bahwa al-Quran tidak tercampur dengan sesuatu yang bukan dari Kitabullah.
Dengan kata lain, kedua shahabat itu berpendapat, bahwa al-mu’awidzatain bukan termasuk
al-Quran, namun hanya perintah Allah kepada Nabi saw untuk berlindung dengan keduanya”.
· Imam Fakhr al-Raziy menuturkan, bahwa sebagian kitab-kitab terdahulu telah menyebutkan
bahwa Ibnu Mas’ud telah mengingkari surat al-Fatihah dan al-Mu’awidzatain sebagai bagian
dari al-Quran. [33]

Imam Nawawiy dalam Syarh al-Muhadzdzab menyatakan: Seluruh kaum muslim telah
bersepakat bahwa, al-Mu’awidzatain dan al-Fatihah merupakan bagian dari al-Quran. Siapa
saja yang mengingkari keduanya [sebagai bagian dari al-Quran] telah terjatuh dalam
kekafiran. Sedangkan riwayat yang dinukil dari Ibnu Mas’ud adalah bathil, dan sama sekali
tidak shahih.

Al-Bazariy menyatakan, “Tidak ada seorangpun dari kalangan shahabat yang
mengikuti Ibnu Mas’ud. Telah disahkan dari Nabi saw, bahwa beliau saw membaca
keduanya dalam sholat, dan mu’awidzatain ditetapkan dalam mushhaf. Atas dasar itu, para
shahabat ra menolak khabar dari shahabat Ibnu Mas’ud ra, karena ia adalah khabar ahad
yang tidak sampai kepada derajat mutawatir.

Ibnu Hazm di dalam kitabnya al-Qadh al-Ma’aliy Tatmiim al-Majaliy, berkata, “Riwayat
ini merupakan pendustaan atas nama Ibnu Mas’ud.” [34]

Ibnu Hajar dalam Syarh al-Bukhari menyatakan: “Telah dishahihkan dari Ibnu Mas’ud
bahwa ia telah mengingkari al-Mu’awidzatain.” Riwayat senada juga dituturkan oleh Imam
Ahmad dan Ibnu Hibban, bahwa Ibnu Mas’ud tidak menulis al-Mu’awidzatain di dalam
mushhafnya.[35]

Lalu, apakah berdasarkan riwayat ahad ini, anda akan menarik kesimpulan bahwa al-
Mu’awidzatain bukanlah bagian dari al-Quran? Seandainya anda menyatakan, bahwa riwayat
Ibnu Mas’ud ini harus diyakini, tentunya al-Quran telah mengalami tahrif (perubahan).
Sebaliknya, jika kita menyatakan, bahwa hadits ahad yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ini
tidak boleh diyakini, maka anda telah menyelamatkan al-Quran dari adanya tahrif.
Seluruh riwayat di atas telah menunjukkan kepada kita bahwa, riwayat ahad tidak boleh
digunakan hujjah untuk membangun pokok keimanan. Perilaku para shahabat untuk tidak
melembagakan riwayat-riwayat ahad yang diklaim sebagai al-Quran merupakan hujjah yang
nyata, bahwa khabar ahad tidak boleh dijadikan dalil dalam perkara ‘aqidah.

2. Para shahabat telah mensyaratkan jumlah tertentu pada saat melembagakan al-Quran
di dalam mushhaf Imam.

Kami juga akan memaparkan riwayat-riwayat yang menyatakan, bahwa tatkala
mengumpulkan al-Quran al-Karim pada masa Abu Bakar ra, para shahabat telah
mensyaratkan jumlah tertentu, hingga riwayat mereka dianggap sebagai al-Quran.
· Ibnu Abi Dawud dalam Mashahif dari Abu Bakr, meriwayatkan, “Sesungguhnya Abu Bakar
memerintahkan kepada ‘Umar dan Zaid ra agar keduanya duduk di pintu masjid, dan
memerintahkan keduanya agar siapapun yang membawa sesuatu dari al-Quran dengan
membawa dua orang saksi, maka keduanya harus mencatatnya”.

· Dari jalan Ibnu Sa’ad, ia berkata,” Keduanya duduk di pintu masjid, dan tak seorangpun
yang membawa sesuatu dari Al-Quran yang disaksikan oleh dua orang, kecuali akan ditulis
dan tidak akan diingkari oleh keduanya”.

· Menurut Ibnu Abu Dawud dalam Mashahif dari Yahya bin ‘Abd al-Rahman bin Haatib
berkata, ‘Umar berkata, “Siapa saja yang menyimpan sesuatu –al-Quran– dari Rasulullah,
maka serahkanlah. Sedangkan para shahabat menulis ayat-ayat Quran dalam shuhuf, batu
tulis, tulang. ‘Umar ra tidak menerima apapun dari seseorang, sampai orang tersebut
menghadirkan dua orang saksi”.

· Dari jalan Ibn Sa’ad dan Ibn Abi Dawud dan Ahmad bin Hanbal dan selainnya, dari
Khuzaimah bin Tsabit berkata, “Saya menyampaikan ayat (laqad jaa`akum) kepada ‘Umar ra
dan Zaid bin Tsabit. Zaid bertanya, siapakah orang yang menyaksikan bersamamu.. Saya
menjawab, “Demi Allah saya tidak tahu!” ‘Umar berkata, “Saya menyaksikan hal itu
bersamamu”.

· Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir dan selainnya meriwayatkan dari ‘Ubaid bin ‘Umair, bahwa ia
berkata, “Umar tidak menerima satu ayat dari Kitabullah sampai ada dua orang saksi yang
menyaksikan”.

· Dalam shahih Bukhari dan Ibnu Abi Dawud dan selain keduanya dari Zaid bin Tsabit
berkata, “Ketika kami menulis Mushhaf, saya kehilangan sebuah ayat dari kitabullah, dimana
aku pernah mendengarnya dari Rasulullah saw, dan aku menemukannya pada Khuzaimah bin
Tsabit “Minal mukminiin rijaalun.. “, sedangkan Khuzaimah memiliki dua orang saksi.
Rasulullah saw membolehkan persaksian dengan saksi dua orang”.
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan, bahwa para shahabat telah menetapkan syaratsyarat
tertentu tatkala melembagakan al-Quran dalam mushhaf ‘Utsmaniy. Seandainya,
khabar ahad bisa dijadikan hujjah dalam pelembagaan al-Quran, tentu para shahabat tidak
perlu mensyaratkan dua orang saksi. Jikalau berita satu orang bisa digunakan sandaran
untuk menetapkan pokok ‘aqidah (al-Quran) tentu para shahabat tidak perlu lagi mensyaratkan
dua orang saksi. Akan tetapi, para shahabat menolak untuk melembagakan khabar yang
diklaim sebagai al-Quran jika tidak mendatangkan dua orang saksi dan mendatangkan bukti
otentik lainnya. Perhatikan riwayat berikut ini:

· Dalam shahih Bukhari, Zaid berkata, “Saya kehilangan satu ayat dari surat al-Ahzab,
kemudian aku mendapatkannya pada Khuzaimah, karena ia menyimpannya. Seandainya
tidak, tentu hilanglah ayat tersebut. Kemudian ayat tersebut ditulis.

· Dalam riwayat Ibnu Abi Dawud dari ‘Umar, ia berkata, “Barangsiapa mendapatkan dari
Rasulullah sesuatu dari al-Quran, maka serahkanlah”. Perawi berkata, “Mereka menulis
dalam shuhuf, batu, dan tulang”.

Riwayat di atas menunjukkan dengan pasti, bahwa para shahabat ra tidak
mencantumkan satupun ayat dalam mushhaf kecuali bisa dipastikan bahwa ayat tersebut
adalah al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah saw.

· Imam al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashahif dan al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Zuhri
dalam hadits panjang yang menceritakan tentang pengumpulan Al-Quran, disana disebutkan,
“Abu Bakar ra memerintah seorang mu’adzin untuk mengumumkan kepada masyarakat,
siapa saja yang memiliki sesuatu dari al-Quran agar mereka menyerahkannya. Hafshah salah
seorang Ummul Mukminin berkata, “Jika kalian sampai pada ayat ini , beritahulah aku!
(Hafidzu ‘ala al-shalawaat wa al-shalaat al-wustha…). Setelah sampai pada ayat tersebut,
mereka menyampaikan kepada Hafshah. Hafshah berkata, “Tulislah, hafidzu…wa al-shalaat
al-wustha, wa al-shalaat al-‘ashr..”. ‘Umar ra bertanya, “Apakah kamu punya saksi?” Hafshah
menjawab, “Tidak!”. ‘Umar berkata, “Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang
disaksikan oleh seorang perempuan sedangkan ia tak punya bukti.”

Berdasarkan riwayat ini, kita tidak mungkin lagi menyatakan bolehnya membangun
pokok keimanan berdasarkan khabar ahad. Riwayat di atas telah menunjukkan, bahwa ‘Umar telah menolak khabar yang disampaikan oleh Hafshah. Sebab, Hafshah tidak memiliki saksi.
Seandainya khabar ahad bisa diterima untuk menetapkan al-Quran, tentu ‘Umar ra akan
menulis khabar Hafshah di dalam mushhaf.

3. Argumentasi ‘Aqliyyah
Secara ‘aqliy, ketika anda menyaksikan suatu peristiwa secara langsung, dan terlibat di dalamnya,
anda pasti akan menyakini kebenaran peristiwa yang anda saksikan tersebut. Sebab, peristiwa
tersebut menyakinkan dari sisi anda. Namun, ketika anda menyampaikan peristiwa itu kepada
orang yang tidak menyaksikannya secara langsung, tentu orang itu tidak langsung mempercayai
ucapan anda, meskipun anda sangat yakin dengan peristiwa itu. Peristiwa tersebut hanya
menyakinkan dari sisi anda, namun tidak bagi orang yang tidak menyaksikan peristiwa itu secara
langsung. Untuk itu diperlukan itsbat (penetapan) untuk membuktikan berita yang anda
sampaikan, apakah berita itu benar-benar menyakinkan atau tidak.

Keadaan semacam ini tidak ubahnya dengan kesaksian yang diberikan seorang saksi di
hadapan seorang qadliy. Seorang saksi harus membangun kesaksiannya dengan bukti-bukti yang
menyakinkan. Ia tidak boleh bersaksi, kecuali jika ia menyaksikan kejadiannya secara langsung,
menyakinkan dan pasti. Sebab Rasulullah saw bersabda, “
“Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah. (Namun) jika
tidak, maka tinggalkanlah”.[36]

Akan tetapi, apa yang disaksikan oleh seorang saksi hanya menyakinkan dari sisi saksi
saja, tidak bagi qadliy. Ketika qadli menerima kesaksian seorang saksi, tidak secara otomatis
“kesaksian itu” menyakinkan dari sisi qadliy, walaupun kesaksian itu menyakinkan dari sisi saksi.
Bahkan, seorang qadliy tidak harus menjatuhkan vonis berdasarkan kesaksian seorang saksi.
Perhatikan riwayat berikut ini, dari Ummu Salamah, Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa, dan kalian telah membawa masalah-masalah
yang kalian perselisihkan kepadaku. Ada di antara kalian yang hujjahnya sangat
memukau dari pada yang lain, sehingga aku putuskan sesuai dengan apa yang aku dengar. Oleh
karena itu, siapa saja yang aku putuskan, sementara ada hak bagi saudaranya yang lain, maka
janganlah kalian mengambilnya. Sesungguhnya, apa yang aku putuskan bagi dirinya itu
merupakan bagian dari api neraka”[37].

Nash ini menunjukkan, bahwa Rasulullah saw memutuskan perkara berdasarkan
prasangkanya. Kesaksian yang diberikan kepada saksi hanya menyakinkan dari sisi saksi, tidak
bagi qadliy. Buktinya, Rasulullah saw menyatakan kemungkinan adanya vonis yang salah.
Seandainya, berita yang disampaikan seorang saksi juga menyakinkan dari sisi qadliy, tentu
Rasulullah saw tidak akan menyatakan kemungkinan adanya kesalahan vonis oleh seorang
qadliy. Bahkan, Rasulullah saw telah menyatakan dengan jelas, bahwa seorang hakim itu
memutuskan sesuatu berdasarkan dzan, bukan sekadar dengan keterangan yang disampaikan
oleh seorang saksi.

Dari ‘Amru bin al-‘Ash, beliau mendengar Rasulullah saw bersabda: “Jika seorang hakim
memutuskan suatu perkara, lantas ia berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua
pahala. Namun, jika seorang hakim hendak memutuskan suatu perkara, kemudian ia berijtihad,
dan ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala”.

Kenyataan seperti ini, sama persis dengan si anu yang menyampaikan sebuah khabar
kepada si fulan. Meskipun khabar itu menyakinkan dari sisi si anu, namun dari sisi si fulan, khabar
itu tidaklah menyakinkan. Oleh karena itu, si fulan bisa menolak, atau menerima berita dari si anu.
Namun demikian, jika berita itu telah masyhur dan menyakinkan, maka dengan sendirinya,
siapapun yang menyampaikan berita itu, wajib kita yakini. Secara ‘aqliy khabar yang disampaikan
seseorang atau lebih yang tidak mengantarkan kepada keyakinan, hanya akan menghasilkan dzan belaka, tidak menyakinkan.

Dari seluruh uraian di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa akal bisa menetapkan bahwa
berita yang disampaikan secara ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekedar dzan belaka.
Akan tetapi, seluruh ulama sepakat bahwa hadits ahad wajib untuk diamalkan.
Sedangkan maksud pernyataan, “hadits ahad menghasilkan ilmu (keyakinan)”, adalah
wajibnya mengamalkan hadits ahad yang shahih, bukan kewajiban menjadikan hadits ahad
sebagai dasar untuk membangun keimanan.

Imam al-Ghazali menyatakan, “Kami berpendapat bahwa khabar ahad tidak menghasilkan
keyakinan (ilmu). Masalah ini adalah perkara yang sudah diketahui secara luas (ma’lumun bi aldlarurah). Sesungguhnya, kami tidak membenarkan (mengimani) semua berita yang kami
dengar. Seandainya kami harus membenarkan (mengimani) dan mengakui pertentangan diantara
dua berita, lantas bagaimana kami bisa menyakini dua perkara yang bertentangan? Adapun
pendapat-pendapat yang dituturkan oleh para ahli hadits, bahwa hadits ahad itu wajib diyakini,
maka ketahuilah bahwa yang mereka maksud dengan “hadits ahad menghasilkan ilmu”, adalah
wajibnya seseorang mengamalkan isi hadits ahad.” [38]

4. Perilaku Para ‘Ulama dalam Berhadits
Dalam prakteknya, para ahli hadits sendiri berbeda-beda dalam menilai suatu riwayat,
apakah mutawatir atau tidak, shahih atau tidak. Perbedaan penilaian ini disebabkan banyak
factor, diantaranya adalah perbedaan dalam menetapkan kriteria kemutawatiran suatu berita,
penilaian terhadap personalitas perawi, dan perbedaan dalam hal ushulul hadits.
‘Ulama hadits berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah perawi yang bisa
mengantarkan kemutawatiran suatu berita.[39]

Jumhur ‘ulama berpendapat bahwa kemutawatiran suatu berita tidak boleh dikaitkan
dengan jumlah tertentu, akan tetapi harus disandarkan pada “sampainya keyakinan yang bersifat
pasti” (hushuul al-ilm al-dlaruriy).[40]

Sebagian ‘ulama, diantaranya adalah al-Qadliy Abu Thayyib al-Thabariy, mensyarakatkan
jumlah perawi lebih dari empat orang. Jika suatu berita diriwayatkan lebih dari empat orang,
maka berita tersebut bisa dianggap sebagai khabar mutawatir.[41]

Al-Sam’aniy menyatakan, bahwa pengikut madzhab Syafi’iy menetapkan batas minimal
sebanyak 5 orang perawiy. Menurut Abu Manshur, al-Jubaiy juga menganut pendapat ini dengan
menganalogkan pada jumlah para nabi yang termasuk dalam ulul ‘azmiy. [42]

Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 7 orang karena dianalogkan dengan
jumlah ashhabul kahfiy. ‘Ulama yang lain berpendapat bahwa jumlah yang bisa mengantarkan
kepada derajat mutawatir adalah 10 orang. Pendapat ini dipegang oleh al-Ashthakhriy. Ada pula
yang menentukan sekurang-kurangnya 12 orang. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hudzail dan
ulama-ulama lain dari kalangan Mu’tazilah. Sebagian kelompok ‘ulama menetapkan sekurangkurangnya 40 orang. Sedangkan ulama lain menentukan sekurang-kurangnya 310 orang, dan
sebagainya.[43]

Perbedaan dalam menetapkan jumlah perawi tentunya akan berakibat pada perbedaan
dalam menetapkan kemutawatiran sebuah berita. Akibatnya, ada suatu berita yang menurut
sebagian ‘ulama mutawatir, sedangkan yang lain tidak.

Di sisi yang lain, seluruh ‘ulama sepakat bahwa berita mutawatir harus diyakini (yufiidz
al-‘ilm). Jika berita mutawatir harus diyakini, lantas apakah kita akan menyesatkan dan
mengkafirkan ‘ulama yang tidak memutawatirkan berita tersebut, karena adanya penetapan kriteria
yang berbeda? Tentunya, kita tidak boleh menyesatkan, bahkan mengkafirkan ‘ulama yang
menganggap berita yang kita yakini mutawatir bukan sebagai berita mutawatir. Ini bisa
dimengerti karena perbedaan pendapat dalam masalah semacam ini merupakan suatu hal yang lazim.

Perbedaan lain berhubungan dengan kaedah-kaedah ushul hadits, misalnya jarh wa ta’diil.
Dalam hal menjarh dan menta’dilkan, minimal ada empat pendapat yang berbeda. Pendapat
pertama menyatakan bahwa jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’adilnya
lebih banyak daripada jarhnya. Pendapat kedua mengatakan bahwa ta’dil harus didahulukan
daripada jarh. Pendapat ketiga, menyatakan bahwa bila mu’addilnya lebih banyak daripada
jarhnya, maka ta’dil harus didahulukan. Pendapat keempat, selama pertentangan antara yang
menjarhkan dan menta’dilkan belum bisa dikompromikan, maka ia tetap dalam “perselisihan”.[i]

Ikhtilaf dalam masalah ushul hadits ini tentunya juga akan berakibat pada perbedaan
pendapat dalam menilai sebuah berita, apakah shahih atau tidak. Kadang-kadang ada suatu
riwayat dianggap shahih oleh seorang ulama namun dianggap lemah oleh ulama yang lain.
Imam Abu Daud meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Amru bin Syu’aib dari bapaknya, dari
kakeknya, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Kaum mukmin itu saling menanggung
darahnya” Perawi hadits ini, ‘Amru bin Syu’aib mendapatkan hadits ini dari bapaknya dan dari
kakeknya. Sebagian ‘ulama hadits menerima haditsnya sebagian lagi menolaknya. Imam
Tirmidziy berkata, “Mohammad Isma’il berkata, “Saya melihat bahwa Ahmad, Ishaq menerima
haditsnya ‘Amru bin Syu’aib sebagai hujjah.” ‘Ali bin Abi ‘Abdillah bin al-Madani berkata, “Yahya
bin Sa’id berkata, “Menurut kami hadits ‘Amru bin Syu’aib adalah hadits yang lemah.”
Seandainya ada orang menolak riwayat ahad karena dianggap lemah, sementara yang lain
menshahihkan, lantas apakah kita akan mengkafirkan ‘ulama yang menolak keshahihan hadits
ahad tersebut? Seandainya pendapat yang menyatakan, bahwa hadits ahad wajib diyakini adalah
pendapat paling kuat, lantas, apakah kita akan mengkafirkan dan menyesatkan ‘ulama yang
menolak hadits tersebut?

Atas dasar itu, pendapat yang menyatakan abahwa hadits ahad harus diyakini merupakan
pendapat lemah yang tidak sejalan dengan dalil dan perilaku para ulama hadits.
Dari seluruh penjelasan di atas bisa kita menyimpulkan bahwa, perilaku para ‘ulama hadits
sendiri telah menunjukkan dengan jelas bahwa perbedaan pendapat dalam masalah ushul hadits,
termasuk di dalamnya ikhtilaf tentang hadits ahad — apakah menghasilkan keyakinan atau tidak–
adalah perbedaan pendapat yang masih diperbolehkan dalam pandangan Islam (ikhtilaf
tanawwu’), bukan perbedaan yang diharamkan (ikhtilaf tadldlad).

MELURUSKAN PERSEPSI SALAH
Ada beberapa persepsi salah yang dipropagandakan oleh sebagian kaum muslim untuk
melemahkan pendapat jumhur ‘ulama yang menyatakan bahwa hadits ahad tidak menghasilkan
keyakinan. Mereka mengetengahkan pendapat-pendapat yang mereka anggap mampu
mematahkan argumentasi-argumentasi jumhur ‘ulama. Sayangnya, pendapat-pendapat mereka
lemah dan tidak sejalan dengan proses istinbath yang benar. Diantara pendapat-pendapat
tersebut adalah sebagai berikut.

Rasulullah saw mengutus seorang utusan untuk menyampaikan Islam –baik masalah
‘aqidah dan hukum— kepada kabilah-kabilah Arab dan para raja
Apakah diutusnya seorang atau beberapa orang shahabat di wilayah-wilayah Islam, baik
untuk mengajarkan masalah ‘aqidah maupun hukum syara’, menunjukkan bahwa hadits ahad bisa
digunakan sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah?

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dibedakan terlebih dahulu antara itsbat khabar
(penetapan berita), khabar (berita), dengan tabligh khabar (menyampaikan berita), syahadah
(kesaksian).

Itsbat adalah penetapan suatu berita dari sisi, apakah berita itu benar-benar qath’iy (pasti)
berasal dari sumber asal berita, ataukah tidak pasti. Contohnya, dalam al-Sunan terdapat hadits
yang diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya dari
anggur itu bisa dibuat khamer, dan dari kurma itu bisa dibuat khamer, dari madu itu bisa dibuat
khamer, dari gandum itu bisa dibikin khamer dan dari biji syair itupun bisa dibuat khamer.” Yang
dimaksudkan itsbat khabar, adalah apakah khabar yang dibawa oleh Nu’man bin Basyir benarbenar
pasti (qath’iy) khabar dari Rasulullah saw, atau tidak pasti? Bila berita itu bisa dibuktikan
benar-benar berasal dari Rasulullah saw, maka dari sisi itsbat berita tersebut adalah qath’iy
berasal dari Rasulullah saw. Contoh lain adalah al-Quran al-Karim. Apakah al-Quran yang
dibukukan dalam mushhaf ‘Utsmani itu benar-benar pasti berasal dari Rasulullah saw, ataukah
tidak pasti? Jika ia bisa dibuktikan memang benar-benar berasal dari Rasulullah saw, maka al-
Quran tersebut adalah pasti berasal dari Rasulullah saw. Inilah yang disebut dengan itsbat.’

Khabar adalah, berita, informasi yang dibawa oleh seseorang. Khabar bisa meliputi
masalah ‘aqidah ataupun hukum syara’. Pada hadits di atas, yang disebut khabar adalah matan
hadits itu sendiri, yakni, “Sesungguhnya dari anggur itu bisa dibuat khamer, dan dari kurma itu
bisa dibuat khamer, dari madu itu bisa dibuat khamer, dari gandum itu bisa dibikin khamer dan dari
biji syair itupun bisa dibuat khamer”.

Kesaksian (syahadah) adalah penyampaian khabar (berita) oleh saksi di hadapan qadliy
di dalam majelis peradilan. Kesaksian ini ditetapkan berdasarkan syarat-syarat tertentu.
Kesaksian dianggap batal bila tidak memenuhi nishab kesaksian. Misalnya, kesaksian dalam
masalah perzinaan nishabnya adalah empat orang. Jika kurang dari empat orang saksi (laki-laki)
maka kesaksiannya ditolak. Dalam ru’yatul hilal, saksi cukup satu orang saja. Untuk masalah
mu’amalah disyaratkan dua orang saksi. Ini berbeda dengan masalah tabligh. Tabligh tidak
disyaratkan jumlah tertentu. Satu orang dianggap sah untuk mentablighkan Islam, baik
menyangkut masalah ‘aqidah maupun hukum syara’.

Tabligh khabar adalah menyampaikan informasi kepada orang lain. Misalnya, anda
menyampaikan al-Quran kepada penduduk Jepang. Al-Quran telah ditetapkan sebagai berita
mutawatir sebelum anda menyampaikannya kepada penduduk Jepang. Selanjutnya, al-Quran
yang sudah mutawatir ini anda sampaikan kepada penduduk Jepang. Dalam kondisi semacam ini, anda hanya sekedar menyampaikan berita tentang al-Quran (tabligh); dan apa yang anda
lakukan itu sama sekali tidak berhubungan dengan masalah penetapan kemutawatiran al-Quran.

Pasalnya, al-Quran sudah ditetapkan sebelumnya sebagai khabar mutawatir, dan anda tinggal
menyampaikannya kepada orang lain. Walaupun anda menyampaikan al-Quran kepada
penduduk Jepang seorang diri, itu tidak mengubah derajat al-Quran sebagai berita mutawatir. Al-
Quran tetap mutawatir meskipun anda menyampaikannya seorang diri kepada penduduk Jepang.
Sebaliknya, hadits yang telah ditetapkan sebelumnya sebagai hadits ahad, tetap berderajat
hadits ahad walaupun disampaikan (ditablighkan) oleh seluruh penduduk Arab. Aktivitas
semacam ini disebut dengan tabligh khabar.

Contoh yang lain adalah pada saat Ali ra menyampaikan surat al-Taubah kepada
penduduk Yaman. Apa yang dilakukan oleh ‘Ali ra tersebut termasuk bagian dari tabligh khabar.
Atas dasar itu, tabligh khabar berbeda dengan istbat khabar. Tabligh khabar adalah
aktivitas menyampaikan khabar tanpa memandang shahih atau tidaknya berita yang disampaikan,
dan juga tidak disyaratkan jumlah tertentu (sebagaimana kesaksian).

Dari sinilah kita bisa memahami bahwa tabligh khabar akan terjadi hingga akhir masa.
Penetapan sebuah berita (itsbat) apakah mutawatir atau tidak sudah selesai; yakni ketika para
‘ulama hadits membukukan dan meneliti hadits. Berdasarkan pembukuan dan penelitian hadits,
para ‘ulama menetapkan apakah khabar ini mutawatir atau ahad.

Memang benar, Rasulullah saw telah mengutus seorang shahabat atau beberapa orang
shahabat untuk menyampaikan Islam kepada sekelompok masyarakat, dan raja-raja. Rasulullah
saw juga pernah mengutus ‘Ali ra untuk membacakan surat Taubah kepada sekelompok
masyarakat. Riwayat-riwayat semacam ini jumlahnya sangatlah banyak.

Akan tetapi, riwayat ini hanya menunjukkan diterimanya khabar ahad dalam masalah
tabligh; baik tabligh yang berhubungan dengan ‘aqidah maupun hukum. Riwayat-riwayat
semacam ini tidak menunjukkan diterimanya khabar ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah.

Tidak boleh dikatakan bahwa penerimaan terhadap tabligh Islam sama juga artinya dengan
menerima khabar ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah. Tidak bisa dinyatakan seperti itu,
sebab, penerimaan terhadap tabligh Islam berbeda dengan penerimaan khabar ahad sebagai dalil
dalam masalah ‘aqidah.

Dalilnya adalah sebagai berikut;
Muballigh (orang yang menyampaikan berita) harus bisa membuktikan bahwa apa yang ia
sampaikan itu benar-benar menyakinkan. Jika berita yang dibawa itu benar-benar menyakinkan
(qath’iy), muballigh harus menyakini berita yang dibawanya itu, dan dianggap kafir jika ia tidak
menyakini berita yang telah nyata-nyata qath’iy itu. Dengan kata lain, dirinya harus melakukan
proses itsbat terlebih dahulu sebelum ia menyampaikan berita kepada masyarakat.

Ini berbeda dengan orang yang menerima tabligh khabar. Ia bisa menolak khabar yang
dibawa oleh seseorang, baik khabar itu berkaitan dengan masalah ‘aqidah atau hukum.
Penolakan dirinya terhadap tabligh khabar tentang Islam tidak dianggap sebagai kekafiran. Akan
tetapi jika ia menolak Islam yang telah ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti (qath’iy), hal
semacam inilah yang bisa dianggap sebagai tindak kekufuran.

Perilaku Para ‘Ulama Dalam Berhadits : Penetapan Sebuah Khabar (itsbat) dan Penerimaan
Terhadap Tabligh Khabar (penyampaian berita).
Para shahabat ra terbiasa meneliti terlebih dahulu berita yang sampai kepada mereka.
Shahabat ‘Umar ra pernah menolak khabar yang disampaikan oleh Hafshah ra. Para shahabat
juga membiasakan diri untuk selalu bertanya asal-usul dan keshahihan berita tersebut. Bahkan,
mereka tidak segan meminta saksi dan sumpah untuk memastikan kebenaran suatu berita.
Al-Hafidz al-Dzahabiy berkata,”Abu Bakar ra adalah orang yang berhati-hati dalam menerima berita (khabar). Ibnu Syihab meriwayatkan dari Qubaishah bin Dzuaib bahwa seorang
nenek dating kepada Abu Bakar untuk meminta (menanyakan) harta warisan untuk dirinya. Abu
Bakar menjawab,” Di dalam al-Quran saya tidak menemukan sesuatu untuk dirimu, dan saya tidak
mengetahui Rasulullah saw menyebut sesuatu untuk dirimu.” Kemudian, Abu Bakar bertanya
kepada para shahabat lain. Al-Mughirah berdiri dan berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw
berkata bahwa ia memberikan seperenam untuknya.” Abu Bakar bertanya kepadanya,”Adakah
orang lain bersamamu(ketika mendengar sabda Rasulullah saw itu)? Setelah Mohammad bin
Maslamah memberi kesaksian tentang hal itu, Abu Bakar memberikan waris nenek itu
berdasarkan sabda Rasulullah saw.”[44]

Imam Dzahabiy juga meriwayatkan sebuah riwayat mursal dari Ibnu Abi Malikah, bahwa
Abu Bakar mengumpulkan manusia setelah Rasulullah saw wafat. Ia berkata, “Sesungguhnya,
engkau meriwayatkan banyak hadits dari Rasulullah saw yang engkau perselisihkan, dan manusia
setelah kamu lebih hebat lagi perselisihannya. Oleh karena itu, janganlah engkau meriwayatkan
sesuatu dari Rasulullah saw. Barangsiapa bertanya kepadamu, maka katakan kepadanya,”Antara
kami dan kamu terdapat Kitabullah; maka halalkan apa yang halal dan haramkan apa yang haram
yang telah dijelaskan oleh al-Quran.”Imam Dzahabiy berkomentar,”Ucapan Abu Bakar di atas menunjukkan pentingnya pembuktian (itsbat) dalam menerima khabar dan perlunya bersikap hati-hati, bukan bermaksud menutup pintu periwayatan hadits. Tidakkah anda perhatikan, ketika Abu Bakar ditanya tentang hak waris seorang nenek dan ia tidak menemukan keterangan tentang hal itu di dalam al-Quran, lalu ia menanyakan persoalan itu kepada para shahabat lain? Ketika ia diberitahu oleh seorang shahabat tentang adanya keterangan al-Sunnah mengenai persoalan itu, ia tidak merasa cukup dengan keterangan itu, lalu ia meminta penjelasan dari orang tsiqah yang lain. Ia tidak berkata,
“Cukuplah bagi kami al-Quran, seperti yang dikatakan oleh Khawarij.”[45]

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudzri, ia berkata, “Saya berada di suatu
majelis para shahabat Anshar. Tiba-tiba Abu Musa datang, seakan-akan ia sedang dalam
ketakutan, kemudian ia berkata,”Saya minta izin (mengucapkan salam) tiga kali hendak masuk ke
rumah ‘Umar, saya tidak diizinkan, kemudian saya pulang. Lalu, Umar bertanya,”Apa yang
menghalangimu (masuk ke rumahku)? Saya menjawab,”Saya telah meminta izin tiga kali, tapi
saya tidak diizinkan, kemudian saya kembali karena ingat Rasulullah saw bersabda,”Jika salah
seorang di antaramu telah meminta izin tiga kali kemudian ia tidak diizinkan kepadanya maka
hendaklah ia kembali.” Umar berkata, “Demi Allah, engkau harus menghadirkan bukti yang jelas
atas keberadaan sabda Rasulullah saw itu. Adakah orang lain yang mendengar sabda Nabi saw
itu? ‘Ubay bin Ka’ab berkata, “Demi Allah, tidak orang lain yang menemanimu ketika itu selain
orang yang paling muda di antara anggota-anggota kaum. Saya adalah orang yang paling muda
di antara mereka. Kemudian saya berdiri bersamanya dan memberi tahu Umar bahwa Nabi saw
bersabda demikian.”[46]

Imam Muslim meriwayatkan dari al-Miswar bin Makhramah, ia berkata bahwa Umar bin
Khaththab bermusyawarah dengan para shahabat tentang janin seorang wanita. Kemudian al-
Mughirah bin Syu’bah berkata,”Saya menyaksikan Nabi saw memberi keputusan (tentang diyat
memukul perut ibu yang sampai menjatuhkan janin yang ada di dalam perutnya) dengan budak
laki-laki atau perempuan. Al-Mughirah berkata,”Kemudian Umar berkata, “Datangkan kepadaku
orang yang menyaksikan bersamamu terhadap keputusan Nabi saw itu. Al-Mughirah
berkata,”Kemudian Mohammad bin Maslamah memberi kesaksian tentang keputusan Nabi saw
itu.”[47]

Para ‘ulama hadits juga selalu meneliti dan mengkaji hadits-hadits yang mereka dengar
dan terima. Sebagian ‘ulama hadits menolak riwayat yang oleh ‘ulama hadits lainnya dianggap
sebagai hadits yang shahih. Riwayat yang dishahihkan oleh sebagian ‘ulama belum tentu
dishahihkan oleh ‘ulama yang lain. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud,
kadang-kadang dilemahkan atau ditolak oleh sebagian ahli hadits lain.

Imam Abu Daud meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Amru bin Syu’aib dari bapaknya, dari
kakeknya, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Kaum mukmin itu saling menanggung darahnya” Perawi hadits ini, ‘Amru bin Syu’aib mendapatkan hadits ini dari bapaknya dan dari
kakeknya. Sebagian ‘ulama hadits menerima haditsnya sebagian lagi menolaknya. Imam
Tirmidziy berkata, “Mohammad Isma’il berkata, “Saya melihat bahwa Ahmad, Ishaq menerima
haditsnya ‘Amru bin Syu’aib sebagai hujjah.” ‘Ali bin Abi ‘Abdillah bin al-Madani berkata, “Yahya
bin Sa’id berkata, “Menurut kami hadits ‘Amru bin Syu’aib adalah hadits yang lemah.”

Imam Abu Daud, Ahmad, al-Nasaa’iy, Ibnu Majah, dan Tirmidziy meriwayatkan sebuah
hadits dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai
Rasulullah, kami tengah berlayar di lautan, sedangkan bekal air (tawar) kami sangat sedikit. Jika
kami berwudlu’ dengan bekal air kami, maka kami akan kehausan, Apakah kami boleh berwudlu’
dengan air laut? Rasulullah saw menjawab, “Air laut itu suci dan bangkainya halal.” Hadits ini
diriwayatkan oleh Tirmidziy dari Imam Bukhari, sedangkan ia menshahihkannya. Ibnu ‘Abdi al-
Barr dan Ibnu Mundzir juga menshahihkan hadits ini. Ibnu al-Asiir dalam Syarh al-Musnad
menyatakan, “Ini adalah hadits shahih dan masyhur, dan diriwayatkan oleh para ‘ulama dalam
kitab-kitab mereka. Mereka menggunakan hadits ini sebagai hujjah. Rijalnya juga tsiqat
(terpercaya). Imam Syafi’iy tatkala mengomentari isnad hadits ini ia berkata, “Ia termasuk orang
yang tidak saya ketahui.”

Dalam kitab Tanaaqudlaat, juga disebutkan, bahwa Nashiruddin al-Albani telah menolak
(melemahkan) hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sebagian ahli hadits.
Bila penolakan terhadap tabligh riwayat ahad [telah dibuktikan bahwa ia adalah riwayat
ahad], dianggap kekufuran, betapa para ‘ulama sekaliber Imam Syafi’iy, Abu Daud, Tirmidziy, serta
‘ulama-‘ulama lain telah kafir seluruhnya.

Apakah anda akan menyatakan bahwa Nashiruddin al-Albani telah kafir karena menolak
khabar ahad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, serta Imam-imam ahli Hadits lainnya? Apakah
anda akan mengkafirkan ‘ulama-‘ulama besar tersebut, hanya karena mereka menolak riwayat-riwayat ahad yang diriwayatkan oleh ‘ulama hadits lainnya?!

Walhasil, penolakan terhadap tabligh khabar tidak berujung kepada kekafiran. Akan tetapi
menolak tabligh Islam, yang khabarnya telah dibuktikan kepastiannya [itsbatnya qath’iy], misalnya
al-Quran, dan Kenabian Mohammad saw, serta hadits-hadits mutawatir, bisa menjatuhkan
seseorang dalam kekafiran!!

Orang yang menolak al-Quran yang telah dibuktikan berdasarkan bukti-bukti menyakinkan,
dianggap telah keluar dari Islam tanpa ada khilaf. Artinya, jika sebuah berita telah ditetapkan —
berdasarkan proses itsbat (penetapan– sebagai berita yang menyakinkan (qath’iy) berasal dari
Rasulullah saw, maka menolak berita semacam ini bisa menjatuhkan seseorang ke dalam
kekafiran. Jumhur ‘ulama telah menetapkan bahwa hanya berita mutawatir saja yang
menghasilkan keyakinan, dari sisi itsbat. Berita ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekedar
dzan (keraguan).

Ini berbeda dengan masalah mengambil hadits ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah.
Perkara ‘aqidah harus didasarkan kepada sesuatu yang menyakinkan. Sebab, dalam perkara
‘aqidah, seseorang dituntut untuk menyakini suatu perkara tanpa ada keraguan sedikitpun; dan
akan berimplikasi kekufuran bagi siapa saja yang mengingkarinya.
Bila ‘aqidah harus menyakinkan dan tidak boleh meragukan, tentunya dalil-dalil yang
membangun ‘aqidah pun harus qath’iy alias menyakinkan. baik dari sisi sumber maupun
dalalahnya. Dengan kata lain, keyakinan atau keimanan tidak mungkin bisa diwujudkan dengan
dalil-dalil yang bersifat dzanniyyah, seperti halnya hadits ahad.

Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Dalil Dalam Perkara ‘Aqidah = Tidak Pernah
Dikatakan oleh ‘Ulama Salaf
Pendapat semacam ini adalah pendapat premature yang tidak sejalan dengan kaedah
berfikir yang benar. Sebab, pembahasan mengenai hadits ahad menghasilkan keyakinan atau tidak, termasuk dalam pembahasan ushul yang akan membangun kaedah-kaedah fiqhiyyah.
Padahal ilmu ushul fiqh, ilmu mushthalah hadits, ilmu nahwu, sharaf, balaghah, dan seterusnya
adalah ilmu yang dibuat setelah periode ‘ulama salaf. Lalu, apakah anda akan menolak ilmu-ilmu
ini, hanya dengan alasan karena tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf?
Kita harus memahami terlebih dahulu definisi salaf, tatkala kita menyinggung ‘aqidah salaf
dan hal-hal yang mereka pegangi. Jika yang dimaksudkan generasi salaf adalah sebagaimana
sabda Rasulullah saw, “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya,
dan kemudian generasi berikutnya”, maka tidak secara otomatis pendapat yang bertentangan
dengan pendapat ulama salaf, atau yang tidak pernah dikatakan oleh mereka terkategori bid’ah
dan sesat. Jika anda konsisten untuk memegang ‘aqidah salaf, dan hukum yang digali salaf,
sedangkan yang lain tidak benar dan bid’ah, atau tidak boleh diikuti –karena tidak dikatakan ulama
salaf–, lalu bagaimana komentar anda tentang ilmu ushul fiqh yang digagas pertama kali oleh
Imam Syafi’iy. Bukankah beliau adalah orang yang pertama kali meletakkan landasan ilmu ushul
fiqh pertyama kali, melalui bukunya al-Risalah? Selain itu, bukankah beliau hidup setelah masa
tiga masa itu. Bahkan, bukankah beliau tidak termasuk tabi’in, maupun tabi’ut tabi’in? Apakah
anda akan mengatakan bahwa yang diperbuat imam Syafi’i itu bid’ah karena tidak pernah
dibicarakan oleh ulama salaf? Kalau merujuk hanya kepada ulama salaf sebuah keharusan,
sedangkan yang lain harus ditinggalkan, mengapa anda memakai kitab Shahih Bukhari dan
Muslim?. Bukankah keduanya dibukukan setelah periode salaf ? Apakah anda menyatakan
bahwa Imam Bukhari dan Muslim melakukan tindakan bid’ah?

Oleh karena itu, pertanyaannya bukan apakah masalah ini telah dibicarakan oleh ulama
salaf atau belum, sesuai dengan ‘ulama salaf atau tidak. Yang terpenting adalah apakah sebuah
pendapat sejalan dengan al-Quran dan Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas? Tidak perlu kita
nyatakan siapa yang menggali hukum tersebut. Pendapat shahabat saja bukan dalil bagi kita,
bahkan bisa jadi pendapat mereka salah. Oleh karena itu, yang menjadi tolok ukur adalah
kebenarannya sendiri, bukan dikatakan ulama salaf atau tidak. Sebab, ulama salaf tidaklah
ma’shum.

Di sisi yang lain, ijtihad untuk menggali hukum dari al-Quran dan Sunnah harus dilakukan
hingga akhir jaman. Padahal, ada peristiwa-peristiwa maupun kejadian-kejadian yang tidak
dijumpai di generasi salaf. Namun, kita tetap harus menggali hukum berdasarkan nash-nash al-
Quran dan Sunnah, dan metodologi istinbath yang shahih.

Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Dalil Dalam Masalah ‘Aqidah = Menolak Hadits Ahad
Pernyataan semacam Ini adalah pernyataan keliru yang menunjukkan ketidaktahuan dirinya tentang ushul fiqh.

Hadits ahad yang tsiqat dan terpercaya wajib diamalkan, dan bisa digunakan hujjah dalam
perkara syari’at (amal). Sedangkan dalam perkara ‘aqidah yang membutuhkan keyakinan (ilmu) ,
maka hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah di dalamnya. Sebab, iman mensyaratkan harus
diyakini seratus persen tanpa ada syubhat ataupun kesamaran, sedangkan hadits ahad masih
mengandung syubhat dan kesamaran. Jika iman mengharuskan adanya keyakinan, tentunya
keimanan (‘aqidah) tidak mungkin dibangun dengan hadits ahad yang masih mengandung
kesamaran dan syubhat.

Mereka pun mengajukan bantahan,” Kalau anda tidak menjadikan hadits ahad sebagai
hujjah dalam perkara ‘aqidah, mengapa anda mesti mengerjakannya? Bukankah ini berarti bahwa
apa yang anda kerjakan tidak didasarkan pada keyakinan atau iman? Padahal, bukankah kita
diperintah untuk mengerjakan perbuatan apapun atas landasan iman? Mereka juga menyatakan,
“Tidak menyakini (hadits ahad) kok tetap dikerjakan?”

Benar, kita harus mengerjakan perbuatan apapun karena keimanan kita. Bahkan, kita
dilarang mengerjakan perbuatan apapun bukan karena motivasi iman. Akan tetapi, masalah
semacam ini harus dibedakan dengan berhujjah dengan dalil ahad dalam masalah ‘aqidah.

Dalam masalah amal (perbuatan) Allah swt dan juga rasulNya tidak mensyaratkan harus
dibangun berdasarkan dalil yang menyakinkan. Untuk perkara amal, Allah dan Rasulnya
mencukupkan kepada kita untuk bersandar dengan dalil-dalil yang dzan (dilalahnya dan tsubutnya
(hadits ahad). Syara’ tidak mensyaratkan bahwa untuk mengerjakan sebuah amal harus dibangun
berdasarkan dalil-dalil yang menyakinkan. Ini menunjukkan, tatkala kami beramal menggunakan
hadits ahad dibarengi dengan sebuah keyakinan (keimanan) bahwa Allah membolehkan kita untuk
beramal dengan dalil-dalil dzan; misalnya hadits ahad. Namun, Allah melarang kita untuk
menggunakan dalil-dalil dzan (hadits ahad) untuk membangun pokok ‘aqidah.

Atas dasar itu, ketika kami beramal dengan hadits ahad sama sekali tidak berarti bahwa,
kami mengerjakan perbuatan tersebut tidak didasarkan pada motivasi iman.
Perhatikan juga contoh berikut ini. Para ‘ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata
“menyentuh” pada ayat tentang bersuci. Sebagian ulama –madzhab Syafi’iy— berpendapat
bahwa kata “menyentuh” di ayat tersebut diartikan secara hakiki. Artinya, jika orang yang telah
berwudlu’ menyentuh wanita, maka batal wudlu’nya. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa
kata menyentuh di situ bermakna “bersetubuh”. Untuk itu, seseorang tidak batal wudlu’nya bila
menyentuh wanita, kecuali jika ia telah menyetubuhinya.

Pada dasarnya, orang yang memegang pendapat pertama atau pendepat kedua telah
menyandarkan perbuatannya dengan dalil yang dilalahnya dzanniy. Dengan kata lain ia berbuat
dengan bersandar kepada prasangka kuatnya (dzan), tidak didasarkan pada sesuatu yang
menyakinkan. Sebab, kedua penafsiran di atas nilainya tidak sampai ke derajat menyakinkan,
akan tetapi hanya dzan belaka. Namun demikian, tidak boleh disimpulkan bahwa kedua orang itu
beramal tanpa didasari motivasi keimanan.

Jadi tidak benar, ketika kami mengerjakan sebuah perbuatan yang didasarkan pada hadits
ahad tidak dibarengi dengan keimanan. Yang benar adalah, kami menyakini bahwa, tatkala kami
mengerjakan perbuatan yang disandarkan pada hadits ahad, itu memang karena diperintahkan
Allah. Sebab, syara’ telah membenarkan kita untuk berbuat berdasarkan dalil-dalil yang dzanniy,
dan tidak harus berdasarkan dalil yang qath’iy. Sedangkan dalam hal ‘aqidah, syara’ melarang
kita untuk membangun pokok ‘aqidah berdasarkan dalil dzan.

Perhatikan riwayat berikut ini, dari Ummu Salamah, Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa, dan kalian telah membawa masalah-masalah yang
kalian perselisihkan kepadaku. Ada di antara kalian yang hujjahnya sangat memukau dari pada yang lain, sehingga aku putuskan sesuai dengan apa yang aku dengar. Oleh karena itu, siapa saja
yang aku putuskan, sementara ada hak bagi saudaranya yang lain, maka janganlah kalian
mengambilnya. Sesungguhnya, apa yang aku putuskan bagi dirinya itu merupakan bagian dari api
neraka”[48].

Ini menunjukkan bahwa tatkala Rasulullah menjatuhkan vonis, beliau tidak menyandarkan
pada dalil (bukti) yang menyakinkan. Sebab, kesaksian yang disampaikan kepada beliau tidak
menyakinkan. Bahkan, beliau menyatakan bahwa vonis beliau bisa jadi salah. Akan tetapi, beliau
tetap menjatuhkan vonis berdasarkan kesaksian yang beliau anggap kuat (ghalabat dzan). Beliau
menjatuhkan saksi bukan karena dalil (bukti) yang menyakinkan. Padahal, penjatuhan vonis
termasuk bagian dari amal. Ini menunjukkan bahwa amal tidak harus disandarkan dengan dalil
yang qath’iy.
Lalu, apakah anda akan mengatakan, bagaimana Rasulullah bisa menjatuhkan vonis
sedangkan dalil yang membangun vonis tersebut tidak menyakinkan? Apakah anda akan
menyimpulkan bahwa Rasulullah saw mengerjakan suatu perbuatan namun tidak didasarkan pada
keimanannya?

Walhasil, kami tidak mengingkari atau menolak hadits ahad. Sebab, mengingkari hadits
ahad sama dengan mengingkari orang yang adil. Akan tetapi, ada dalil lain yang menunjukkan
bahwa, Al-Quran telah melarang kita mengambil dalil-dalil dzan untuk perkara ‘aqidah.
Sedangkan dalam perkara-perkara hukum praktis, hadits ahad wajib untuk diamalkan dan sah
digunakan sebagai hujjah.

Demikianlah, kami telah menjelaskan kepada anda dengan penjelasan yang jelas dan
gamblang. Seluruh penjelasan di atas telah menjelaskan bahwa hadits ahad tidak boleh dijadikan
hujjah dalam perkara ‘aqidah. Pendapat ini merupakan pendapat terkuat yang wajib untuk diikuti.
Siapa saja yang menolak perkara ini sungguh ia telah merendahkan akal pikirannya sendiri.
Semoga Allah menyadarkan orang-orang yang bebal, dan menunjukkan orang-orang yang ragu.
Wahai kaum muslim, berhati-hatilah kalian dalam perkara ‘aqidah ini. Sebab, ‘aqidah yang
bersih menjadi jaminan keselamatan kita. ‘Aqidah bersih yang sanggup memurnikan dan
mensucikan ‘aqidah Islam hanya akan tegak dengan hujjah yang kuat dan menyakinkan.
Di sisi yang lain, menegakkan syari’at Allah dengan tertegaknya Khilafah Islamiyyah
merupakan refleksi tauhid uluhiyyah yang paling tinggi. Mengabaikan perkara ini akan
menjatuhkan siapapun ke lembah dosa dan kehinaan. Mengapa kita tidak segera terhimpun dan
bersatu untuk menegakkan kembali Khilafah yang agung ini, agar syari’at Allah bisa diterapkan
secara kaamil dan syamil; dan agar tauhid uluhiyyah kita tidak terkotori? Mengapa kita tidak
menyibukkan diri untuk urusan ini? Sementara itu kita malah asyik masyuk dengan masalah
ikhtilaf yang sampai hari kiamat tidak akan pernah selesai?

DEFINISI ‘AQIDAH
Iman Dalam Tinjauan Bahasa
Secara literal, ‘aqidah berasal dari kata ‘aqada yang bermakna al-habl, al-bai’, dan al-‘ahd
(tali, jual beli, dan perjanjian).[49]
Menurut istilah, kata I’tiqad (keyakinan) bermakna, tashdiiq al-jaazim al-muthaabiq li alwaaqi’
‘an al-daliil (pembenaran pasti yang sesuai dengan kenyataan dan ditunjang dengan
bukti).[50]

Kata al-‘aqiidah, al-‘ilm, al-yaqiin, dan al-iiman bermakna sama. Menurut bahasa, al-yaqiin
bermakna al-‘ilmu.[51]

Menurut istilah, yaqiin memiliki arti, “menyakini sesuatu dengan
keyakinan bahwa sesuatu yang diyakininya itu tidak mungkin berbeda dengan keyakinannya.
Sebab, keyakinannya sesuai dengan kenyataan yang tidak mungkin berubah.”[52]

Imam Ibnu Mandzur menyatakan, “Tokoh ahli bahasa Azujaj, mendefinisikan iman
dengan, “Sikap ketundukan, kepatuhan, dan kesediaan untuk menerima syari’at Islâm.” Sikap ini
harus terefleksi pula dalam menerima apa-apa yang disampaikan Rasulullah saw (sunnah).
Sunnah harus diyakini dan dibenarkan di dalam hati. Siapa saja yang bersikap seperti itu, dan
menyakini bahwa melaksanakan suatu kewajiban itu merupakan keharusan tanpa ragu-ragu lagi,
maka hakekatnya ia adalah seorang mukmin dan muslim yang keimanannya tidak ragu-ragu lagi.
Allah swt berfirman, “….dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami…”[53]

Makna iman adalah tashdiq (pembenaran). Dalam kitab al-Tahdzib, disebutkan bahwa
iman berasal dari kata amana – yu’minu- îmânan, yang artinya membenarkan. Ahli bahasa sepakat
bahwa iman berarti tashdiq (pembenaran).

Lawan dari yaqin, ‘ilmu, dan iiman adalah dzan.[54]

Menurut bahasa, dzan bermakna tahammuh (prasangka/dugaan).[55]

Imam Zamakhsyariy berkata, “bi’r dzannuun: la yutsaaq bi maa’iha.[Sumur yang
meragukan adalah sumur yang airnya tidak bisa dipercaya]; rajul dzannuun: la yutsaaq bi
khabarihi [laki-laki yang meragukan adalah laki-laki yang beritanya tidak bisa dipercaya].”[56]

Iman Dalam Tinjauan Istilah
Imam al-Nasafiy, berpendapat, “Îman adalah pembenaran hati sampai pada tingkat
kepastian dan ketundukan.”[57]

Imam Ibnu Katsir menjelaskan,”Îman yang telah ditentukan oleh syara’ dan diserukan
kepada kaum muslimîn adalah berupa i’tiqâd (keyakinan), ucapan, dan perbuatan. Inilah pendapat
sebagian besar Imam-imam madzhab. Bahkan, Imam Syafi’iy, Ahmad bin Hanbal,dan Abu
Ubaidah menyatakan, pengertian ini sudah menjadi suatu ijma’. (kesepakatan)”.[58]

Imam Nawawi, menyatakan, “Ahli Sunnah dari kalangan ahli hadits, para fuqaha, dan ahli
kalam, telah sepakat bahwa seseorang dikategorikan muslim apabila orang tersebut tergolong
sebagai ahli kiblat (melakukan sholat). Ia tidak kekal di dalam neraka. Ini tidak akan didapati
kecuali setelah orang itu mengimani dienul Islâm di dalamnya hatinya, secara pasti tanpa
keraguan sedikitpun, dan ia mengucapkan dua kalimat syahadat.”[59]

Imam al-Ghazali, menyatakan,”Îman adalah pembenaran pasti yang tidak ada keraguan
maupun perasaan bersalah yang dirasakan oleh pemeluknya.”[60]

Prof. Mahmud Syaltut, dalam Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, berkata, “ Iman adalah al-I’tiqaad
al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi’ ‘an daliil.” (keyakinan pasti yang berkesesuaian dengan fakta
dan didasarkan pada bukti (dalil).”[61]

Keimanan harus ditetapkan dengan dalil yang bersifat qath’iy (pasti) baik tsubut (sumber)
maupun dilalahnya (penunjukkannya). Sebab, keimanan yang dituntut oleh Syaari’ adalah
keimanan yang menyakinkan dan tidak disusupi keraguan.
Prof Mahmud Syalthut berpendapat, “Adalah sesuatu yang sudah sangat jelas, bahwa
keyakinan semacam ini (keimanan yang pasti) tidak bisa dihasilkan oleh semua hal yang disebut
sebagai dalil. Keimanan semacam ini (keimanan yang pasti) hanya akan dihasilkan oleh dalil
qath’iy yang tidak disusupi oleh kesamaran.”[62]

JALAN PENETAPAN ‘AQIDAH
Para ‘ulama telah sepakat, bahwa dalil ‘aqliy yang didasarkan pada penginderaan atau
dlaruriy menghasilkan keyakinan, dan absah dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah.
Adapun dalil-dalil naqliyyah, sebagian besar ulama berpendapat bahwa ia tidak
menghasilkan keyakinan, tidak menghasilkan keimanan yang telah digariskan oleh syariat, dan
tidak absah dijadikan hujjah untuk menetapkan ‘aqidah. Mereka menyatakan, “Ini disebabkan
karena, dalil-dalil naqliy adalah dalil yang membuka ruang sangat luas bagi kesamarankesamaran
(kenisbian).’ [63]

Sedangkan ulama-ulama yang berpendapat, bahwa dalil-dalil naqliy bisa digunakan hujjah
untuk menetapkan masalah ‘aqidah, mensyaratkan kepastian dalam sumber (wurud) dan
penunjukkannya (dilalahnya).
Yang dimaksud qath’iy wurud (pasti sumbernya) adalah kepastian dari sisi sumbernya.
Artinya, dalil tersebut benar-benar pasti berasal dari Rasulullah saw tanpa ada kesamaran
(syubhat) sedikitpun. Dalil naqliy yang bisa memenuhi persyaratan ini hanyalah dalil-dalil yang
diriwayatkan secara mutawatir. Sedangkan dalil-dalil yang diriwayatkan secara ahad tidak bisa
memenuhi persyaratan ini.

Yang dimaksud dengan qath’iy dilalah adalah kepastian dari sisi maknanya. Dengan kata
lain, makna yang ditunjukkan oleh dalil tersebut pasti, dan tidak membuka ruang adanya
penafsiran atau makna ganda. Persyaratan ini hanya bisa dipenuhi oleh dalil-dalil yang tidak
membuka ruang adanya penafsiran. Artinya, makna yang ditunjukkan oleh dalil naqliy tersebut
benar-benar hanya menunjuk kepada satu makna saja, dan tidak menunjuk kepada dua makna
atau lebih. Bila makna yang terkandung dalam sebuah dalil masih membuka ruang adanya
penafsiran, atau mengandung dua makna atau lebih, maka dalil-dalil semacam ini tidak bisa
digunakan hujjah dalam perkara ‘aqidah. [64]

Jika sebuah dalil memenuhi dua persyaratan di atas, maka ia menghasilkan keyakinan,
dan layak dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah.[65]

Contoh dari dalil-dalil naqliy yang memenuhi dua persyaratan di atas adalah ayat-ayat al-
Quran yang berbicara tentang tauhid, risalah, hari akhir, serta hal-hal yang berhubungan dengan
ushul al-diin. Dalil-dalil tersebut, sumber dan maknanya bersifat pasti (qath’iy wurud dan
dalalahnya). Sebab, selain ditetapkan melalui riwayat mutawatir, ayat-ayat tersebut hanya
menunjukkan satu makna saja, dan tidak membuka ruang bagi penafsiran yang beragam. Allah
swt berfirman, artinya:

م وا ك ث م و م بك ل تق م م ل يع ه والل نات م ؤ لم ا و ني م ؤ م لل و بك ن لذ ر ف تغ س ا و ه لا الل إ له لا إ نه& أ م ل فاع
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan
mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan.
Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.”[Muhammad:19]

6 ي يس ه ى الل عل لك وذ تم ل م ا ع بم ؤن ب& ن ت ل & ثم & ثن بع ت ل بي o ر و ى بل ل ثوا ق ع ب ي لن أن روا كف ين لذ ا عم ز
“Orang-orang yang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan.
Katakanlah: “Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. Yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah..”[al-Taghabun:7]

6 يم عل J ق خل q ل بك و وه ة J& مر ل& أو ا ه شأ ن ي أ لذ ا ا ييه ح ي قل
“Katakanlah,”Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama.
Dan Dia Mengetahui tentang segala makhluk.”[Yaasiin:79]

ه ل س ر من J د ح أ ن ي ب رقo ف لا ن ه ل س ر و به ت وك ته ئك ا ل وم ه الل ب ن ام- ء u كل نون ؤم م ال و بهo ر ن م ه لي إ ل ز ن ا أ بم ول رس& ال ن ام- ء
ي ص ل ك ام ي ل نا إ و ب& ك ر ن ا فر نا غ ع ط و نا أ ع سم لوا ا وق
“Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya,
demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-
Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan
antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami
dengar dan kami ta`at”. (Mereka berdo`a): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada
Engkaulah tempat kembali”. [al-Baqarah:285]

يي o ب ن& ال ب و تا ك وال ة ئك ا ل ل ام ر و لآخ ا وم ي ل ا و ه الل ب ن ءام- من & بر ال & ن لك و ب ر غ م وال رق ش م ال بل ق م هك و ج لوا و x و ت أن ر & ب ل ا يس ل
ى ات – ء ة و ا ل& الص قام و أ اب رقo ي ال ف و ي ئل ا& والس بيل & الس بن وا ي ا ك س م وال ى تام يل ا ى و ب ر ق ي ال و ذ بهo ى ح عل ال لم ى ا ات – وء
هم ئك ل و و قوا أ د ص ين لذ ا ئك ل أو س بأ ل ا حي و راء&& الض و اء س بأ ي ال ف ين بر ا& الص وا و د عاه ا ذ إ هم د ه بع فون و لم ا ة و ا زك& ال
ون تق& لم ا
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitabkitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang memintaminta;
dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” [al-Baqarah:177]

Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa perkara-perkara yang sumbernya tidak qath’iy, atau
sumbernya qath’iy akan tetapi maknanya (dalalahnya) samar dan masih diperdebatkan oleh para
‘ulama, maka perkara-perkara tersebut tidak termasuk bagian dari perkara ‘aqidah yang membawa
implikasi kekufuran atau keimanan. [66]

Perkara-perkara semacam ini sangatlah banyak jumlahnya, dan terus diperselisihkan di kalangan ‘ulama. Misalnya, masalah “melihat Allah swt dengan mata”, “Sifat-sifat tambahan yang dilekatkan pada Dzat Allah, pelaku dosa besar, kehadiran Imam Mahdiy, Dajjal, turunnya Nabi Isa as, siksa kubur, letak surga yang dihuni Nabi Adam as, dan lain sebagainya. Imam Mawardi, dalam tafsirnya menyatakan,”Ada dua pendapat tentang surga yang dihuni Adam as. Pertama, ia adalah surga abadi. Kedua, ia merupakan surga yang disediakan Allah swt untuk Adam dan Hawa sebagai tempat ujian, bukan surga abadi sebagai Daar al-Jazaa’ (negeri pembalasan). Pendapat yang terakhir ini terbagi menjadi dua; (1) surga ini terletak di langit. Mereka beralasan, bahwa Allah menurunkan Adam dan Hawa dari surga. Pendapat ini dipegang oleh Imam Hasan. Imam Bahr berpendapat, bahwa surga ini terletak di bumi. Alasannya, Allah hendak menguji keduanya di bumi dengan cara melarang mereka memakan buah khusus[67].

Imam Ibn al-Khathib, dalam tafsirnya mengatakan, bahwa para ‘ulama berbeda pendapat
tentang surga yang dihuni Nabi Adam dan Hawa. Ia terletak di langit ataukah di bumi? Sekiranya
di terletak di langit, apakah ia surga abadi yang disediakan sebagai balasan amal? Atau, apakah ia
surga yang lain? Abu al-Qasim al-Balkhi dan Abu Muslim al-Ashbahani berkata, “Surga dihuni
Adam ini terletak di dunia”. Pendapat ini juga dipegang oleh Imam Abu Hanifah. Pendapat lain
menyatakan, bahwa surga yang dihuni Nabi Adam as terletak di langit tujuh. ‘Ulama lain
berpendapat, bahwa surga tersebut adalah negeri pembalasan (daar al-jazaa’). Ini merupakan
pendapat mayoritas ‘ulama. Pendapat lain menyatakan, bahwa semua pendapat itu sama-sama
mungkin, karena dalilnya saling bertentangan dan tidak pasti.
Imam Abu Zaid al-Maliki berkata, bahwa ia bertanya kepada Imam Abu Nafi’, apakah
surga itu makhluk? Imam Nafi’ menjawab, “Diam dalam masalah ini adalah lebih baik.” [68]

Para ‘ulama juga berbeda pendapat dalam hal melihat Allah swt dengan mata (pandangan)
di hari kiamat. Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa manusia akan melihat Allah swt di hari
akhir. Mereka mengajukan dalil-dalil sebagai berikut:

ون لد خا ا يه ف م ه نة& ج ل ا اب ح أص ئك ل أو { لة ذ لا و 6 تر ق م ه جوه و هق ر لا ي و { دة يا ز و نى س ح نوا ال س ح أ ين ذ ل
”Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.
Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni
surga, mereka kekal di dalamnya.” [Yunus:26] Menurut sebagian ulama, maksud dari pecahan
kata “..dan tambahannya..” adalah kenikmatan melihat Allah swt.

رون نظ ي ئك ا ر أ ى ال عل ) 22 ( J عيم ي ن لف رار ب أ ال ن إ
“Sesungguhnya, orang yang berbakti itu benar-benar dalam kenikmatan yang besar. Mereka
duduk di atas dipan-dipan sambil memandang.”[al-Muthaffifiin:22-23]

{ة ر اظ ا ن بهo لى ر ) 22 إ( {ة ر ناض J ئذ م يو 6 جوه و
“Wajah-wajah orang mukmin pada hati itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka
melihat.”[al-Qiyamah:22-23]

Akan tetapi, sebagian ulama tidak sepakat dengan pendapat ini. Mereka menyatakan,
bahwa manusia tidak akan melihat Allah swt . Mereka berargumentasi dengan mengetengahkan
firman Allah swt yang menafikan adanya ru’yat al-Allah.

بي خ ل ا يف ط الل هو و ار بص €- ا ل ك ر د ي و وه ار بص €- ا ل ه رك د ت ل
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” [al-An’am:103]

Nash-nash seperti ini tidak absah digunakan dalil untuk membangun perkara-perkara ‘aqidah
yang akan berimplikasi kepada kekafiran bila seseorang mengingkari pendapat saudaranya yang
lain. Seorang muslim yang berpendapat bahwa Allah bisa dilihat di hari akhir, tidak boleh menjatuhkan predikat kafir kepada saudaranya yang berpendapat bahwa Allah tidak bisa dilihat di
hari akhir. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalalah (makna) yang ditunjukkan oleh nashnash
tersebut tidak qath’iy (pasti).[69]

Pada dasarnya, masalah-masalah semacam ini muncul tatkala di tengah-tengah kaum
muslim bermunculan pemikiran-pemikiran, kelompok-kelompok, dan aliran-aliran ilmu kalam.
Akhirnya, perkara-perkara ‘aqidah dijadikan ranah ijtihad yang menyebabkan mereka berselisih
dan berbeda pendapat –dalam ranah yang memang masih diperbolehkan berbeda pendapat.
Masing-masing kelompok dan aliran mengetengahkan pendapat dan pemikirannya dengan disertai
dalil-dalil naqliy yang mendukungnya.

Namun demikian, banyak perkara ‘aqidah yang seluruh kaum muslim bersepakat dan tidak
berselisih pendapat di dalamnya. Misalnya, seluruh kaum muslim sepakat bahwa Allah swt suci
dari kekurangan, dan disifati dengan seluruh kesempurnaa. Ini adalah keyakinan pasti yang
diimani oleh seluruh kaum muslim, dan tidak pernah diperselisihkan oleh para ‘ulama.
Perbedaan pendapat terjadi tatkala mereka membahas perkara-perkara yang berhubungan Allah
swt. Misalnya, apakah Allah swt wajib berbuat yang terbaik bagi hambaNya? Apakah manusia
yang menciptakan sendiri perbuatan-perbuatan ikhtiyariyah? Apakah maksiyat yang dilakukan
oleh seorang hamba telah dikehendaki Allah?

Kelompok Mu’tazilah berpendapat, bahwa Allah wajib berbuat yang terbaik bagi
hambaNya, manusia adalah pencipta perbuatannya sendiri, dan Allah tidak menghendaki
kemaksiyatan. Kelompok lain berpendapat, bahwa Allah tidak wajib berbuat yang terbaik untuk
hambaNya, Allah adalah pencipta perbuatan manusia, dan Allah swt menghendaki kemaksiyatan.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa seluruh kelompok tersebut tidak berbeda pendapat
dalam masalah sucinya Allah dari kekurangan (ketidaksempurnaan). Mereka juga sepakat bahwa
Allah disifati dengan kesempurnaan. Sebab, keyakinan terhadap kesucian Allah dari sifat lemah
dan ketidaksempurnaan, merupakan keyakinan pasti yang tidak membuka ruang bagi adanya
penafsiran beragam. Mereka hanya berbeda pendapat dalam hal, “Apakah perkara ini dan itu
termasuk kekurangan, sehingga Allah tidak mensifati dirinya dengan sifat itu; dan apakah perkara
ini dan itu bukan termasuk kekurangan Allah, sehingga Allah mensifati dirinya dengan sifat itu?
Menurut Mahmud Syaltut, di dalam kitab-kitab Tauhid telah dirinci perkara mana yang
disepakati oleh para ‘ulama, dan mana yang masih diperselisihkan; serta dalil-dalil naqliy yang
dijadikan sandaran argumentasi masing-masing pihak.

Atas dasar itu, jalan untuk menetapkan masalah-masalah ‘aqidah haruslah mudah dan
diketahui oleh seluruh manusia, Jalan tersebut tidak boleh hanya diketahui sebagian orang saja.
Sebab, ‘aqidah adalah pokok agama (ushul al-diin) yang menjadikan seseorang menyandang
predikat muslim atau kafir. Seandainya jalan untuk menetapkan keimanan hanya diketahui oleh
sebagian orang saja, niscaya banyak orang yang sulit untuk memperoleh predikat mukmin; sebab,
ia tidak mengetahui jalan untuk mendapatkan keimanan. Contohnya, adalah ilmu mantiq dan
logika yang digunakan oleh ahli filsafat sebagai jalan untuk mendapatkan keimanan. Jalan seperti
ini adalah jalan salah yang bertentangan dengan manhaj berfikir yang benar. Sebab, tidak semua
orang menguasai ilmu manthiq dan logika. Jika untuk mendapatkan keimanan, seseorang harus
menguasai ilmu mantiq terlebih dahulu, tentunya orang yang tidak menguasai ilmu manthiq tidak
akan pernah bisa memperoleh keimanan dengan jalan yang benar? Kalaupun ia menyandang
gelar mukmin, maka keimanannya pasti didapatkan dari jalan taqlid. Padahal, jalan semacam ini
(taqlid dalam masalah ‘aqidah) dilarang oleh syara’.

Agar metode untuk mendapatkan iman tersebut, benar-benar bisa dimengerti oleh seluruh
umat manusia, maka perkara-perkara ‘aqidah tersebut tidak boleh diperselisihkan, atau masih
menjadi bahan perbincangan di kalangan ‘’ulama, dalam hal penetapan dan penafiannya. Ini
didasarkan pada kenyataan, bahwa kebanyakan masyarakat awam tidak mampu menjangkau
argumentasi-argumentasi para ‘ulama jika perkara-perkara ‘aqidah tersebut masih dalam
perselisihan dan perdebatan. Keadaan ini, akan membuka ruang yang sangat lebar bagi adanya
taqlid dalam perkara ‘aqidah. Padahal, taqlid dalam perkara ‘aqidah adalah sesuatu yang diharamkan. Sebab, banyak orang awam yang tidak memahami dalil dan argumentasi masingmasing
‘ulama. Lantas, bagaimana ia bisa menyakini perkara-perkara yang dia sendiri tidak
mengetahuinya?

Perbedaan Yang Mengharamkan Adanya Takfir dan Tadlliil
Pada dasarnya, perbedaan pendapat yang terjadi di antara kelompok-kelompok Islam
dalam masalah ru’yatullah, kehadiran Dajjal, siksa kubur, letak surga yang dihuni Nabi Adam as,
dan lain-lain, tak ubahnya dengan perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh dalam masalahmasalah
furu’. Sebab, tidak ada satupun nash qath’iy yang bisa dijadikan hujjah untuk masalahmasalah
tersebut. Atas dasar itu, perbedaan pendapat dalam masalah-masalah itu masih dalam
kategori perbedaan yang diperbolehkan (ikhtilaaf tanawwu’). Sebuah, perbedaan yang
mengharamkan seseorang untuk mencap saudaranya telah keluar dari jalan yang lurus (kafir),
sesat, fasig, atau telah mengingkari masalah-masalah agama.[70]

Sayangnya, masa fanatisme madzhab telah membawa kaum muslim pada sikap-sikap
tercela dan jauh dari tuntunan Islam. Akhirnya, dengan sangat mudah, mereka mencap saudara
seimannya dengan cap kafir, fasiq, dan sesat. Padahal, mereka berselisiha pada perkara-perkara
yang masih mengandung kesamaran. Demikianlah, kemerosotan berfikir kaum muslim telah
menjatuhkan mereka pada sikap-sikap tercala dan bodoh. Akibatnya, perpecahan, perselisihan,
dan permusuhan di kalangan kaum muslim sendiri tidak bisa dihindari lagi. Semua ini diakibatkan,
karena kebddohan dan ketergesa-gesaan mereka dalam bersikap dan berpendapat.

Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan beberapa point berikut ini.

1. Dalil yang membangun masalah-masalah ‘aqidah haruslah dalil yang qath’iy tsubut dan
dilalahnya.
2. Jika dalil-dalilnya tidak qath’iy, dan para ‘ulama berbeda pendapat di dalamnya, maka
perkara-perkara tersebut tidak boleh dikategorikan sebagai bagian dari perkara ‘aqidah.
Seseorang tidak boleh menyakini bahwa salah satu pendapat di antara pendapat-pendapat
tersebut benar, sedangkan yang lain salah. Sebab, salah dalam perkara ‘aqidah akan
menjatuhkan seseorang kepada kekafiran.
3. Sesungguhnya, kebanyakan kitab tauhid jarang yang membahas perkara-perkara ‘aqidah
yang telah diwajibkan oleh Allah swt untuk diyakini (‘aqidah pasti yang tidak diperselisihkan
oleh kaum muslim). Akan tetapi, buku-buku tersebut hanya membahas beberapa pendapat
dan pemikiran yang mengupas makna dzahir dari suatu nash yang kemudian dijadikan lahan
ijtihad oleh para ‘ulama. Dengan kata lain, perkara-perkara semacam ini terkategori dalam
perkara ijtihadiyyah yang kaum muslim boleh berbeda pendapat.

AL-‘ILMU WA AL-DZAN
Dua kata ini, al-‘ilmu dan al-dzan, merupakan terminologi yang sering digunakan dalam
pembahasan ‘aqidah. Akan tetapi, tidak sedikit dari kaum muslim yang belum memahami makna
dari dua kata ini. Padahal, mengetahui makna dari kedua kata ini merupakan faktor yang sangat
penting sebelum memulai pembahasan-pembahasan ‘aqidah.

Al-‘Ilmu sering diartikan dengan iman atau yakin[71].

Iman sendiri bermakna, pembenaran(tashdiiq)[72]

pasti yang berkesesuaian dengan fakta dan dibangun berdasarkan dalil[73].

Keyakinan hati yang tidak sampai ke derajat kepastian, tidak absah disebut sebagai iman.
Keyakinan semacam ini disebut dengan al-dzan.

Berikut ini akan kami ketengahkan ayat-ayat yang berbicara tentang al-‘ilmu dan al-dzan.
Allah swt berfirman:
ل & ن الظ ن و إ & ن الظ إل ون بع & يت ن إ J م عل ن م به م له ا م ى) 27 (و نث €M ا ل ية م تس ة ئك ا ل ل ام ون ƒ م يس ل ة خر € ال ب نون ؤم ل ي ين لذ ا ن إ
ئا9 شي o حق ال من ني يغ
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akherat, mereka
benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai
pengetahuan (AL-‘ILMU) tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan
sedangkan sesungguhnya persangkaan itu (AL-DZAN) tiada berfaedah sedikitpun terhadap
kebenaran.” (al-Najm : 27-28)

ه د الل و د ا ح يم يق ن ناأ & ظ ن ا إ ع اج تر ي أن ا م يه ل ع ناح ج فل
“…maka tidak ada dosa kepada keduanya (bekas suami pertama da isteri) untuk kawin
kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah..” (Al-Baqarah :
230)

ي لف فيه وا ف تل اخ ين لذ ا ن و إ هم ل بهo ش ن لك و بوه ل ا ص وم وه لت ق ا م و ه الل ول س ر يم ر م ن ى اب يس ح ع ي س م ا ال ن تل ا ق &ن إ هم ل و وق
نا‡ قي ه ي و لت ق ا وم o ن الظ باع تo ا إل J م ل ع من به هم ل ما نه م ‰ ك ش
“dan karena ucapan mereka:” Sesungguhnya kami telah membunuh Al- Masih, ‘Isa putera
Maryam, Rasul Allah, padahal mereka tidak membunuhnya, dan tidak pula menyalibnya, tetapi
(yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan ‘Isa bagi mereka. Sesungguhnya orangorang
yang berselisih paham tentang (pembunuhan) ‘Isa, benar-benar dalam keraguan tentang
yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan , tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali
mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah
‘Isa”. (Al-Nisaa’ : 157)

Di dalam al-Quran, kata al-‘ilmu kadang-kadang bermakna al-qath’iy (pasti) dan al-yaqiin
(yakin). Penyebutan kata al-‘ilmu dengan makna al-dzan (prasangka kuat) sangatlah sedikit. Allah
swt berfirman:

لا9 ئو مس نه ع ان ك ئك ل أو x كل د ا ؤ ف وال ر بص وال ع م& الس ن إ6 م عل به ك ل س لي ا م ف تق ل و
27
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan (AL-‘ILM)
tentangnya…” (al-Isra’ : 36)

ر ا ف ك لى ال إ & هن و ع ج ر ت ل ف J نات ؤم م& ن وه تم م ل ع ن إ ف
“..Maka jika kamu telah mengetahui (Al-‘ILM) bahwa mereka (benar-benar) beriman maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. (al-
Mumtahanah : 10)

Kata al-‘ilmu dalam ayat-ayat ini bermakna al-dzan (prasangka kuat).
Kata al-dzan bisa juga bermakna al-wahm (dugaan tanpa dasar). Al-Quran telah
menyatakan hal ini dalam surat Al-najm ayat 28:

ئا9 ي ش o ق لح ا ن ني م غ ل ي & ن الظ ن و إ & ن الظ إل ون بع ت& ي إن J م ل ن ع م به م له ما و
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedangkan sesungguhnya
persangkaan itu (AL-DZAN) tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (Al-Najm : 28)

Kadang-kadang al-dzan juga bermakna al-qath’i dan al-yaqiin. Allah swt berfirman:
ون ع راج يه ل إ م نه& أ و هم بo و ر ق مل م نه& أ نون ƒ ظ ي ين لذ ا
“(yaitu) Orang-orang yang menyakini (yadzunnuun), bahwa mereka akan menemui Tuhan-
Nya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (al-Baqarah : 46)

Al-dzan kadang bermakna tarjiih (prasangka kuat). Allah swt berfirman:
ه د الل و د ا ح يم يق ن ناأ & ظ ن ا إ ع اج تر ي أن ا م يه ل ع ناح ج فل
“…maka tidak ada dosa kepada keduanya (bekas suami pertama dari isteri) untuk kawin kembali
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah..” (Al-Baqarah : 230)

Al-dzan dengan makna al-wahm (sangkaan ilutif) tidak boleh dijadikan dalil dalam perkara
keyakinan (al-‘aqaaid), dan hukum syara’. Orang yang mengatakan bahwa malaikat itu berjenis
kelamin perempuan, sesungguhnya, perkataan mereka itu tidak didasarkan pada dalil, ataupun
syubhah dalil.[74]

Mereka tidak memiliki bukti apapun kecuali sekedar persangkaan saja. Jenis
al-dzan semacam ini (al-wahm) tidak membawa kebenaran sedikitpun baik dalam masalah
keyakinan (‘aqaaid) maupun hukum syara’.

Al-dzan yang berma’na tarjiih al-ra’yi (pendapat kuat) absah digunakan dalil dalam
persoalan hukum syara’, namun tidak untuk masalah ‘aqidah. Ketentuan semacam ini didasarkan
pada firman Allah swt ;

ه الل ود حد ا يم يق ن اأ &ن ظ ن إ
“..jika keduanya berpendapat (in dzanna) akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah” [2:230].
Ayat ini berbicara mengenai kasus seorang laki-laki yang menthalaq tiga isterinya. Jika laki- laki tersebut ingin kembali kepada isterinya kembali, maka isterinya harus nikah dengan suami
yang lain terlebih dahulu. Jjika suami kedua menceraikannya, maka ia boleh kembali kepada
isterinya yang pertama. Allah swt telah menyatakan ketetapan ini dengan sangat jelas, “..jika
keduanya berpendapat (in dzanna) akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah” [2:230].
Suami boleh ruju’ kembali dengan isterinya, meskipun pelaksanaan ruju’ tersebut
didasarkan pada dzan (prasangka kuat). Ruju’ merupakan bagian dari hukum syara’. Ini
menunjukkan bahwa, dalam melaksanakan hukum-hukum syara’, tidak harus didasarkan pada
al-‘ilm (keyakinan), akan tetapi cukup didasarkan pada al-dzan (prasangka kuat) saja.
Walaupun dzan absah digunakan dalil dalam masalah hukum syara’, akan tetapi, ia tidak
absah digunakan dalil dalam masalah ‘aqidah. Ketentuan semacam ini sejalan dengan kisah
diangkatnya Nabi Isa as yang termuat dalam surat al-Nisaa':157.

Ayat itu menjelaskan bahwa orang-orang yang menyangka ‘Isa as telah tertawan, dibunuh,
dan disalib, memiliki bukti yang sangat kuat. Persangkaan mereka bukan sekedar wahm. Sebab,
mereka menyaksikan ‘Isa as berada di dalam sebuah rumah bersama murid-muridnya, sedangkan
para tentara telah mengepung rumah itu. Kemudian, Allah menyerupakan salah seorang muridnya
seperti beliau as. Tanpa sepengetahuan para tentara, Allah mengangkat nabi ‘Isa as ke atas
langit. Ketika para tentara memasuki rumah dan menangkap orang yang berada di dalam rumah,
mereka menyangka bahwa orang yang diserupakan dengan Isa, adalah ‘Isa as. Mereka
menangkap orang yang diserupakan ‘Isa as tersebut, dan menyalibnya hingga mati. Peristiwa ini
disaksikan oleh khalayak ramai, sekaligus merupakan bukti kuat bagi orang yang menyangka
bahwa Isa as telah tersalib.

Namun, bukti yang mereka sodorkan tidak sampai kepada keyakinan, bahkan mengandung
keraguan dilihat dari dua sisi. Pertama, penyerupaan itu tidak sempurna. Wajah orang yang
diserupakan Isa itu, adalah wajah ‘Isa as, akan tetapi, tubuhnya bukan tubuh ‘Isa as. Kedua,
bahwa jumlah orang yang bersama Isa as di dalam rumah berkurang satu. Padahal, di dalam
rumah itu terdapat 13 orang, ‘Isa as dan 12 muridnya. Akan tetapi, tatkala para tentara masuk ke
dalam rumah, mereka tidak mendapatkan kecuali 12 orang laki-laki. Karena ada perbedaan pada
wajah dan jumlah, timbullah keraguan. Persoalan itu akhirnya jatuh dari derajat yakin inderawiy
ke derajat dzan.
نا‡ ي يق ه و تل ق ا وم o ن الظ باع تo ا إل J م ل ع من به هم ل ا م
“Mereka tidak mempunyai keyakinan , tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti
persangkaan belaka”. (Al-Nisaa’ : 157).

Allah swt telah melarang dzan semacam ini untuk dijadikan dalil dalam masalah ‘aqidah
(keyakinan), walaupun dalil tersebut rajih (kuat). Allah telah menetapkan, ‘aqidah tidak boleh
dibangun di atas dalil-dalil yang bersifat dzanniyyah (persangkaan kuat ). ‘Aqidah harus dibangun
di atas dalil-dalil yang menyakinkan (qath’iy). Allah telah menyatakan”, mereka tidak (pula) yakin
bahwa yang mereka bunuh itu adalah ‘Isa” (al-Nisaa':157).

Orang yang menyakini bahwa Isa as telah terbunuh, tidak memiliki bukti yang menyakinkan. Kenyakinan semacam ini adalah kenyakinan yang dicela oleh Al-Quran.

CELAAN AL-QURAN TERHADAP KEYAKINAN
YANG DIBANGUN DENGAN DZAN
Di banyak ayat, Allah swt dengan tegas telah mencela orang-orang yang mengikutkan
persangkaannya dalam masalah keyakinan (‘aqidah). Adanya celaan dari Allah swt, menunjukkan
bahwa perbuatan tersebut –mengikuti dzan dalam masalah keyakinan (‘aqidah)– terkategori
perbuatan yang diharamkan Allah swt. Al-Quran dengan sangat jelas, telah menunjukkan
pengertian semacam ini Allah swt berfirman,”
M س ف ن- ال ى و ته ا وم & ظن ال إل ون ع & يب ت إن J طان ل س ن ا م به M ال زل أن ا م م ؤك ا ب- ءا و م أنت ا وه م يت& م ء س Œ ا م أس إل ي ه ن إ
ى هد ال م هoب ر ن م م ءه- جا د لق و
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya;
Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan
sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.”[al-Najm:23]

ثى ن€M ا ل ية م تس ة ئك ل ل ام ون ƒ سم ي ل ة خر € ال ب نون ؤم ل ي ين لذ ا ن إ
Sesungguhnya orang-orang yang tiada berîman kepada kehidupan akhirat, mereka benar- “
]benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan.”[al-Najm:27]

ون عل ف ا ي بم 6 يم ل ع ه الل إن ئا9 شي o حق ال من ني غ ل ي & ن الظ إن نا ظ إل م ه ثر أك بع ت& ي ما و
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”[Yunus:36]

فيه وا ف تل خ ا ين لذ ا ن إ و هم ل بهo ش ن لك و ه بو ل ا ص م و وه ت قل ا وم ه الل ول رس يم مر بن ى ا يس ع يح س لم ا ا ن تل ا ق &ن إ م له و ق و
نا‡ ي يق وه لت ا ق م و o ن الظ باع تo ا إل J م ل ع ن م ه ب م له ا م ه ن م ‰ ك ي ش لف
“..Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) `Isa, benar-benar
dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang
siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin
bahwa yang mereka bunuh itu adalah `Isa….”[al-Nisâ’:157]

ا‡ يد بع 9 ل ل ض ضل د فق ه بالل رك يش ن م و M اء يش ن ل م ك ل ذ دون ا ر م ف يغ و ه ب ك ر يش أن ر ف غ ل ي ه الل ن إ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka,
dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”[al-Nisâ’:116]

تم ن أ ن إ و & ن الظ إل ون بع ت& ت ن ا إ لن جوه خر ت ف J م عل من م ك دن ل ع ه قل نا س أ قوا ب ذا ى & حت هم بل ق ن م ين لذ ا ب كذ لك ذ ك
ون ص خر ت ل إ
“Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai
mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai sesuatu
pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti
kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta.”[Al-An’am:148]

ن و إ & ن الظ إل ون بع ت& ي ن إ – اء رك ش ه الل دون ن م عون د ي ين لذ ا بع ت& ي ا وم رض €- ي ا ل ف ن وم ت وا م& ي الس ف ن م ه لل ن إ ل أ
ون رص يخ إل م ه
“Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang ada di
bumi. Dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti (suatu
keyakinan). Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka belaka, dan mereka hanyalah mendugaduga.”[Yunus:66]

Allah swt juga berfirman,
ى ل ع لون و تق ا أ ذ به J ان ط ل س من م ك ن د ع ن إ ض ر لأ ي ا ا ف م و وات م& ي الس ا ف م له ƒ ني لغ ا و ه ن حاه ب ا س ‡ لد و ه الل خذ ت& لوا ا قا
ون م ل تع ا ل م ه الل
“Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: “Allah mempunyai anak”. Maha Suci Allah;
Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.
Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa
yang tidak kamu ketahui?[Yunus:68]

نار & ال من وا ر كف ين ذ ل { ل ي و روا ف كف ين لذ ا ƒ ن ظ لك ذ 9 ل اط ا ب هم ن ي ب ا م ض و ر€- وا ل – اء سم& نا ال ق خل ما و
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa
hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang
kafir itu karena mereka akan masuk neraka.”[Shâd:27]

ني يق ت س م ب حن ا ن وم نا  ظ إل ƒ ن ظ ن إن عة سا& ما ال ي ر ند ا م تم ل ها ق في يب ر ل عة سا& وال  ق ح ه الل عد و إن يل ذا ق و إ
“Dan apabila dikatakan (kepadamu): “Sesungguhnya janji Allah itu adalah benar dan hari
berbangkit itu tidak ada keraguan padanya”, niscaya kamu menjawab: “Kami tidak tahu apakah
hari kiamat itu, kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-kali
tidak menyakini (nya)”.[al-Jâtsiyyah:32]

ين ر اس لخ ن ا م تم ح ب ص فأ م ا ك د ر أ م بكo بر تم نن ظ ي لذ ا م نكƒ ظ م لك ذ و
“Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka terhadap Tuhanmu,
prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.”[Fushilat:23]

ا‡ حد أ ه الل ث ع ب ي لن أن تم ن ن ا ظ كم نوا ƒ ظ م نه& و أ
“Dan sesungguhnya mereka (jin) menyangka sebagaîmana persangkaan kamu (orang-orang
kafir Mekah), bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang (rasul) pun”[al-Jin:7]

نون ƒ يظ إل م ه ن و إ & ني ا أم إل تاب ك ال ون م ل يع ل يون ƒo أم هم ن م و
“Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al Kitab (Taurat), kecuali
dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga.”[AL-Baqarah:78].

Ayat-ayat di atas merupakan celaan yang pasti (jâzim) bagi orang yang mengikuti dzan
dalam masalah ‘aqidah, atau keyakinan. Sedangkan dalam masalah hukum syari’at tidak perlu
bukti yang menyakinkan. Allah swt berfirman, “
ه الل ود حد ك تل و ه الل ود حد ا يم يق ن ناأ & ظ ن اإ ع اج تر ي أن ا م يه ل ع ناح ج فل
“…maka tidak ada dosa kepada keduanya (bekas suami pertama da isteri) untuk kawin kembali
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah..” (Al-Baqarah : 230).

Ayat ini menunjukkan dengan jelas, bahwa untuk melaksanakan ruju’ – (‘amal)— tidak
perlu didasarkan pada dalil (bukti) yang menyakinkan, akan tetapi cukup hanya didasarkan pada
prasangka kuat (dzan). Ini terlihat dengan gamblang pada pecahan ayat di atas, “in dzanna an
yuqiimaa hudud al-Allah” [jika keduanya berdzan (berprasangka kuat] akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah]. Secara syar’iy, orang yang hendak melaksanakan ruju’ (syari’at) tidak harus
menyakini dengan pasti bahwa ia mampu menjalankan aturan Allah swt, akan tetapi cukup
berdasarkan prasangka kuat mereka berdua, bahwa mereka mampu menjalankan aturan Allah swt.

Ini menunjukkan bahwa, dalil untuk membangun suatu perbuatan harus disandarkan pada
bukti-bukti yang menyakinkan, akan tetapi cukup didasarkan pada prasangka kuat saja (dzan).
Sedangkan dalam masalah aqidah harus disandarkan pada dalil yang menyakinkan, baik tsubût
maupun dilâlahnya.
Wallahu A’lam bi al-Shawab_

[1] Menolak hadits ahad di sini bermakna, menolak hadits ahad untuk dijadikan hujjah dalam
masalah ‘aqidah.
[2] Syaikh Mohammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahasinu Ta’wil, juz 17 hal.304-305
[3] Sayyid Qutub, Fi Dzilalil Quran, juz 30, hal. 293-294
[4] Imam al-Ghazali, al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushuul, hal. 116
[5] Prof. Mahmud Syaltut, Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, hal. 63.
[6] Ibid, hal. 56-57
[7] Imam Ibnu Katsir, Tafsiir al-Quran al-‘Adzim, juz 4/hal.234.
[8] op.cit, hal. 63
[9] Prof Mahmud Syaltut adalah mantan guru besar di Universitas al-Azhar .
[10] Ibid, hal.61-62
[11] Haafidz Tsanaa al-Allah al-Zaahidiy ,Taujiih al-Qaariy ila al-Qawaa’id wa al-Fawaaid al-Ushuuliyah wa
al-Hadiitsiiyyah wa al-Isnaadiyyah fi Fath al-Baariy, Daar al-Fikr, hal. 156. Penjelasan panjang lebar
mengenai masalah ini dapat dirujuk ke dalam kitab Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, karya Imam al-Amidiy,
Juz I, hal.217-dan seterusnya.
[12] Imam Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushuul, hal.48. Diskusi tentang hadits
ahad, apakah ia menghasilkan keyakinan atau tidak bisa diikuti dalam kitab Al-Ihkaam fi Ushuul al-
Ahkaam, karya Imam al-Amidiy; [lihat Al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz I, Daar al-Fikr, 1417
H/1996 M, hal.218-223].
[13] Prof. Mahmud Syaltut, Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, hal. 63
[14] Ibid. hal. 63
[15] Ibid.hal.63
[16] Ibid.hal.64
[17] Ibid. hal.64
[18] Ibid, hal.64
[19] Ibid, hal.64. Lihat, Imam al-Ghazali, al-Mustashfa, hal.116
[20] Al-Kasaaiy, Badaai’ al-Shanaai’, juz.I, hal.20
[21] Imam al-Qaraafiy, Tanqiih al-Fushuul , hal.192.
[22] Al-Qasaamiy, Qawaa’id al-Tahdiits, hal.137,138.
[23] Dr. Rifat Fauziy, al-Madkhal ila Tautsiiq al-Sunnah, ed.I, tahun 1978.
[24] Al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, juz I, ed. III, 1951, Daar al-Fikr, hal.79.
[25] Jalaal al-Diin al-Suyuthiy, Durr al-Mantsur, jilid 5, hal. 180
[26] al-Itqan, jilid II, hal.25, lihat juga Durr al-Mantsur, jilid 5; hal.180
[27] al-Hafidz al-Suyuthiy , Durr al-Mantsuur, juz 1/723-724
[28] Imam Ibnu Taimiyyah, Majmuu’ al-Fataway, juz 19/hal.24, bab al-radlaa’.
[29] Surat al-Maidah:89. Di dalam mushhaf ‘Utsmaniy tidak ada tambahan “mutatabi’aat” (berturut-turut)
[30] lihat al-Amidiy, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkaam.
[31] Tafsir Ibnu Katsir, al-Maidah:89
[32] Imam Syafi’iy berpendapat, bahwa al-Quran tidak bisa dihapus (dinasakh) oleh sunnah. Al-Quran hanya
bisa dihapus oleh al-Quran. [lihat, al-Risalah, Imam al-Syafi’iy, bab Naasikh dan Mansuukh; Ahkaam al-
Quran , karya al-Syafi’iy, lihat juga al-Ihkaam, karya Ibnu Hazm]
[33] al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, hal.79
[34] al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, hal.79
[35] ibid, hal.79
[36] Lihat pada Ahmad al-Da’ur, al-Ahkaam al-Bayyinaat, hal.6, 1965, tanpa penerbit
[37] HR. Mutafaq ‘Alaih
[38] Imam al-Ghazali, al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushuul, hal. 116
[39] Imam Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushuul, hal.47
[40] Ibid, hal. 47
[41] Ibid, hal.47
[42] Ibid, hal.47
[43] Ibid, hal.47-48
[44] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwaththa’, hal. 513, juz II. Hadits tersebut juga
diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Tirmidziy dan Ibnu Majah.
[45] Imam Dzahabiy, Tadzkirah al-Huffadz, juz I, hal.3-4
[46] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
[47] Shahih Muslim, hal.1311, juz III
[48] HR. Muttafaq ‘Alaih
[49] Mohammad Ibnu Abiy Bakar al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, Daar al-Fikr, 1401 H/1971 M, hal.444.
Bila dikatakan I’taqada fulaan al-amr (seseorang telah beri’tiqad terhadap suatu perkara), maknanya
adalah, shadaqahu, wa ‘aqada ‘alaihi qalbuhu, wa dlamiiruhu, (seseorang itu telah membenarkan perkara
tersebut, hatinya telah menyakininya, dan ia telah bersandar kepada perkara tersebut). Lihat al-Mu’jam al-
Wasith, jilid I, bab ‘aqada.
[50] Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq, 1414 H/199 M , hal. 22.
[51] Al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 743
[52] Al-Jurjaniy, al-Ta’riifaat, hal. 113
[53] Al-Quran, Yusuf:17.
[54] Al-Raghib al-Isfahaaniy, Mufradaat al-Faadz al-Quran, hal.327
[55] Dalam kamus Mukhtaar al-Shihaah, disebutkan, bahwa kata dzan kadang digunakan dengan makna
al-‘ilmu (yaqiin) [lihat juga Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, hal 218]. Fathi Mohammad
Salim menyatakan, bahwa kata dzann adalah keyakinan kuat yang masih mengandung makna yang
berlawanan. Al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 406. Kata dzan kadang-kadang digunakan dengan
makna yaqiin dan syakk (keraguan). [lihat Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-
Bayaariq, 1414 H/199 M , hal. 20].
[56] Asaas al-Balaaghah, hal. 303
[57] Imam al-Nasafiy, Al-‘Aqâid al-Nasafiyyah, hal. 27-43
[58] Ibnu Katsîr, Tafsir Ibnu Katsîr, jilid.I, hal. 40
[59] Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, jilid I, hal. 49
[60] Imam Al-Ghazali, Iljâm al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalâm, hal. 112
[61] Prof. Mahmud Syalthut, Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, hal.56
[62] Ibid, hal.56
[63] Ibid, hal. 56
[64] Ibid, hal.56-57
[65] Ibid, hal.57
[66] Mahmud Syaltut, Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, hal. 58. Beliau menambahkan, bahwa perbedaan pendapat
di kalangan ulama dalam masalah seperti ini disebutkan di dalam banyak kitab, misalnya Kharidat al-
Daradiir, Jauharat karya Imam Laqaniy, dan sebagainya.
[67] Abd al-Qadir Ahmad ‘Atha, al-Thaariq Ila al-Jannah, ed.II, 1987, Daar al-Jiil, Beirut, Libanon
[68] Ibid
[69] Prof Mahmud Syaltut, Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, hal.61
[70] Ibid, hal. 59-60. Prof Mahmud Syaltut menambahkan, bahwa sikap seperti ini telah dipegang oleh
‘ulama-‘ulama tauhid. Lihat, al-Milal wa al-Nihal, karya Ibnu Hazm, al-Qawaa’id al-Kubra, karya ‘Izzi ‘Abd al-
Salam, dan kitab-kitab Ushul dan Ilmu Kalam lainnya.
[71] Imam Abu Bakar al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, bab yaqana, hal. 743
[72] ibid, bab amana, hal. 26
[73] Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq, 1414 H/199 M , hal. 22
[74] Syubhat dalil adalah dalil-dalil istidlal (sumber penggalian hukum) yang masih diperbincangkan keabsahannya di kalangan
‘ulama ushul, semisal al-mashlahat al-mursalah, istihsan, syar’u man qablanaa, jalb al-mashalih wa dar`u al-mafaasid, dll. Dalil
adalah Al-Quran, Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas. Syubhat dalil kadang juga digunakan untuk menyebut suatu pendapat
yang lemah.
[i] Bandingkan dengan al-Zaahidy, Taujih al-Qariy, hal.187-193

1 comment:

  1. sundul77.com Situs Agen Bola Terbaik | Judi Casino Online | poker uang asli | Bandar Slot Terpercaya
    sundul77.com Adalah Situs Agen Bola Terbaik | Judi Casino Online | poker uang asli | Bandar Slot Terpercaya, Game Slot Mesin, Agen Sbobet, Agen Ibcbet, Agen Mansion88 sundul77 Merupakan Salah Satu Bandar Bola, Bandar Casino, Poker Online Terpercaya IDNSPORT. Kelebihan Bandar Bola Terbesar www.sundul77.com Desain Website Menarik, Live Casino Online 24 Jam Non-Stop Bersama Dealer Eropa & Dealer Asia..
    Situs Agen Bola Terbaik | Judi Casino Online | poker uang asli | Bandar Slot Terpercaya, Game Slot Mesin, Agen Sbobet, Agen Ibcbet, Agen Mansion88
    Bolagaming mempunyai tim berpengalaman dalam melayani setiap member yang bergabung di situs judi taruhan bola terbaik ini. Kami menyediakan customer service online 24 jam yang akan menemani anda dan membantu memberikan arahan kepada anda agar mudah saat melakukan pendaftaran. Anda bisa memilih jenis permainan judi taruhan online apa saja sesuai keinginan anda.
    Ayo Bergabung Bersama Situs Judi Taruan Bola Terlengkap Bolagaming
    situs agen bola terbaik,judi casino online,poker uang asli,poker uang asli,agen ibcbet

    ReplyDelete