Bendera Negara Khilafah |
24 Dec 2017
Haram Berdiam Diri Dari Menegakkan Khilafah Dengan Alasan Menunggu Imam Mahdi
Posted on 01:51 by Unknown
Dalam kitab “Masâil
Fiqhiyyah Mukhtârah”, cetakan
kedua (2008), karya Syaikh Abu Iyas Mahmud Abdul Lathif bin Mahmud (Uwaidhah),
terdapat jawaban atas pertanyaan seputar Imam Mahdi dan aktivitas untuk
menegakkan Khilafah. Mengingat pentingnya masalah ini, maka tulisan ini kami
persembahkan kepada para pengunjung situs agar semua dapat mengambil faedah
darinya, in sya’ Allah, jika Allah SWT berkehendak.
Pertanyaannya:
Tidak sedikit di antara kaum Muslim—khususnya mereka yang masih kental dengan
kehidupan beragama—yang menyakini bahwa Khilafah akan kembali tegak. Dan
Khilafah yang akan tegak kembali itu adalah Khilafah ‘ala minhaji an-nubuwah,
Khilafah yang sesuai dengan metode kenabian, yang mereka maksudkan dengan itu
adalah Khilafah Rasyidah. Namun, aku tidak melihat mereka itu melakukan aktivitas
untuk menegakkan Khilafah ini. Apabila mereka ditanya tentang alasan mengapa
mereka berdiam diri (tidak melakukan) aktivitas menegakkan Khilafah, maka
mereka menjawab bahwa Imam Mahdi-lah kelak yang akan menegakkannya. Dan sebelum
datangnya Imam Mahdi, Khilafah tidak akan pernah tegak. Oleh karena itu, tidak
perlu menyeru mereka untuk beraktivitas menegakkan Khilafah. Sehingga,
pertanyaannya: Apakah Khilafah akan tegak secara nyata; dan apakah Imam Mahdi
yang akan menegakkannya?
Jawab:
Sesungguhnya pernyataan bahwa Khilafah akan tegak adalah pernyataan yang benar,
yang ditunjukkan oleh banyak sekali hadits dari Nabi SAW, dan hadits-hadits itu
semuanya shahih atau hasan. Mengingat, hadits-hadits itu tidak ada yang
mutawatir, maka masalah ini tidak boleh dijadikan sebagai sebuah keyakinan.
Sehingga, pernyataan bahwa kaum Muslim meyakini bahwa Khilafah akan tegak
adalah pernyataan yang tidak benar. Sebab, keyakinan itu harus dibangun
berdasarkan ayat Al-Qur’an atau hadits mutawatir. Sementara berdirinya Khilafah
terdapat dalam hadits-hadits shahih dan hasan, bukan hadits mutawatir.
Sehingga, tidak boleh menjadikan berdirinya kembali Khilafah sebagai sebuah
keyakinan. Namun, kami membenarkan akan berdirinya kembali Khilafah dengan
pembenaran yang tidak pasti; kami katakan bahwa Khilafah akan tegak kembali
dengan izin Allah. Berikut ini hadits-hadits terkait masalah tersebut:
Pertama.
Dari Sauban radhiyallahu ‘anhu berkata: Bersabda Rasulullah SAW:
إِنَّ اللهَ
زَوَى لِي اْلأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِي
سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا
“Sesungguhnya
Allah telah mengumpulkan (memperlihatkan) bumi kepadaku. Sehingga, aku melihat
bumi mulai dari ujung Timur hingga ujung Barat. Dan umatku, kekuasaannya akan
meliputi bumi yang telah dikumpulkan (diperlihatkan) kepadaku….” (HR. Muslim,
Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi).
Sabda
beliau, “umatku, kekuasaannya akan meliputi bumi yang telah dikumpulkan
(diperlihatkan) kepadaku” belum terrealisasikan hingga sekarang. Sebab, kaum
Muslim belum pernah menguasai bumi mulai ujung Timur hingga ujung Barat hingga
sekarang. Dan ini akan terjadi di masa yang akan datang. Sehingga ini menjadi
isyarat akan berdirinya negara bagi kaum Muslim yang akan menaklukkan bumi
mulai dari ujung Timur bumi hingga ujung Baratnya.
Kedua. Dari
Ibnu Umar radhiyallahu ’anhu berkata: Aku telah mendengar Rasulullah SAW
bersabda:
إِذَا
تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ
بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا
يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
”Jika kalian
telah berjual-beli dengan cara ’înah (penjualan secara kredit dengan tambahan
harga); dan kalian telah mengambil ekor sapi, lalu kalian (lebih) suka bertani,
hingga kalian meninggalkan jihad, maka (ketika itu) Allah menimpakan kepada
kalian kehinaan, Allah tidak akan mecabutnya sampai kalian kembali ke agama
kalian.” (HR. Abu Dawud)
Sabda
beliau, ”sampai kalian kembali ke agama kalian” artinya adalah sampai kalian
kembali melaksanakan ajaran agama, dan menerapkannya untuk semua urusan
kehidupan kalian. Dengan demikian, hadits ini merupakan bisyârah (kabar
gembira) dari Rasulullah SAW bahwa kaum Muslim akan kembali lagi menerapkan
agamanya secara kâffah, menyeluruh, setelah sebelumnya mereka meninggalkannya.
Ketiga. Dari
Abu Qabil yang berkata: Kami berada di sisi Abdullah bin Amr bin Al-Ash
radhiyallahu ’anhu. Lalu, ia ditanya tentang manakah di antara dua kota yang
akan ditaklukkan pertama, Konstantinopel atau Roma. Kemudian ia mengambil kotak
yang ada hiasannya, ia mengeluarkan surat dari katak tersebut, ia berkata:
Abdullah Berkata, ”Pada saat kami sedang menulis di sisi Rasulullah SAW,
tiba-tiba Rasulullah SAW ditanya, manakah di antara dua kota yang akan
ditaklukkan pertama, Konstantinopel atau Roma. Rasulullah SAW bersabda:
مَدِينَةُ
هِرَقْلَ تُفْتَحُ أَوَّلاً يَعْنِي قُسْطَنْطِينِيَّةَ
”Kota
Heraklius yang akan ditaklukkan pertama—yakni Konstantinopel.” (HR. Ahmad)
Ketika
Rasulullah SAW ditanya tentang penaklukkan dua kota, Konstantinopel dan
Rumiyah—yaitu Roma ibu kota Italia—beliau tidak menafikan (membantah)
penaklukkan Roma. Namun beliau hanya mengatakan bahwa Konstantinopel akan
ditaklukkan pertama. Ini menunjukkan bahwa Roma akan ditaklukkan setelahnya.
Sementara hingga saat ini, Roma belum ditaklukkan oleh kaum Muslim. Dengan
demikian, hadits ini merupakan bisyârah (kabar gembira), bahwa kaum Muslim akan
menaklukkan ibu kota Italia tersebut. Dan tidak terbayangkan bahwa kaum Muslim
akan menaklukkannya sebelum kembalinya Khilafah yang menghidupkan kembali jihad
di jalan Allah dan penaklukkan kota (melakukan futuhat).
Keempat.
Dari Nu’man bin Basyir, dari Hudzaifah radhiyallahu ’anhu berkata: Rasulullah
SAW bersabda:
تَكُونُ
النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا
شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ
أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ
يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا
جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا
شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
ثُمَّ سَكَتَ
“Akan ada
fase kenabian di tengah-tengah kalian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap
ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya.
Kemudian akan ada fase Khilafah berdasarkan metode kenabian. Dengan kehendak
Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak
untuk mengakhirinya. Kemudia akan ada fase penguasa yang zalim. Dengan kehendak
Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak
untuk mengakhirinya. Lalu akan ada fase penguasa diktator. Dengan kehendak
Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak
untuk mengakhirinya. Selanjutnya akan datang kembali Khilafah berdasarkan
metode kenabian. Kemudian belia SAW diam.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani)
Hadits ini
menjelaskan bahwa Khilafah akan tegak kembali setelah fase penguasa yang zalim
(mulkan ’adhan), dan fase penguasa diktator (mulkan jabariyan). Dan Khilafah
yang akan tegak itu adalah Khilafah ‘ala minhaji an-nubuwah, Khilafah yang sesuai
dengan metode kenabian, yakni Khilafah yang menilai dirinya seperti Khilafah
pada masa Khulafaur Rasyidin. Sehingga dengan izin Allah, Khilafah yang akan
tegak adalah Khilafah Rasyidah. Inilah jawaban untuk pertanyaan masalah
pertama. Sedangkan jawaban untuk pertanyaan masalah kedua adalah sebagai
berikut:
Sesungguhnya,
sekalipun hadits-hadits an-nabawiyah asy-syarîfah menyebutkan bahwa Al-Mahdi
akan menegakkan Khilafah, maka hal ini tidak menunjukkan bahwa kaum Muslim
wajin menunggu Al-Mahdi sampai Al-Mahdi mendirikan Khilafah untuk mereka. Apa
yang diwajibkan atas mereka tetap wajib, yaitu menegakkan Khilafah. Menegakkan
Khilafah di samping wajib atas Al-Mahdi, wajib pula atas kaum Muslim selain
dia. Sehingga, mereka yang masih kental dengan kehidupan beragama, seperti yang
digambarkannya, tidak punya hujjah (alasan) yang dapat mereka jadikan dasar
untuk berdiam diri, tidak beraktivitas untuk menegakkan Khilafah, hanya dengan
mengajukan pernyataan bahwa Al-Mahdi yang akan menegakkan Khilafah, sebagaimana
hal itu tampak dengan jelas. Oleh karena itu, mereka yang masih beragama, namun
berdiam diri, tidak beraktivitas menegakkan Khilafah, maka mereka berdosa,
akibat sikapnya yang berdiam diri, tidak berbuat apa-apa, dan Allah juga akan
meminta pertanggungjawaban mereka atas sikap diamnya ini. Konsekwensinya, jika
mereka mati sebelum tegaknya Khilafah, maka ia mati seperti matinya kaum
jahiliyah (mati dalam keadaan berdosa). Sebab, ada riwayat dari Abdullah bin
Umar radhiyallahu ’anhu yang berkata: Aku telah mendengar Rasulullah SAW
bersabda:
مَنْ خَلَعَ
يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ
مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Siapa saja
yang melepaskan ketaatan, maka ia akan bertemu Allah pada hari kiamat tanpa
memiliki hujjah. Dan siapa saja yang meninggal sedang di pundaknya tidak ada
baiat, maka ia mati seperti mati jahiliyah (dalam keadaan berdosa).” (HR.
Muslim).
Sementara
itu, orang yang selamat dari mati jahiliyah adalah orang-orang yang
beraktivitas menegakkan Khilafah. Oleh karena itu, wahai orang-orang yang masih
beragama waspadalah agar jangan sampai kalian mati jahiliyah, yang tentu kalian
tidak menginginkannya. Ini yang pertama.
Kedua,
sesungguhnya hadits-hadits an-nabawiyah asy-syarîfah tidak secara mutlak
menyebutkan bahwa Al-Mahdi yang akan menegakkan Khilafah, karena banyak sekali
hadits yang meriwayatkannya. Sedangkan, masing-masing hadits yang disebutkan
semuanya menunjukkan bahwa Al-Mahdi adalah seorang Khalifah yang baik dan
memerintah dengan adil. Misalnya sabda Rasulullah SAW:
الْمَهْدِيُّ
مِنِّي أَجْلَى الْجَبْهَةِ أَقْنَى اْلأَنْفِ يَمَْلأُ اْلأَرْضَ قِسْطًا
وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا وَظُلْمًا يَمْلِكُ سَبْعَ سِنِينَ
“Al-Mahdi
itu dari keturunanku, wajahnya tampan, dan hidungnya mancung. Ia akan memenuhi
bumi dengan kebaikan dan keadilan. Dimana sebelumnya, bumi dipenuhi dengan
kekejaman dan ketidak adilan. Dan ia berkuasa selama tujuh tahun.” (HR. Abu
Dawud)
Sehingga,
dalam hal ini, nama nash yang mereka jadikan dalil bahwa Al-Mahdi yang akan
menegakkan Khilafah? Justru kami memiliki nash yang menolak pemahaman bahwa
Al-Mahdi yang akan menegakkan Khilafah. Dan nash ini menjelaskan bahwa Al-Mahdi
akan menjadi Khalifah setelah meninggalnya Khalifah sebelumnya. Sehingga, ini
menegaskan bahwa Khilafah akan tegak sebelum Al-Mahdi menjadi Khalifah.
Al-Mahdi adalah Khalifah yang menggantikan Khalifah sebelumnya dalam daulah
Khilafah Rasyidah yang—tidak lama lagi—akan datang (berdiri) dengan izin Allah.
Sekali lagi, ini menegaskan bahwa Al-Mahdi bukan orang yang menegakkan
Khilafah. Dengan begitu, gugurlah hujjah (alasan) mereka untuk berdiam diri,
tidak beraktivitas, dan hanya menunggu Al-Mahdi, yang menurut klaim mereka
bahwa Al-Mahdi inilah yang akan menegakkan Khilafah untuk mereka.
Diriwayatkan
bahwa Ummu Salamah radhiyallahu ’anha berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda:
يَكُونُ
اخْتِلافٌ عِنْدَ مَوْتِ خَلِيْفَةٍ فَيَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي هَاشِمٍ
فَيٌّاتِي مَكَّةَ، فَيَسْتَخْرِجُهُ النَّاسُ مِنْ بَيْتِهِ بَيْنَ الرُّكْنِ
وَالمَقَامِ، فَيُجَهَّزُ إليهِ جَيْش مِنَ الشَّامِ حَتَّى إذَا كَانُوا
بالبَيْدَاءِ خُسِفَ بِهِمْ، فَيَأتِيْهِ عَصَائِبُ العِرَاقِ وأبْدَالُ الشَّامِ:
ويَنْشئا رَجُلٌ بالشَّامِ أَخْوالُهُ مِنْ كَلْبٍ، فَيُجَهَّزُ إليهِ جَيْش،
فَيَهْزِمُهُمُ الله، فَتَكُونُ الدَّائِرَةُ عَلَيْهِمْ، فَذَلِكَ يَوْمُ كَلْبٍ،
الخَائِبُ مَنْ خَابَ مِنْ غَنِيْمَةِ كَلْبٍ، فَيَسْتَفْتِحُ الكُنُوزَ،
وَيَقْسِمُ أَلامْوَالَ وَيُلْقِي إلاسْلاَمُ بِجَرَانِهِ ِإلى أَلارْضِ،
فَيَعِيْشُونَ بِذَلِكَ سَبْعَ سِنينَ أو قال: تِسْعَ.
“Terjadi
perselisihan ketika meninggalnya seorang Khalifah. Kemudian, seorang dari Bani
Hasyim (Al-Mahdi) keluar pergi ke Makkah. Masyarakat membawanya (Al-Mahdi)
keluar rumah menuju antara ar-rukn (hajar aswad) dan al-maqâm (maqam Ibrahim
‘alaihissalam). Sementara, dari Syam telah disiapkan pasukan untuk
menyerangnya, namun ketika mereka berada di al-Baida’ (sebuah tempat antara
Makkah dan Madinah), mereka semua ditenggelamkan (oleh Allah). (Melihat
karamahnya itu), beberapa kelompok dari Irak, dan para wali (Abdal) dari Syam
mendatanginya (untuk berbaiat). Seseorang di Syam yang ibunya dari Bani Kalb,
menyiapkan pasukan untuk menyerangnya, kemudian Allah-pun mengalahkan mereka,
sehingga bencana pun menimpa mereka, maka hari itu merupakan hari kekalahan
bagi Bani Kalb. Bahkan, orang yang menyesal adalah orang yang tidak berhasil
mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) Bani Kalb. Kemudian, ia (Al-Mahdi)
membuka berbagai harta simpanan, membagi-bagi harta, menyampaikan
(mendakwahkan) Islam ke wilayah-wilayah sekitarnya. Masyarakat hidup bersama
(Al-Mahdi) itu selama tujuh tahun, atau sembilan tahun.” (HR. Ath-Thabarani
dalam Al-Ausath, Al-Haitsami menyebutnya dalam Majma’uz Zawâij, ia berkata
“semuanya rawinya adalah para rawi yang shahih).
Hadits ini
disepakati oleh para rawi hadits dan pensyarahnya bahwa Khalifah yang dimaksud
dalam hadits ini adalah Al-Mahdi (Imam Mahdi). Hadits ini merupakan nash yang
sharîh (gamblang) bahwa Khalifah (Imam Mahdi) ini datang menggantikan Khalifah
sebelumnya, “Terjadi perselisihan ketika meninggalnya seorang Khalifah.
Kemudian, seorang dari….” Dengan demikian, Imam Mahdi bukan orang yang akan
menegakkan Khilafah, dan ia juga bukan Khalifah pertama dalam negara Khilafah
Rasyidah—yang tidak lama lagi—akan tegak dengan izin Allah. Sehingga yang
tersisa di depan setiap orang Muslim adalah kekhawatiran dan ketakutan dari
mati jahiliyah, mati dalam keadaan berdosa. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain,
selain bangkit dengan penuh semangat beraktivitas untuk menegakkan kembali
Khilafah, dan mengangkat seorang Khalifah. Wallahu a’lam bish-shawab.(www. http://www.al-aqsa.org)
20 Feb 2016
BAGAIMANA KELOMPOK MINORITAS DALAM NEGARA KHILAFAH?
Posted on 09:00 by Unknown
Islam adalah satu-satunya agama yang benar, sesuai dengan fitrah dan
akal manusia. Islamlah satu-satunya agama yang juga diridhai oleh Allah
SWT. Namun, demikian ketika Islam hendak diyakini oleh umat manusia,
maka Allah tidak memaksakan keyakinan tersebut kepada mereka. Allah SWT
pun berfirman, “La ikrâha fî ad-dîn [tidak ada paksaan dalam memeluk agama].” [TQS al-Baqarah: 256].
Karena itu, wajar ketika Islam diemban ke seluruh penjuru dunia,
Islam tidak memberangus agama dan keyakinan masyarakatnya. Agama dan
keyakinan mereka tetap diberi tempat di sana. Karenanya, bisa dikatakan,
bahwa Islam benar-benar menjaga hak dasar manusia dalam beragama,
sesuai dengan keyakinannya. Dalam surat Nabi SAW kepada wali Yaman
dinyatakan, “Siapa saja yang masuk Islam dari kalangan Yahudi atau
Nasrani, mereka adalah orang-orang Mukmin. Mereka tetap berhak atas
harta dan apa saja yang mereka miliki. Sedangkan siapa saja yang tetap
memeluk Yahudi atau Nasrani, maka janganlah dihasut [dibujuk] agar
meninggalkan agamanya.” [Abu Ubaid, al-Amwal, hal. 24]
Ketika orang Yahudi, Nasrani atau musyrik, tidak bersedia memeluk
Islam, asalkan mau tunduk kepada Negara Islam, maka mereka tetap
dibiarkan memeluk agamanya. Mereka dibiarkan berpakaian mengikuti
kebiasaan agama mereka, seperti baju bagi biarawati, pendeta, paus dan
sebagainya. Mereka juga dibiarkan untuk makan dan minum yang dibolehkan
oleh agama mereka. Mereka juga dibiarkan menikah dan bercerai menurut
agama mereka. Inilah hak-hak mereka yang diberikan, dan dijaga oleh
Negara Islam sejak zaman Nabi hingga Khilafah yang terakhir.
Karena itu, harta, darah dan kehormatan [isteri dan anak perempuan]
mereka dijaga oleh Islam. Bahkan, ketika harta, darah dan kehormatan itu
dilanggar oleh orang Islam sekalipun, maka Negara akan menjaga dan
menindak pelakunya. Nabi pernah bersabda, “Siapa saja yang membunuh orang yang terikat dengan perjanjian, maka dia tidak dibenarkan mencium bau surga.” [HR Bukhari]. Dalam riwayat lain, “Siapa
saja yang berbuat zalim kepada orang yang terikat perjanjian,
mengurangi hak-hak mereka, memberikan beban di luar batas, merampas
sesuatu darinya dengan paksaan, maka kelak aku pada Hari Kiamat akan
menjadi penuntut baginya.” [HR Abu Dawud]
Dalam Perang Khaibar terjadi peristiwa yang menarik untuk dijadikan
pelajaran. Ketika itu, ‘Abdullah bin Sahal al-Anshari terbunuh di
wilayah Yahudi. Kemungkinan besar pembunuhnya adalah orang Yahudi.
Tetapi, tidak ada bukti yang menguatkan dugaan tersebut. Karena itu,
Nabi saw. tidak memberikan sanksi apapun terhadap orang Yahudi. Nabi SAW
hanya meminta mereka bersumpah, bahwa mereka tidak membunuhnya. Meski
orang-orang Anshar enggan menerima sumpah mereka, tetapi Rasulullah SAW
tetap meminta mereka bersumpah.
Setelah itu, Nabi SAW mengeluarkan diyat untuk Sahal bin Abi
Haritsah, dengan 100 unta kepada keluarga Sahal. Sedangkan terhadap
orang Yahudi, Nabi SAW pun enggan menumpahkan darah mereka. Padahal,
Sahal adalah sahabat Nabi, sedangkan lawannya adalah Yahudi, yang nota bene bukan Muslim. Tetapi, di situlah keadilan Islam.
Inilah tuntunan yang kemudian dijadikan pedoman oleh generasi
berikutnya, para Khalifah setelah baginda SAW. Karena itu, orang-orang
non-Muslim pun menikmati hidup yang lebih baik di dalam naungan Khilafah
Islam, ketimbang hidup mereka di bawah Romawi, Persia maupun emperium
yang lainnya.[]har
Sumber: Tabloid Mediaumat edisi 166
Categories: Tsaqofah
17 Feb 2016
HUKUM SYARIAH
Posted on 04:54 by Unknown
Imam al-Ghazali di dalam Al-Mustashfâ fî ‘Ilmi al-Ushûl menyatakan, ushûl al-fiqh
merupakan ungkapan tentang dalil-dalil hukum syariah dan tentang
pengetahuan arah penunjukkan dalil atas hukum secara global, bukan aspek
rinciannya. Maksud yang dituju adalah mengetahui tatacara mengekstrak
hukum-hukum dari dalil-dalil. Karena itu wajib menelaah hukum, dalil dan
bagian-bagiannya; tatacara ekstraksi hukum dari dalil, kemudian sifat
orang yang mengekstrak yang mampu mengekstrak hukum dari dalil.
Jadi, ushul fikih tidak membahas tentang
masalah ushul, yakni akidah, tetapi membahas hukum-hukum syariah dari
sisi asas yang menjadi landasan bangunan hukum syariah, bukan dari sisi
masalah-masalah yang dicakup oleh hukum tersebut. Karena itu harus ada
pengetahuan tentang hakikat hukum syariah ketika membahas tentang
pengetahuan dalil-dalil syariah.
Pembahasan tentang hukum setidaknya mencakup pembahasan tentang siapakah Al-Hâkim itu, tentang al-mahkûm ‘alayhi
yakni siapa yang dibebani dengan hukum syariah dan tentang hukum
syariah itu sendiri. Pada edisi sebelumnya telah dibahas tentang Al-Hâkim dan al-mahkûm alayhi. Adapun pembahasan tentang hukum syariah itu setidaknya mencakup definisinya, hakikatnya, jenisnya dan bagiannya.
Menurut Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi di dalam Bahr al-Muhîth, al-hukmu secara bahasa berarti al-man’u wa ash-sharfu (penghalang dan pemalingan). Dari situlah muncul istilah al-hakamah untuk menyebut belenggu besi. Al-Hukmu juga bisa bermakna al-ihkâm (ketepatan, ketelitian, akurasi). Dari dari kata itu juga diambil kata Al-Hakîm (Maha Bijaksana) dalam hal sifat Allah SWT.
Adapun secara istilah menurut para ulama ushul fikih, al-hukmu asy-syar’i didefinisikan sebagai khithâb asy-Syâri’ al-muta’allaqu bi af’âli al-‘ibâd bi al-iqtidhâ` aw at-takhyîr aw al-wadh’i (seruan Asy-Syâri’ berkaitan dengan perbuatan hamba berupa seruan al-iqtidhâ’ (yakni tuntutan), at-takhyîr (pilihan) atau al-wadh’u. Asy-Syâri’, yakni Al-Hâkim, adalah Allah SWT. Karena itu seruan (khithâb) Asy-Syâri’ adalah seruan Allah SWT.
Makna dari hukum yang dikeluarkan oleh Al-Hâkim
adalah penilaian terpuji atau tercela atau tidak terpuji dan tidak pula
tercela terhadap suatu perbuatan atau sesuatu. Maksud dari hal itu
adalah untuk menentukan sikap manusia apakah melakukan, atau tidak
melakukan atau dia boleh memilih melakukan atau tidak melakukan suatu
perbuatan; dan menentukan sikap manusia apakah mengambil atau tidak
mengambil sesuatu.
Informasi tentang penilaian terpuji atau tercela atau tidak terpuji dan tidak tercela itulah yang dimaksudkan dengan khithâb. Khithâb
Allah, meskipun itu merupakan pengarahan atau penginformasian apa yang
diinformasikan kepada orang yang mendengar atau yang pada posisi itu—di
mana itu menimpakan seruan untuk sesuatu yang ada yang mungkin untuk
dipahami—adalah apa yang diinformasikan itu sendiri, bukan
pengarahan/penginformasian apa yang diinformasikan. Jadi khithâb
itu adalah apa yang diinformasikan itu sendiri. Lalu penginformasian
itu menggunakan lafal-lafal sehingga dipahami oleh yang diberi seruan.
Namun, seruan itu bukan pengarahan atau penginformasian apa yang
diinformasikan. Karena itu seruan itu tidak lain adalah makna-makna yang
dikandung oleh lafal dan kalimat.
Dikatakan khithâb asy-Syâri’, bukan dikatakan khithâbulLâh, agar bisa mencakup as-Sunnah dan Ijmak Sahabat dari sisi bahwa keduanya menunjukkan atas khithâb.
Dengan begitu tidak akan dirancukan bahwa yang dimaksudkan adalah
al-Quran saja. Sebab, as-Sunnah merupakan wahyu dari Allah SWT, jadi itu
merupakan khithâb (seruan) Allah. Adapun Ijmak Sahabat menyingkap adanya dalil dari as-Sunnah, Jadi, Ijmak Sahabat juga merupakan khithâb (seruan) Asy-Syâri’.
Terkait ungkapan al-muta’allaqu bi af’âli al-‘ibâd (berkaitan dengan perbuatan seorang hamba), maka batasan al-muta’allaqu bi af’âl
itu juga mengeluarkan seruan-seruan yang tidak berkaitan dengan
perbuatan, misalnya seruan berupa berita murni, atau berkaitan dengan
masalah iman. Yang demikian tidak termasuk dalam cakupan hukum syariah.
Batasan al-muta’allaqu bi af’âl
bukan berarti hanya mencakup seruan tentang perbuatan itu sendiri,
tetapi juga mencakup sesuatu yang digunakan oleh hamba ketika
melangsungkan perbuatannya. Dengan demikian batasan tersebut juga
meliputi hukum asyyâ‘ (sesuatu/benda).
Dikatakan al-muta’allaqu bi af’âl al-‘ibâd dan tidak dikatakan al-muta’allaqu bi af’âli al-mukallafîn
(berkaitan dengan perbuatan para mukallaf) supaya definisi hukum
syariah itu mencakup hukum-hukum berkaitan dengan anak kecil dan orang
gila seperti hukum zakat pada harta keduanya. Batasan ini juga
mengeluarkan seruan Allah SWT yang tidak berkaitan dengan perbuatan
manusia, misalnya ikhbâr (pemberitaan) dari Allah SWT tentang perbuatan Allah SWT sendiri.
Batasan al-muta’allaqu bi al-iqtidhâ‘ maknanya adalah berkaitan dengan seruan berupa thalab (tuntutan). Sebab, makna al-iqtidhâ‘ adalah ath-thalab. Thalab (tuntutan) ada dua jenis: thalab li al-fi’li (tuntutan untuk melakukan perbuatan) dan thalab li at-tarki
(tuntutan untuk meninggalkan perbuatan). Kedua jenis tuntutan itu masih
terbagi lagi dari sisi intensitas atau sifat tuntutannya menjadi
tuntutan yang tegas atau pasti (jâzim) dan tidak tegas yakni tidak pasti (ghayru jâzim).
Tuntutan untuk melakukan perbuatan itu
bersifat tegas/pasti, artinya perbuatan itu harus dilakukan dan tidak
boleh ditinggalkan. Itulah yang disebut fardhu atau wâjib. Adapun tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan itu tidak tegas atau tidak pasti (ghayru jâzim),
artinya perbuatan itu tidak harus dilakukan dan jika ditinggalkan tidak
ada masalah, namun adanya tuntutan itu menunjukkan lebih dikuatkan agar
dilakukan. Thalab li al-fi’li yang ghayru jâzim itulah yang disebut mandûb atau sunnah.
Adapun tuntutan untuk meninggalkan (thalab li at-tarki) suatu perbuatan, jika tuntutan itu bersifat tegas (jâzim)
atau pasti, maknanya perbuatan itu harus ditinggalkan dan tidak boleh
dilakukan. Itulah yang dimaksudkan sebaga haram. Sebaliknya, jika
tuntutan untuk meninggalkan perbuatan itu bersifat tidak tegas atau
tidak pasti maka perbuatan itu tidak harus ditinggalkan dan jika
dilakukan maka tidak ada masalah, namun adanya tuntutan untuk
meninggalkan itu menunjukkan lebih dikuatkan agar ditinggalkan. Thalab li at-tarki yang ghayru jâzim itu yang disebut makruh.
Dengan demikian khithâb asy-Syâri’ al-muta’allaqu bi af’âli al-‘ibâd bi al-iqtidhâ` itu meliputi empat hukum syariah yaitu: fardhu atau wajib; sunnah atau mandûb; haram; makruh.
Adapun al-muta’allaqu bi at-takhyîr (berkaitan dengan pilihan) maknanya seruan Asy-Syâri’
itu memberikan pilihan kepada hamba untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu perbuatan. Jadi, seruan yang demikian bermakna hukum
mubah.
Kelima hukum ini—yakni fardhu, mandûb,
haram, makruh dan mubah—semuanya berkaitan dengan taklif yang diberikan
kepada hamba. yakni berkaitan dengan status taklif itu. Para ulama
menyebut khithâb demikian sebagai khithâb at-taklîf.
Adapun khithâb asy-Syâri’ al-muta’allaqu bi al-wadh’i (status, kondisi) maka itu adalah khithâb yang berkaitan dengan al-wadh’u (status dan kondisi) hukumnya. Para ulama menyebut itu sebagai khithâb al-wadh’i. Bisa dikatakan, khithâb al-wadh’i itu adalah hukumnya hukum.
Khithâb al-wadh’i itu meliputi khithâb yang menjadikan sesuatu sebagai sabab (sebab); mâni’ (penghalang); syarat; sah, batil dan fasad; serta ‘azimah dan rukhshah. Misal, khithâb asy-Syâri’ menjadikan tergelincirnya matahari sebagai penanda kewajiban shalat zhuhur, yakni menjadi sebab shalat zhuhur. Khithâb asy-Syâri’
menjadikan najis sebagai penghalang dari pelaksanaan shalat. Semua itu,
meski merupakan pertanda untuk hukum-hukum, namun semuanya merupakan
hukum, yakni hukumnya hukum. Sebab, Asy-Syâri’ menjadikan
tergelincirnya matahari sebagai penanda kewajiban adanya shalat zhuhur.
Asy-Syâri’ menjadikan najis sebagai penanda batilnya shalat. Tidak ada
makna keberadaan tergelincirnya matahari yang mewajibkan shalat kecuali
itu bermakna thalab (tuntutan) melakukan shalat. Tidak ada makna adanya najis itu membatalkan shalat kecuali itu bermakna sebagai thalab (tuntutan) untuk meninggalkan shalat ketika ada najis. Begitu juga ketika Asy-Syâri’ menjadikan sesuatu sebagai syarat; menjadikan status hukum sebagia sah, batil dan fasad, menjadikan sesuatu sebagai ‘azimah dan rukhshah. Pada hakikatnya semua itu merupakan khithâb dari Asy-Syâri’ yang berkaitan dengan perbuatan hamba dari sisi status dan kondisi perbuatan itu.
Dari semua itu, definisi hukum syariah—yaitu khithâb asy-Syâri’ yang berkaitan dengan perbuatan hamba berupa tuntutan (iqtidhâ‘) atau pilihan (takhyîr) atau status dan kondisi (al-wadh’u) itu telah mencakup dua jenis khithâb: Pertama, khithâb at-taklîf yaitu wajib, mandûb, haram, makruh dan mubah. Kedua, khithâb al-wadh’i yaitu yang berupa sebab; syarat; sah, batil dan fasad; serta menjadikan sesuatu sebagai ‘azimah atau rukhshah.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]
Categories: Fiqh Islam
1 Sept 2015
Soal Jawab: Hukum Demonstrasi dan Hadits Keluarnya Kaum Muslim dalam Dua Shaf
Posted on 02:15 by Unknown
بسم الله الرحمن الرحيم
Silsilah Jawaban asy-Syaikh
al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas
Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fiqhiyah”
Demonstrasi dan Long March dan Hadits Keluarnya Kaum Muslim dalam Dua Shaf
Pertanyan:Kepada Moadh Seif Elmi
Syaikhuna al-fadhil, assalamu ‘alaikum… Apakah hadits keluarnya kaum Muslim dalam dua barisan dimana pada kepala masing-masing barisan adalah Umar dan Hamzah adalah hadits dha’if, terima kasih?
Kepada Andalusi Maqdisi Andalus
Assalamu ‘alaikum, syaikhuna al-fadhil.
Dalam jawab soal Anda tentang demonstrasi, Anda berdalil dengan hadits “Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah bin Ahmad bin Ishaq bin Musa bin Mahran al-Ashbahani (w. 430 H) dalam kitabnya Hilyatu al-Awliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’ dari Ibn Abbas, ia berkata: aku bertanya kepada Umar ra.:
لِأَيِّ شَيْءٍ سُمِّيتَ الْفَارُوقَ؟ قَالَ: أَسْلَمَ حَمْزَةُ قَبْلِي بِثَلَاثَةِ أَيَّامٍ، ثُمَّ شَرَحَ اللهُ صَدْرِي لِلْإِسْلَامِ… قلت: أَيْنَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم؟، قَالَتْ أُخْتِي: هُوَ فِي دَارِ الْأَرْقَمِ بْنِ الْأَرْقَمِ عِنْدَ الصَّفَا، فَأَتَيْتُ الدَّارَ… فَقُلْتُ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، قَالَ: فَكَبَّرَ أَهْلُ الدَّارِ تَكْبِيرَةً سَمِعَهَا أَهْلُ الْمَسْجِدِ، قَالَ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَلَسْنَا عَلَى الْحَقِّ إِنْ مُتْنَا وَإِنْ حَيِينَا؟ قَالَ: «بَلَى وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّكُمْ عَلَى الْحَقِّ إِنْ مُتُّمْ وَإِنْ حَيِيتُمْ»، قَالَ: فَقُلْتُ: فَفِيمَ الِاخْتِفَاءُ؟ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَتَخْرُجَنَّ، فَأَخْرَجْنَاهُ فِي صَفَّيْنِ، حَمْزَةُ فِي أَحَدِهِمَا، وَأَنَا فِي الْآخَرِ، لَهُ كَدِيدٌ كَكَدِيدِ الطَّحِينِ، حَتَّى دَخَلْنَا الْمَسْجِدَ، قَالَ: فَنَظَرَتْ إِلَيَّ قُرَيْشٌ وَإِلَى حَمْزَةَ، فَأَصَابَتْهُمْ كَآبَةٌ لَمْ يُصِبْهُمْ مِثْلَهَا، فَسَمَّانِي رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَوْمَئِذٍ الْفَارُوقَ، وَفَرَّقَ اللهُ بَيْنَ الْحَقِّ وَالْبَاطِلِ
“Karena apa engkau disebut al-Faruq?” Umar berkata: “Hamzah masuk Islam tiga hari sebelumku, kemudian Allah melapangkan dadaku untuk Islam… Aku berkata: “dimana Rasulullah saw? Saudara perempuanku berkata: “beliau di rumah al-Arqam bin al-Arqam di bukit Shafa”, maka aku datang ke rumah itu… lalu aku berkata: “aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.” Umar berkata: “maka orang yang ada di rumah itu meneriakkan takbir sehingga terdengar oleh orang-orang di masjid.” Umar berkata: “lalu aku katakan: “ya Rasulullah saw, bukankah kita di atas kebenaran jika kita mati dan jika kita hidup? Beliau menjawab: “benar demi Zat yang jiwaku ada di genggaman tangannya, sungguh kalian berada di atas kebenaran jika kalian mati dan jika kalian hidup.” Umar berkata: “lalu aku katakan: “lalu kenapa sembunyi? Demi Zat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran sungguh kalian harus keluar. Maka kami keluar dalam dua barisan, Hamzah di salah satunya dan aku di barisan satunya lagi, ia memiliki garam halus seperti tepung, sampai kami masuk ke masjid.” Umar berkata: “lalu aku memandang kepada Quraisy dan kepada Hamzah, maka mereka ditimpa bencana yang semisalnya belum pernah menimpa mereka, maka Rasulullah saw pada saat itu menamaiku al-Faruq, dan Allah memisahkan antara yang haq dan yang batil.” Selesai.
Pada saat menelaah hadits tersebut, al-Albani menyebutkan bahwa itu mungkar dan didhaifkan oleh kebanyakan ahli hadits. Pertanyaanku: pertama, apakah boleh berdalil dengan hadits dha’if? Jika boleh, kapan kita berdalil dengannya dan bagaimana kita menghukuminya? Jika jawabannya tidak boleh, lalu apakah engkau punya takhrij selain yang disebutkan dalam pertanyaan ini? Semoga Allah memberi manfaat kepada kami dengan ilmumu. Semoga Allah memberkahimu dan memberikan kemenangan kepadamu. Abdullah asy-Syami.)
Jawab:
Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Dua pertanyaan tersebut topiknya sama. Karena itu, inilah jawaban kepada kalian berdua.
Saudaraku yang mulia, jika engkau membaca ada orang yang mendha’ifkan satu riwayat bukan berarti riwayat itu dhaif secara pasti. Misalnya, ada para syaikh yang mendhaifkan hadits-hadits di (Shahih) al-Bukhari dan Muslim, yakni mendhaifkan hadits-hadits yang ditakhrij oleh keduanya yang diambil oleh umat dengan penerimaan dan ketenteraman. Al-Bukhari dan Muslim sangat memperhatikan standar-standar besar dan agung dalam menshahihkan suatu riwayat baik secara sanad maupun matan… Meski demikian, ada orang yang mendhaifkan hadits-hadits yang ada di keduanya (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim)!
Benar, bahwa jika suatu hadits menjadi jelas dhaifnya maka tidak boleh beristidlal dengannya. Akan tetapi, kadang kala para ahli hadits atau sebagian dari mereka menyatakan suatu hadits adalah dhaif, sementara orang-orang yang lain menghukumi bahwa hadits itu hasan dan layak beristidlal dengannya. Siapa yang memiliki pengetahuan ilmu hadits dan ushulnya, ia mengetahui masalah ini. Masalah ini masyhur di kalangan ahli hadits, dan para mujtahid. Maka engkau temukan, yang ini berdalil dengan hadits ini sementara yang itu tidak berdalil dengannya… Kami telah menjelaskan masalah ini secara rinci dalam kitab kita asy-Syakhshiyyah juz pertama bab “al-Hadîts al-Maqbûl wa al-Hadîts al-Mardûd” dan bab “I’tibar al-Hadîts Dalîlan fî al-Ahkâmi asy-Syar’iyyati.”
Dan sekarang kami menjawab tentang keluarnya para sahabat di Mekah setelah keislaman Umar ra.:
- Riwayat yang dinyatakan di jawab soal, diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah bin Ahmad bin Ishaq bin Musa bin Mahran al-Ashbahani (w. 430 H) dalam kitabnya “Hilyatu al-Awliyâ’ wa Thabaqâtu al-Ashfiyâ’ “. Dan Abu Nu’aim seorang hafizh dan tsiqah. Az-Zarkali berkata tentangnya di A’lâm an-Nubalâ’:
Ia lahir dan meninggal di Ashbahan. Diantara karyanya: (Hilyatu al-Awliyâ’ wa Thabaqâtu al-Ashfiyâ’) sudah dicetak terdiri sepuluh juz, (Ma’rifatu ash-Shahâbah) besar, sebagiannya masih berupa manuskrip dalam dua jilid, berdasarkan itu qraah tahun 551 di perpustakaan Ahmad III di Thubuqbu Sarayi si Istanbul, nomor 497 seperti yang disebutkan dalam memoar al-Maymini – manuskrip, dan (Thabaqâtu al-Muhadditsin wa ar-Ruwât) dan (Dalâ`il an-Nubuwwah – dicetak) dan (Dzikru Akhbâr Ashbahân – dicetak) dua jilid dan kitab (asy-Syu’ara` -manuskrip), selesai.
Karena itu, dimungkinkan bersandar kepada riwayatnya tentang keluarnya kaum Muslimin dalam dua barisan setelah keislaman Umar.
- Meski demikian, itu bukan satu-satunya riwayat, akan tetapi ada riwayat-riwayat lain yang shahih.:
…عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَرْقَمِ، عَنْ جَدِّهِ الْأَرْقَمِ، وَكَانَ بَدْرِيًّا، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم آوَى فِي دَارِهِ عِنْدَ الصَّفَا حَتَّى تَكَامَلُوا أَرْبَعِينَ رَجُلًا مُسْلِمَيْنِ، وَكَانَ آخِرَهُمْ إِسْلَامًا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، فَلَمَّا كَانُوا أَرْبَعِينَ خَرَجُوا إِلَى الْمُشْرِكِينَ…
Dari Utsman bin Abdullah bin al-Arqam dari kakeknya al-Arqam, dan ia Badriyan, dan Rasulullah saw berlindung di rumahnya di bukit Shafa sampai genap empat puluh orang muslim, dan yang terakhir keislamannya adalah Umar bin al-Khaththab radhiyallâh ‘anhum. Ketika mereka empat puluh orang mereka keluar kepada orang-orang musyrik…
Al-Hakim berkata: “ini adalah hadits shahih sanadnya, tetapi al-Bukhari dan Muslim tidak mentakhrijnya” dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
– Di Thabaqât al-Kubrâ karya Ibn Sa’ad: ia berkata …. dari Yahya bin Imran bin Utsman bin al-Arqam, ia berkata; “aku mendengar kakekku Utsman bin al-Arqam mengatakan:
أَنَا اِبْنُ سَبْعَةِ فِي الْإِسْلاَمِ، أَسْلَمَ أَبِيْ سَابِعُ سَبْعَةِ، وَكَانَتْ دَارُهُ بِمَكَّةَ عَلَى الصَّفَا، وَهِيَ الدَّارُ الَّتِيْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكُوْنُ فِيْهَا أَوَّلَ الْإِسْلاَمِ، وَفِيْهَا دَعَا النَّاسَ إِلَى الْإِسْلاَمِ وَأَسْلَمَ فِيْهَا قَوْمٌ كَثِيْرٌ، وَقَالَ لَيْلَةَ الْاِثْنَيْنِ فِيْهَا: “اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلاَمَ بِأَحَبِّ الرَّجُلَيْنِ إِلَيْكَ: عُمَرِ بْنِ الْخَطَّابِ أَوْ عَمْرُو بْنِ هِشَامٍ” فَجَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مِنَ الْغَدِّ بُكْرَةً فَأَسْلَمَ فِي دَارِ الْأَرْقَمِ، وَخَرَجُوْا مِنْهَا فَكَبَّرُوْا وَطَافُوْا الْبَيْتَ ظَاهِرِيْنَ وَدُعِيَتْ دَارُ الْأَرْقَمِ دَارَ الْإِسْلاَمِ…
“Aku anak orang ketujuh di dalam Islam, bapakku masuk Islam sebagai orang ketujuh, rumahnya di Mekah di bukit shafa, dan itu adalah rumah yang Nabi saw ada di situ pada awal Islam, di situ beliau mengajak orang kepada Islam dan di situ banyak orang telah masuk Islam. Beliau pada satu malam Senin berdoa: “Ya Allah muliakan Islam dengan salah satu laki-laki yang lebih Engkau sukai: Umar bin al-Khathab atau Amru bin Hisyam”. Lalu Umar bin al-Khathab datang besoknya pagi-pagi lalu dia masuk Islam di rumah al-Arqam dan mereka keluar dari situ, mereka meneriakkan takbir dan berthawaf mengelilingi baitullah terang-terangan dan rumah al-Arqam disebut Dar al-Islam…”
– Ibn Ishaq berkata di as-Sîrah an-Nabawiyyah:
قاَلَ عُمَرٌ عِنْدَ ذَلِكَ: وَاللهِ لَنَحْنُ بِالْإِسْلاَمِ أَحَقٌّ أَنْ نُنَادِيَ… فَلْيَظْهَرَنَّ بِمَكَّةَ دِيْنُ اللهِ، فَإِنْ أَرَادَ قَوْمُنَا بَغْياً عَلَيْنَا نَاجَزْنَاهُمْ، وَإِنْ قَوْمُنَا أَنْصَفُوْنَا قَبِلْنَا مِنْهُمْ، فَخَرَجَ عُمَرٌ وَأَصْحَابُهُ، فَجَلَسُوْا فِيْ الْمَسْجِدِ، فَلَمَّا رَأَتْ قُرَيْشٌ إِسْلاَمَ عُمَرٍ سَقَطَ فِيْ أَيْدِيْهِمْ
“Umar berkata pada saat demikian, “Demi Allah, sungguh kita dengan Islam lebih berhak untuk menyeru… dan sungguh agama Allah akan nampak di Mekah, jika kaum kita ingin zalim terhadap kita maka kita lawan mereka dan jika kaum kita berlaku fair kepada kita maka kita terima dari mereka”. Lalu Umar dan sahabat-sahabatnya keluar dan mereka duduk di Masjid. Ketika Quraisy melihat Islamnya Umar maka jatuhlah (apa yang ada) di tangan mereka.”
Juga dinyatakan topik dua shaf itu di karya Taqiyuddin al-Maqrizi dalam Imtâ’ al-Asmâ’; dan Husain bin Muhammad ad-Diyar Bakri dalam Tarîkh al-Khamîs fî Ahwâl Anfusi an-Nafîs, dan Muhammad Abu Syuhbah dalam as-Sîrah an-Nabawiyyah ‘alâ Dhaw’ al-Qur’ân wa as-Sunnah, dan Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam ar-Rahîq al-Makhtûm … dan selain mereka.
- Pendapat bolehnya demonstrasi dan long march tidak hanya berdalil dengan riwayat-riwayat ini saja. Sebab demonstrasi dan long march adalah uslub untuk menampakkan pendapat dan menyampaikan ide, persis sama seperti nasyrah (leaflet), pidato, seminar, video dan wasilah-wasilah serta uslub-uslub lainnya. Dan hukum asal dalam uslub dan wasilah adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkan sebagiannya, maka (wasilah dan uslub itu) terlarang pada saat itu. Wasilah-wasilah dan uslub-uslub itu menggerakkan masyarakat untuk mengemban Islam dan terikat dengannya, serta berinteraksi dengannya. Hizb melakukan aktivitas ini sesuai kemampuan dengan syarat Hizb sajalah yang melakukan dan mengaturnya dengan panji dan slogan-slogannya dan mengumpulkan masyarakat dengan kepemimpinan Hizb… bukan bergabung dengan yang lain di mana masing-masing mengusung panjinya dan slogan-slogannya… Ini tidak dilakukan oleh Hizb. Jadi apa yang bisa kita lakukan dengan pengaturan kita dan kepemimpinan kita, kita lakukan. Kadang ada waktu kita tidak bisa (melakukannya) sedangkan pada waktu lain kita bisa (melakukannya)… Ini semisal uslub berupa Maktab-maktab I’lami. Dahulu sulit dilakukan pada masa Abu Ibrahim rahimahullah, dan lebih kecil kesulitannya pada masa Abu Yusuf rahimahullah, maka beliau menugaskan aku menjadi juru bicara resmi di Yordania. Dan sekarang seperti yang engkau lihat, Maktab-maktab I’lami kita menarik perhatian.
- Sebagai penutup, wahai saudaraku yang mulia, sungguh setiap amal yang kami lakukan, setiap langkah yang kami tempuh, kami pikirkan dan kami renungkan, bukan hanya kami menjauhkan diri dari keharaman, akan tetapi juga dari sesuatu yang mendekatkan dari satu debu ke debu keharaman lainnya, seraya bertawakkal kepada Allah SWT dalam kondisi rahasia maupun terang-terangan, kecil maupun besar… Sungguh kami mengemban tugas yang gunung enggan memikulnya. Apakah engkau memandang kami mampu berjalan seandainya tidak terikat dengan hukum-hukum syara’ di hati, lisan dan setiap lahiriah kami? Sungguh kami memohon kepada Allah pertolongan dan hidayah kepada perkara yang paling lurus, dan Allah menolong orang-orang shalih.
Saudaramu
Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
10 Sya’ban 1435 H
8 Juni 2014 M
http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_36851
Categories: Fiqh Islam
26 Jun 2015
Menjadikan Ramadhan Sepanjang Tahun
Posted on 02:16 by Unknown
Alhamdulillah sebulan penuh
kita melewati Ramadhan dengan memperbanyak amalan, baik yang wajib maupun yang
sunnah dengan niat untuk meraih nilai ketakwaan. Ramadhan adalah bulan
penyucian diri dan momentum untuk menempa kualitas ketakwaan kita. Lalu
apakah setelah Ramadhan berlalu semangat membina diri luntur? Bagaimana supaya
kita istiqamah memelihara semangat tersebut? Apa pula yang seharusnya dilakukan
dalam keluarga?
Spirit
Ramadhan
Ramadhan memang hanya datang satu kali
dalam satu tahun. Lamanya pun hanya satu bulan. Bulan Ramadhan
boleh saja berakhir ketika datang tanggal satu Syawal. Namun, semestinya
amal-amal baik yang sudah biasa dilakukan pada bulan Ramadhan tidak lantas
berhenti. Ramadhan adalah bulan penyucian jiwa, bulan untuk menempa diri
untuk meraih takwa. Ibarat fase kepompong pada perkembangan seekor ulat
menjadi kupu-kupu. Ketika menjadi kepompong tampak diam, lemah dan tidak
bergerak. Tatkala masa kepompong selesai, maka segera akan keluar kupu-kupu
nan cantik yang akan menarik hati siapapun yang melihatnya. Artinya, apa
yang dialami ulat semasa menjadi kepompong kadang tidak mengenakkan dan tidak
menarik. Hasilnya baru terlihat ketika sudah menjadi kupu-kupu.
Begitupun aktivitas Ramadhan, mungkin saja terasa berat dan banyak
godaan. Namun hakikatnya, di balik semua yang terasa berat itu ada
keberkahan dan pahala yang tidak ternilai besarnya. Mestinya bagi
orang-orang yang berhasil melewati Ramadhan akan merasakan hasilnya sampai
kapan pun. Dia akan memperoleh energi baru untuk menjalani hari-hari selama 11
bulan ke depan. Energi tersebut merupakan hasil tempaan amaliah Ramadhan
yang dilaksanakan selama sebulan penuh. Dengan kata lain, amalan-amalan
Ramadhan akan terlihat hasilnya pasca Ramadhan sebagai wujud ketakwaan.
Wujud
Takwa
Hikmah besar yang akan diraih oleh
orang-orang yang melaksanakan shaum Ramadhan atas dasar keimanan adalah
memperoleh derajat takwa (lihat: QS al-Baqarah [2]:183).
Banyak definisi takwa yang sudah
disebutkan oleh para ulama. Di antaranya adalah bahwa dalam kata takwa
mengandung makna: Pertama, al-khawf min al-Jalil; rasa takut yang besar
terhadap kemahakuasaan Allah. Orang yang shaum dilatih kesadarannya akan
sifat-sifat Allah dan diuji konsistensinya dalam ketaatannya terhadap aturan
Allah SWT. Dia akan menjaga hal-hal yang bisa membatalkan shaumnya,
semisal jangan sampai ada air yang masuk ke kerongkongannya sekalipun hanya
setetes dan tidak diketahui orang lain. Diapun tidak berani makan dan
minum sekalipun azan magrib tinggal beberapa detik lagi. Mengapa? Karena
dia sadar bahwa hal tersebut bisa membatalkan shaumnya dan dia juga yakin bahwa
Allah Maha Melihat apapun yang dilakukan hamba-Nya.
Kedua, al-‘amal bi at-tanzil;
mMelaksanakan ketentuan hukum yang tertera dalam wahyu Allah yang telah
diturunkan baik yang ada dalam al-Quran maupun yang terdapat dalam hadis
Rasulullah saw. Ramadhan adalah bulan turunnya al-Quran (lihat: QS
al-Baqarah [2]: 185). Firman Allah SWT dalam ayat ini jelas sekali menyatakan
bahwa al-Quran yang diturunkan pada bulan Ramadhan merupakan petunjuk bagi
manusia. Karena itu, bulan ini merupakan momen yang tepat untuk membaca,
mempelajari, mendalami maksud dan kandungannya, melaksanakan seruannya, serta
mengajarkan dan mendakwahkannya di tengah-tengah manusia. Dengan begitu
fungsi al-Quran sebagai petunjuk dan pedoman hidup manusia betul-betul
terealisasi dalam kehidupan nyata, dan tidak berhenti pada tataran
pengetahuan. Pada bulan Ramadhan kita dididik untuk senantiasa berpegang
pada hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Shaum, shalat fardhu, shalat
tarawih, infak dan zakat serta amal-amal lainnya senantiasa akan disesuaikan
dengan aturan-Nya supaya semua amalan Ramadhan tersebut diterima Allah dan
mendapat balasan pahala. Selepas Ramadhan keterikatan pada al-Quran dan
wahyu Allah yang ada dalam hadis ini akan terus dipelihara dan dipertahankan.
Ketiga, al-isti’dad li ar-rahil;
persiapan untuk menghadapi timbangan amal pada Hari Kiamat. Orang yang
bertakwa seharusnya memiliki kesadaran bahwa dia akan kembali kepada Allah SWT
untuk mempertanggung jawabkan semua yang telah dilakukannya di dunia.
Berikutnya, dia akan senantiasa menjaga perbuatannya supaya sesuai dengan
syariah-Nya. Dia akan terus berusaha untuk tidak melakukan maksiat
sekecil apapun dan tidak akan melalaikan kewajiban seberat apapun.
Takwa
Selamanya
Rasulullah saw. menyuruh kita semua
untuk senantiasa bertakwa dimana pun kita berada:
اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ
الحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقْ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.
Bertakwalah kepada Allah
dimanapun/kapanpun/dalam keadaan bagaimanapun engkau berada; ikutilah keburukan
dengan kebaikan sehingga (kebaikan itu) akan menghapusnya; dan berbuat baiklah
kepada manusia dengan akhlak yang baik (HR ath-Thabrani dari Abi Dzarr ra.)
Berdasarkan perintah Rasulullah saw.
dalam hadis di atas, maka tidak selayaknya ada pemahaman bahwa takwa hanya ada
dalam waktu dan tempat tertentu saja. Takwa tidak hanya ada ketika shalat
atau tatkala di masjid saja. Takwa juga bukan sekadar harus dikejar pada bulan
Ramadhan saja. Takwa harus ada selamanya dan senantiasa menyertai kita
dimana pun kita berada. Bahkan kita diperintahkan untuk terus menjaga
ketakwaan hingga kematian tiba (lihat: QS Ali ‘Imran [3]:102).
Menjaga
Amaliah Ramadhan
Orang yang memahami keberkahan
Ramadhan akan berlomba-lomba untuk mengisinya dengan berbagai aktivitas ibadah.
Setiap tempat diwarnai dengan kegiatan-kegiatan keislaman, baik di rumah,
di sekolah, apalagi di masjid-masjid. Semangat beramal pada bulan
Ramadhan memang sangat tinggi. Penentunya adalah adanya dorongan keimanan
dan keyakinan atas besarnya pahala; juga situasi amal jama’i yang sangat
mendukung. Beberapa aktivitas Ramadhan sering dilakukan bersama-sama, baik
dengan anggota keluarga maupun bersama teman dan tetangga. Sahur dan buka
bersama, shalat wajib juga shalat tarawih dilaksanakan berjamaah di masjid.
Pesantren kilat atau kajian Islam menjelang zuhur dan sesaat sebelum berbuka
biasanya juga diselenggarakan bersama.
Ketika Ramadhan telah berlalu tidak
berarti bahwa semangat ber’amal juga menurun. Karenanya penting sekali
memelihara supaya semangat tersebut tetap menyala dan kita istiqamah dalam
ketaatan sebagaimana yang terjadi dibulan Ramadhan. Peran keluarga sangatlah
penting agar supaya nuansa Ramadhan terus hadir. Di antara peran tersebut
adalah: Pertama, senantiasa menjaga kesadaran bahwa kita harus menjadi orang
bertakwa sepanjang hayat. Kesadaran ini terus dipupuk dengan selalu
mengkaitkan dengan sifat-sifat Allah, seperti Allah Maha Pembalas amal, Allah
Maha Pemberi rizqi, Allahlah Yang menghidupkan dan mematikan serta hanya kepada
Allahlah kita akan kembali untuk mempertanggung jawabkan amal kita di
dunia. Dengan pengaitan ini, diharapkan akan muncul sikap takut, harap,
dan taat pada Allah.
Kedua, terus memberi maklumat
tentang aturan-aturan Allah yang harus ditaati. Semangat mempelajari
tsaqafah Islam bukan hanya dilakukan dalam pesantren kilat Ramadhan saja.
Tadarus dan tadabur al-Quran juga akan terus didawamkan.
Ketiga, memfasilitasi supaya anggota
keluarga senang dan mudah untuk melakukan ketaatan. Misal,
disediakan buku-buku agama, menjaga shalat berjamah, saling beramar makruf,
membiasakan infak, saling menolong, membiasakan shaum sunat, membiasakan shalat
malam, dll. Yang penting, upaya tersebut harus terprogram dan terencana
supaya tidak dilakukan sementara, atau hanya rutinitas yang kosong
dari kesadaran akan hubungannya dengan Allah, apalagi karena
keterpaksaan. Semuanya betul-betul dilakukan karena semata mengharap
ridha Allah SWT.
Keempat, memahami bahwa untuk meraih
ketakwaan sempurna tidak bisa dilakukan sendiri, tetapi juga harus didukung
dengan ketakwaan kolektif. Individu yang berjuang untuk senantiasa
bertakwa akan menghadapi kesulitan ketika masyarakat dan lingkungan sekitar
kontra produktif dengan semua yang dia upayakan. Semangat ketaatan individu
boleh jadi akan dilemahkan dengan rongrongan kemaksiatan yang ada
dimana-mana. Sebaliknya, dorongan ketakwaan individu akan tetap terpelihara
jika dipadu dengan semangat masyarakat untuk senantiasa taat pada aturan Allah,
baik aturan yang menyangkut individu, keluarga, masyarakat maupun negara; serta
ketakutan dan kekhawatiran kalau tetap hidup dalam sistem yang jauh dari sistem
Allah; memunculkan kesadaran pada masyarakat untuk senantiasa memperjuangkan
tegaknya seluruh aturan Allah dalam naungan Khilafah. Sebab, hanya dengan
Khilafahlah kita akan mampu melakukan ketaatan yang kaffah. WalLahu a’lam.
Categories: Nafsiyah Islamiyah
Bolehkah Zakat Fitrah Dengan Uang ?
Posted on 02:07 by Unknown
Tanya :
Apakah boleh kita membayar zakat
fitrah dalam bentuk uang?
Jawab :
Ada khilafiyah di kalangan fuqaha dalam masalah ini
menjadi dua pendapat. Pertama, pendapat yang membolehkan. Ini adalah pendapat
sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Tsauri, Imam Bukhari, dan Imam
Ibnu Taimiyah. (As-Sarakhsi, al-Mabsuth, III/107; Ibnu Taimiyah, Majmu’
al-Fatawa, XXV/83).
Dalil mereka antara lain firman Allah SWT (artinya),”Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka.” (QS at-Taubah [9] : 103). Menurut mereka, ayat ini
menunjukkan zakat asalnya diambil dari harta (mal), yaitu apa yang dimiliki berupa
emas dan perak (termasuk uang). Jadi ayat ini membolehkan membayar zakat fitrah
dalam bentuk uang. (Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj
Zakat al-Fithr Tha’am, hal. 4)
Mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi SAW,”Cukupilah
mereka (kaum fakir dan miskin) dari meminta-minta pada hari seperti ini (Idul
Fitri).” (HR
Daruquthni dan Baihaqi). Menurut mereka, memberi kecukupan (ighna`) kepada fakir dan miskin dalam
zakat fitrah dapat terwujud dengan memberikan uang. (Abdullah Al-Ghafili, Hukm Ikhraj
al-Qimah fi Zakat al-Fithr, hal. 3)
Kedua, pendapat yang tidak membolehkan
dan mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok (ghalib quut
al-balad). Ini
adalah pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (Al-Mudawwanah
al-Kubra, I/392; Al-Majmu’, VI/112; Al-Mughni, IV/295).
Dalil mereka antara lain hadits Ibnu Umar RA
bahwa,”Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah berupa satu sha’ kurma atau
satu sha’ jewawut (sya’ir) atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan
perempuan, anak-anak dan orang dewasa, dari kaum muslimin.” (HR Bukhari, no
1503). Hadits ini jelas menunjukkan zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk bahan
makanan, bukan dengan dinar dan dirham (uang), padahal dinar dan dirham sudah
ada waktu itu. (Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj
Zakat al-Fithr Tha’am, hal. 9).
Menurut kami, yang rajih adalah pendapat jumhur yang
tak membolehkan zakat fitrah dengan uang dan mewajibkannya dalam bentuk makanan
pokok. Alasan kami: Pertama, ayat QS at-Taubah : 103 memang bersifat global (mujmal), yaitu zakat itu diambil dari harta
(mal). Namun
telah ada penjelasan (bayan) dari As-Sunnah yang merinci bahwa harta yang
dikeluarkan dalam zakat fitrah adalah bahan makanan, bukan uang. (Ustadz Siddiq
Al Jawie)
Kedua, hadits yang dijadikan dalil adalah
dhaif (lemah), karena ada seorang periwayat hadits bernama Abu Ma’syar yang
dinilai lemah. Demikianlah menurut Imam Nawawi (al-Majmu’, VI/126), Ibnu Hazm (al-Muhalla, VI/121), Imam Syaukani (Nailul
Authar, IV/218),
Imam az-Zaila’i (Nashbur Rayah, II/431), Ibnu Adi, (al-Kamil fi
adh-Dhu’afa, VII/55),
dan Imam Nashiruddin al-Albani (Irwa`ul Ghalil, III/844). Padahal hadits dhaif
tidak layak dijadikan dasar hukum.
Kalaupun dianggap sahih, hadits itu bersifat mutlak,
tanpa penjelasan bagaimana caranya mewujudkan kecukupan (ighna`). Maka as-Sunnah memberikan
pembatasan (taqyid) mengenai caranya, yaitu mengeluarkan zakat fitrah
dalam bentuk bahan makanan, bukan dengan uang. (Nada Abu Ahmad, Ahkam Zakat
al-Fithr Hal Yajuzu Ikhrajuha Qiimah, hal. 35).
Kesimpulannya, tidak boleh membayar zakat fitrah dalam
bentuk uang, melainkan wajib dalam bentuk bahan makanan pokok. Wallahu
a’lam. (Ustadz
Siddiq al Jawie)
Categories: Fiqh Islam
Subscribe to:
Posts (Atom)