Hume merupakan
Hume sangat dipengaruhi oleh empirisis John Locke dan George Berkeley, dan juga bermacam penulis berbahasa Perancis seperti Pierre Bayle, dan bermacam figur dalam landasan intelektual berbahasa Inggris seperti Isaac Newton, Samuel Clarke, Francis Hutcheson, Adam Smith, dan Joseph Butler.
Pemikiran David Dume
Aliran empirisme dibangun pada abad
ke-17 yang muncul setelah lahirnya aliran rasionalisme. Bahkan aliran empirisme
bertolak belakang dengan aliran rasionalisme. Menurut paham empirisme bahwa
pegetahuan bukan hanya didasarkan pada rasio belaka, di inggris.
Konsep mengenai filsafat empirisme
muncul pada abad modern yang lahir karena adanya upaya keluar dari kekangan
pemikiran kaum agamawan di zaman skolastik. Descartes adalah salah seorang yang
berjasa dalam membangun landasan pemikiran baru di dunia barat. Descartes
menawarkan sebuah prosedur yang disebut keraguan metodis universal dimana
keraguan ini bukan menunjuk kepada kebingungan yang berkepanjangan, tetapi akan
berakhir ketika lahir kesadaran akan eksisitensi diri yang dia katakan dengan
cogito ergo sum yang artinya saya berpikir, maka saya ada.(Ilyas Supeno, tt:
3). Teori pengetahuan yang dikembangkan Descartes dikenal dengan
rasionalisme karena alur pikir yang dikemukakan Rene Descartes bermuara kepada
kekuatan rasio manusia. Sebagai reaksi dari pemikiran rasionalisme Descartes
inilah muncul para filosof yang berkembang kemudian yang bertolak belakang
dengan Descartes yang menganggap bahwa pengetahuan itu bersumber pada
pengalaman atau empirisme. Mereka inilah yang disebut sebagai kaum empirisme, di
antaranya yaitu John Locke, Thomas Hobbes, George Barkeley, dan David Hume.
Dalam makalah ini tidak akan membahas semua tokoh empirisme, akan tetapi akan
dibahas empirisme David Hume yang dianggap sebagai puncak empirisme yang paling
radikal.
1. Konsep Empirisme
Empirisme adalah suatu aliran dalam
filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman
manusia dan mengecilkan peranan akal. Empirisme dari bahasa Yunani empeiria
yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu doktrin empirisme adalah
lawan dari rasionalisme. Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan tentang
kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan di peroleh atau
bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan
hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan
pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa
fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Paham empirisme ini mempunyai
ciri-ciri pokok yaitu:
- Teori tentang makna
Teori pada aliran empirisme biasanya
dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan yaitu asal usul ide atau
konsep. Pada abad pertengahan, teori ini diringkaskan dalam rumus Nihil Est in
Intellectu Quod Non Prius Feurit in Sensu (tidak ada sesuatu di dalam pikiran
kita selain didahului oleh pengalaman). Pernyataan ini merupakan tesis Locke
yang terdapat dalam bukunya “An Essay Concerning Human Understanding” yang
dikeluarkan tatkala ia menentang ajaran ide bawaan (Innate Idea) kepada
orang-orang rasional. Jiwa (Mind) itu tatkala dilahirkan keadaannya kosong
laksana kertas putih yang belum ada tulisan di atasnya dan setiap ide yang
diperolehnya mestinya datang melalui pengalaman, yang dimaksud di sini adalah
pengalaman indrawi. Hume mempertegas teori ini dalam bab pembukaan bukunya
“Treatise of Human Nature (1793)” dengan cara membedakan antara ide dan kesan.
Semua ide yang kita miliki itu datang dengan kesan-kesan, dan kesan itu
mencakup penginderaan, passion dan emosi.
- Teori pengetahuan
Menurut rasionalis ada beberapa
kebenaran umum seperti setiap kejadian tertentu mempunyai sebab, dasar-dasar
matematika dan beberapa prinsip dasar etika dan kebenaran-kebenaran itu benar
dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran a priori yang diperoleh
keluar intuisi rasional. Empirisme menolak hal demikian karena tidak ada
kemampuan intuisi rasional itu. Semua kebenaran yang disebut tadi adalah
kebenaran kebenaran yang diperoleh lewat observasi, jadi ia kebenaran a
posteriori.
Poedjawijatna (1997:105) menyatakan
bahwa empirisme berguna dalam filsafat pada umumnya karena dengan empirisme ini
filsafat memperhatikan lebih cermat lagi manusia sebagai keseluruhan. Ajaran-ajaran
pokok empirisme yaitu:
- Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
- Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.
- Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
- Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematika).
- Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman.
- Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
Dari beberapa pandangan mengenai
paham empirisme tersebut diatas, menurut penulis empirisme adalah yang suatu
doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh
pengetahuan. Sehingga setiap orang yang menyatakan telah memiliki pengetahuan
dia harus bisa membuktikan apa itu pengetahuan berdasarkan pengalaman yang
dapat di ketahui oleh indra manusia.
Riwayat Kehidupan David Hume (1711-1776).
Hume lahir di Edinburgh Skotlandia
pada April 26, 1711 anak bungsu dalam keluarga yang baik tetapi tidak kaya.
Ayahnya meninggal ketika Hume masih kecil, dan ia dibesarkan oleh ibunya di
perkebunan keluarga Ninewells, dekat Berwick. Hume adalah seorang murid yang
sukses, dan sebagai anak muda, ia memiliki perhatian yang tinggi terhadap
sastran dan filsafat. Solomon (2002: 390) menyebut bahwa filsafat Hume adalah
skeptisisme yang menyeluruh. Tahun 1723 ia masuk Universitas Edinburgh, studi
pada hukum sesuai keinginan ibunya (Lavine, 1984: 137). Selama tiga tahun studi
hukum dia membangun pandangan filsafatnya.
Pada musim gugur 1729 dia mengalami
gangguan kejiwaan parah (Vapor) selama 5 tahun. Hal ini disebabkan karena dia
mengalami perasaan puas pertama kali dia membantai raksasa segala ilmu
pengetahuan, filsafat dan teologi padahal umurnya masih relatif muda. Karena
kejadian ini dia memutuskan mundur dari dunia filsafat, akan tetapi kemudian
justru dia mengambil keputusan untuk pergi ke Prancis Pada usia 23 tahun, ke La
Fleche tempat perguruan Jesuit Descrates dulu untuk upaya penyembuhan dari
penyakitnya. Disana dia menyelesaikan buku pertamanya yaang hampir selesai pada
tahun 1737, Treatise of Human Nature, saat usianya masih 26 tahun (Robbert
Cummins and David Owen, 1998: 325). Hume memiliki harapan yang tinggi pada
karya ini, tetapi penerbitan karya ini tidak banyak mendapat perhatian.
Meskipun patah semangat, karena
buruknya penerimaan terhadap Treatise, Hume terus menulis. Di tahun 1741-1742
saat di Skotlandia, ia menerbitkan Essays, Moral and Political. Karya ini
mendapatkan kesuksesan, dan Hume bersemangat untuk merevisi Treatise. Akan
tetapi, Hume tidak pernah bisa mendapatkan gelar profesor baik di Universitas
Edinburgh dan Glasgow, karena skeptismenya dan dia ateis, mencemooh keyakinan
beragama (Lavine, h. 139). Dia kembali ke Prancis 1763 sebagai sekretaris duta
besar Inggris.
Pada tahun 1751, revisi terakhir bagian pertama dan ketiga karya Treatise
diterbitkan masing-masing dengan judul An Enquiry Concerning Human
Understanding dan An Enquiry Concerning The Principles of Morals. Kira-kira
pada saat yang sama, Hume menulis karya yang berjudul Dialogue Concerning
Natural Religion. Dialogue menjelaskan sikap Hume tentang eksistensi Tuhan dan
sifat agama. Namun atas saran teman yang memiliki perhatian terhadap sifat
pandangannya yang radikal, Hume tidak jadi menerbitkan Dialogue. Dengan
ketetapan dari kehendak Hume, karya itu diterbitkan setelah Hume meninggal di
tahun 1779 (Robbert Cummins and David Owen, 1998: 326). Antara tahun 1752-1757,
Hume mengabdi sebagai petugas perpustakaan di Faculty of Advocates di Edinburg
(Joko Siswanto, 1998: 49). Setelah mendapatkan sumber-sumber dari perpustakaan
ini, Hume menulis tentang sejarah Inggris. Karya ini tidak hanya panjang,
tetapi juga kontroversial. Bagaimanapun, sebagai akibatnya, semua tulisan Hume
menjadi lebih dikenal dan karya-karya itu mendapat pujian luas dari beberapa
kalangan. Pujian tersebut terutama datang dari kalangan intelektual Perancis
dan ketika Hume pergi ke sana pada tahun 1763 sebagai sekretaris Duta Besar
Inggris, ia menerima sambutan hangat. Ia kembali ke London di tahun 1766
bersama Rousseau, meskipun hubungan antara keduanya segera menegang (Bertrand
Russell, 1946). Setelah mengabdi selama tiga tahun di Undersecretary of State,
Hume pensiun di Edinburg dan meninggal di sana tahun 1776.
Pemikiran Hume
Skeptisme mendasar dalam pikiran
Hume menentang terhadap tiga pemikiran sebelumnya. Hume melawan ajaran-ajaran
rasionalitas tentang idea-idea bawaan. Selanjutnya menyerang pemikiran
religius, entah dari katolik, Anglikan, maupun Penganut Deisme. Terakhir
serangan pada empirisme sendiri yang masih percaya pada substansi (F. Budi
Hardiman, 2004: 87). Hume mengungkap karya-karya Francis Hutcheson, seorang
filsuf moral dari Skotlandia di Universitas Glasgow, yang berpendapat bahwa
prinsip moral tidak berdasarkan kitab injil, seperti dikatakan penganut
kristiani, juga tidak berdasarkan akal pikiran, seperti pendapat Plato dan
Socrates. Keyakinan Moral Menurut Hutcheson terdapat pada perasaan kita,
sentimen setuju atau tidak setuju kita (Lavine, 1984: 137). Kemudian dengan mengembangkan
pandangan Hutcheson dan menggabungkan empirisme Locke dan Berkeley, Hume
berpendapat bahwa pengetahuan didapat hanya dari persepsi panca indra (Lavine,
1984: 138). Hume memulai pemikiran kontroversialnya melalui penggabungan dua
konsep tersebut, yaitu bahwa pengetahuan terbaik kita, hukum ilmiah, bukanlah
apa-apa melainkan persepsi pengindraan yang meyakinkan perasaan kita. Karena
itu meragukan sekali bahwa kita memiliki pengetahuan, kita hanya mempunyai
persepsi panca indra dan perasaan. Dalam pemikiran Hume, ada skeptisme radikal,
bentuk keraguan ekstrem atas kemungkinan bahwa kepastian dalam pengetahuan
merupakan hal yang bisa dicapai.
Tentang Teori Pengetahuan Hume
Landasan Segala Pengetahuan
T.Z. Lavine (1984: 140)
mengungkapkan Hume dalam bukunya Treatise of Human Nature bagian pendahuluan,
dia mengatakan bahwa tujuan penulisannya adalah untuk mempelajari ilmu
pengetahuan mengenai manusia dan menjelaskan prinsip-prinsip sifat alamiah
manusia. Menurutnya ilmu pengetahuan lainnya didasarkan pada ilmu pengetahuan
mengenai manusia. Sehingga mempelajari ilmu tersebut, merupakapan proses
mempelajari landasan segala pengetahian manusia. Untuk membuktikan ini Hume
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang merupakan pertanyaan para penganut empirisme
sebagai berikut: Bagaimana Anda Tahu? Apa yang menjadi asal pengetahuan kita?
Apa yang menjadi batasan pengetahuan manusia?
Dari pertanyaan tersebut dia mengetahui apa sebenarnya yang akan dia tunjukan:
bahwa kita tidaklah memiliki pengetahuan, melainkan sekedar keyakinan bahwa
yang kita rasakan itu benar. Karena menurutnya semua pengetahuan dimulai dari
pengalaman indra sebagai dasar (Ahmad Tafsir, 2001: 181).
Steven M. Cahn ( 2009: 136)
menyatakan bahwa menurut Hume sumber pengetahuan adalah pengamatan persepsi
pengindraan bukan ide bawaan (ide innate). Hasil dari pengamatan tersebut
adalah kesan-kesan (impression) dan pengertian-pengertian atau idea-idea
(ideas) . Isi ide dan kesan adalah sama perbedaannya adalah cara timbul dalam
kesadaran (Harun Hadi Wijaya, 2000: 53). Kesan adalah sensasi, hasrat, dan
emosi seketika, data dari perbuatan melihat, menyentuh, mendengar, keinginan,
mencintai, membenci seketika. Gagasan adalah gambar salinan atau samar dari
kesan. Perbedaan Kesan dan gagasan adalah kesan memiliki kekuatan dan
kenampakan yang lebih besar. Gagasan hanyalah gambar dari kesan kita, yang
terdapat di dalam pemikiran, penalaran, dan pengingatan.
Semua pengalaman manusia menurut
Hume termasuk golongan penghayatan atau golongan ide-ide (Brouwer, 1986: 62).
Hume menguraikan dan menjelaskan hubungan antara kesan dan ide dengan
menyatakan bahwa keduanya dipandang dari segi simplisitas atau kompleksitasnya,
dapat dibagi menjadi dua kategori. Sebuah kesan yang kompleks tersusun atas
kesan-kesan yang simpel. Selain itu, setiap ide yang simple berasal dari kesan
tunggal yang berhubungan secara langsung. Di sisi lain, sebuah ide kompleks
tidak perlu berasal dari sebuah kesan kompleks. Sebaliknya, ide-ide kompleks
dapat dikembangkan dari variasi kesan simpel atau kompleks, atau ide-ide
kompleks itu dapat disusun dari ide-ide simple.
Kritik Keras atas Doktrin Dua Jenis Pengetahuan
Alasan Hume mengawali buku
Treatise-nya dengan landasan pengetahuan manusia adalah untuk menanyakan apa
yang menjadi landasan pengetahuan. Maka untuk menunjukan bahwa hanya ada satu
landasan pengetahuan, berisi satu pengetahuan saja, pengetahuan oleh persepsi
panca indra. Dia ingin meruntuhkan dua jenis pengetahuan menurut filsafat lama
yaitu: 1. Pengetahuan biasa tingkat bawah mengenai alam kasat mata, alam yang
berubah-ubah menurut Plato disebut opini sejati dan Descrates menamakan ide
pemikiran indra yang membingungkan. 2. Bagi Plato dan Descrates ada tingkatan
tinggi pengetahuan dengan penalaran sebagai sumbernya dan menciptakan kepastian
(T.Z. Lavine, 1984: 141).
Hume membantah kedua jenis
pengetahuan tersebut, pemikiran bahwa ada jenis pengetahuan tingkat atas yang
bisa dicapai filsuf dengan akalnya, pengetahuan realitasnya, pengetahuan
metafisika adalah keliru hanyalah ilusi. Kata Hume kita tidak akan pernah tahu
alam realitas yang sebenarnya. Para filsuf yang mengatakan bahwa mereka
mengetahui alam realitas yang sebenarnya adalah penjahat dan sangat bodoh,
karena apa yang diketahui manusia terbatas pada persepsi panca indra. Pemikiran
manusia itu terbatas, sesuatu yang dicari metafisika ini, tidak akan kita
ketahui. Hume mengatakan bahwa doktrin dasar atas metafisika bahwa ada dua
jenis pengetahuan, pengetahuan biasa dengan persepsi panca indra dan
pengatahuan metafisika tingkat tinggi dengan pemikiran atau akal, adalah omong
kosong.
Menurut Steven M. Cahn (2009: 137)
bahwa Hume membagi pengetahuan menjadi dua. Pertama pengetahuan demostratif
merupakan yang diperoleh melalui pemikiran tentang hubungan antara idea-idea.
Kedua pengetahuan yang diperoleh melalui pemikiran tentang matter of fact yang
disebut moral.
Prinsip–Prinsip Empirisme
Prinsip dasar yang telah ditetapkan
Hume adalah “Segala gagasan sederhana kita awalnya dihasilkan dari kesan
sederhana yang berkaitan dengan gagasan itu dan benar-benar mewakili
keberadaannya” (Lavine, 1984: 145). Cara Hume mengungkapkan penjelasan tersebut
dengan benar-benar mengkritik untuk menganalisis dan menjatuhkan berbagai
gagasan. Hal ini juga disebut sebagai bola penghacurnya yang paling kuat. Hume
mempertanyakan dari kesan apa gagasan ini muncul?
Hume
kemudian melihat ide pemikiran
mengenai zat yang dipakai Descrates, Hume bertanya dari kesan apa ide
pemikiran
itu muncul? Dengan pertanyaan ini maka akan didapati jawaban bahwa tidak
mungkin
dari kesan atas zat yang bersangkutan, namun hanyalah kesan ciri yang
kita
rasakan, seperti ukuran, bentuk dan warna. Jadi ide pemikiran zat ini
merupakan
cirri-ciri yang kita alami. Oleh karena itu kita tidak dapat mengatakan
bahwa
zat itu tidak ada. Kita bias tahu bahwa sesuatu itu ada apabila kita
mempunyai
kesan atas sesuatu tersebut. Jadi Hume telah menjatuhkan pertanyaan
bahwa zat
itu ada dengan menunjukan bahwa kita tidak memiliki kesan atas zat
fisik. Aturannya sederhana jika tidak ada kesan, maka tidak ada gagasan.
Jika tidak
ada kesan gagasan itu tanpa makna. Jadi aturan empirisme Hume tidak
hanya uji
kelayakan gagasan kita sebagai pengetahuan namun juga uji atas makna
gagasan
kita.
Penggabungan Gagasan
Keterkaitan kesatuan di antara gagasan-gagasan
tersebut, ciri-ciri yang berkaitan, dimana satu gagasan memunculkn gagasan yang
lainnya. Dengan demikian pasti ada prinsip universal dalam pemikiran kita,
bukan sebagai kebutuhan, namun sebagai kekuatan untuk menggabungkan beberapa
gagasan dengan cara tertentu. Hume menggambarkan kekuatan ini sebagai “kekuatan
lembut, yang pasti bertahan”. Gabungan gagasan kita berdasar pada tiga ciri
gagasan, yang cenderung membawa pikiran kita dai suatu gagasan ke gagasan yang
lain, mengaitkan atau menggabungkan satu gagasan dengan gagasan yang lain.
Lavine (1984: 146-147) mengatakan Hume membuat tiga ciri sebagi basis dari tiga
hukum penggabungan gagasan.
- Hukum pertama adalah gagasan tergabung atau terkait oleh kemiripan atar-gagasan. Hume memberi contoh “sebuah lukisan dengan mudah membawa pikiran kita ke obyek aslinya”.
- Hukum kedua adalah kedekatan satu gagasan dengan gagasan yang lainnya dalam hal ruang dan waktu. Pikiran kita cenderung menggabungkan satu gagasan dengan gagasan yang lain secara fisik atau jasmaniah tergabung. Hume mencotohkan “menyebutkan satu apartemen dalam sebuah gedung umunya akan membawa pikiran kita mengenai apartemen lainya.
- Hukum ketiga adalah sebab-akibat, pikiran kita tampaknya dipaksa untuk mengaitkan suatu sebab dengan akibat yang dibawanya. Bertrand (1946: 880) menyatakan skeptisme Hume semata didasarkan pada penolakannya atas prinsip induksi yang diterapkan pada hukum sebab akibat. Misalnya jika kita memikirkan luka, kita tidak jarang sekali bias mencegah diri kita memikirkan rasa sakit yang mengikutinya.
Hukum penggabungan gagasan merupakan
bagian dari strategi bola penghancurnya dan menggunakan hukum penggabungan
gagasan dengan sebab akibat untuk menjatuhkan pertanyaan bahwa kita bisa
memiliki pengetahuan ilmiah sehingga sebab tertentu secara otomatis
menghasilkan akibat tertentu.
Hume berkata bahwa gagasan atomis kita, yang berkaitan dengan kesan, terkait
atau tergabung dengan menggunakan tiga hukum penggabungan, yang merupakan
kekuatan yang lembut yang memaksa kita menggabungkan satu gagasan dengan
gagasan lainnya. Tiga hukum ini berlaku pada segala pemikiran kita, juga
termasuk pemikiran ilmiah kita. Ketiga hukum ini akan memberikan dorongan
terkuat untuk mengaitkan satu ide dengan ide lainnya adalah sebab dan akibat
(Lavine, 1984: 147). Selanjutnya Hume menyatakan bahwa segala sesuatu yang bias
kita bahwa segala sesuatu yang bias kita katakana mengenai suatu obyek,
mengenai masalah fakta, di luar mengenai kesan seketika kita atas apa yang kita
lihat dan sentuh, haruslah didasarkan pada hubungan sebab akibat. Semua
pemikiran kita mengenai persoalan fakta merupakan pemikiran kausal. Dan
pemikiran kita yang penting mengenai persoalan fakta merupakan pemikiran ilmiah,
dengan hukum alam kausalnya.
Ketiga hukum ini mencirikan semua
kerja mental kita, termasuk penalaran kita, dan secara khusus hokum tersebut
mengkarakteistikkan gagasan ilmiah kita. Diantarar ketiga hokum tersebut yang
merupakan penghubung yang paling kuat diantara gagasan.
Analisis terhadap Kausalitas
(Sebab-Akibat)
Selanjutnya, Hume sangat tertarik
pada relasi sebab dan akibat karena sejak lama dalam filsafat, diyakini adanya
hubungan sebab akibat yang terjadi di alam ini ( Budiman, 2004: 89). Semua
pertimbangan yang berkenaan dengan masalah fakta tampak didasarkan pada relasi
sebab dan akibat. Dengan sarana relasi itu, kita dapat melampaui bukti dari
memori dan indera kita. Hume menegaskan bahwa pendapat menegenai hubungan itu
tidak benar dan didasrkan pada sebuah kebinggungan belaka. Segala peristiwa
yang kita amati memiliki hubungan tetap satu sama lain, tapi hubungan tidak
boleh disebut kausalitas.
Hume menjelaskan bahwa pendapat tentang sebab-akibat (kausalitas) itu merupakan
suatu hubungan atar idea (relation of ideas). Ide kausalitas juga tidak dapat
diperoleh melalui persepsi (A. Tafsir: 2001: 184). Hume menegaskan bahwa ketika
kita berpikir tentang relasi sebab dan akibat antara dua hal atau lebih, maka
biasanya kita memaksudkannya dengan arti bahwa yang satu, secara langsung atau
tidak langsung bersebelahan dengan yang lain, dan bahwa yang satu, yang kita
beri tanda sebagai sebab adalah dalam beberapa hal, secara temporer mendahului
yang lain. Bagaimanapun, kondisi-kondisi ini tampak tidak mencukupi bagi
munculnya sebuah relasi sebab dan akibat. Karena dapat dipahami bahwa X dapat
bersebelahan dengan dan secara temporer sebelum Y tanpa menjadi sebab dari Y,
maka diperlukan sesuatu yang lebih. Hume beranggapan bahwa kita menambahkan
sebuah ide jika ada hubungan tetap antara X dan Y di dalam situasi di mana X dikatakan
sebab dari Y. Tanpa tambahan ide bahwa setiap peristiwa atau hal pasti memiliki
suatu sebab yang menghasilkannya secara pasti, maka pemahaman biasa tentang
relasi sebab dan akibat tidak akan muncul. Dengan demikian, jika suatu gejala
tertentu disusul oleh gejala lain, dengan sendirinya kita cenderung kepada
pikiran bahwa gejala yang satu disebabkan oleh gejala yang sebelumnya. Misalnya
batu yang disinari matahari selalu panas. Kita menyimpulkan batu menjadi panas
karena disinari matahari. Tetapi kesimpulan ini tidak berdasarkan pengalaman.
Pengalaman hanya memberikan urutan gejala-gejala, tetapi tidak memperlihatkan
urutan sebab-akibat (Harun Hadi Wijaya, 2000: 55).
Hume menegaskan bahwa pengalaman
lebih memberi keyakinan dibanding kesimpulan logika atau kemestian
sebab-akibat. Sebab akibat hanya hubungan yang saling berurutan saja dan secara
konstan terjadi seperti, api membuat api mendidih. Padahal dalam api tidak
dapat diamati adanya daya aktif yang mendidihkan air. Jadi daya aktif yang
disebut hukum kausalitas itu bukanlah yang dapat diamati, bukan hal yang dapat
dilihat dengan mata sebagai benda yang berada dalam air yang direbus. Dengan
demikian kausalitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan peristiwa yang akan
datang berdasarkan peristiwa yang terdahulu.
Menurut Hume, pengalamanlah yang
memberi informasi yang langsung dan pasti terhadap objek yang diamati sesuai
waktu dan tempat. Roti yang telah saya makan, kata Hume, mengenyangkan saya,
artinya bahwa tubuh dengan bahan ini dan pada waktu itu memiliki rahasia
kekuatan untuk mengenyangkan. Namun, roti tersebut belum tentu bisa menjadi
jaminan yang pasti pada waktu yang akan datang karena roti itu unsurnya telah
berubah karena tercemar dan kena polusi dan situasipun tidak sama lagi dengan
makan roti yang pertama. Jadi, pengalaman adalah sumber informasi bahwa roti
itu mengenyangkan, untuk selanjutnya hanya kemungkinan belaka bukan kepastian
(A. Tafsir, 2001: 185).
Hume membuang segala bentuk
kausalitas dalam etikanya (Harun Hadi Wijaya, 2000: 56), Pernyataan Hume
mengenai empirisme penggabungan dengan pandangan Hutcheson mengenai moralitas
yang bersumber dari sentiment atau perasaan. Hal ini membaa Hume pada pemikiran
kontroversialnya bahwa hukum ilmu pengetahuan kita hanya bersumber pada perasaan.
Kemudian Hume mengemukakan gebrakannya ”Hukum ilmu pengetahuan didasarkan bukan
pada apa-apa melainkan pada kesan indra yang dikaitkan dengan hukum psikologi
penggabungan dan perasaan kekuatn yang digunakan. Hukum ilmiah tidak berarti apa-apa melainkan penggabungan psikologis berbagai
gagasan. Sumbangan terbesa Hume dalam filsafat dan pengaruh terbesarnya adalah
analisisnya mengenai hubungan sebab-akibat. Ini merupakan karya besarnya
menghacurkan pemikiran – pemikiran lain.
Filsafat Hume atas Agama
Kritik Keras Hume atas Bukti
Rasional Mengenai Tuhan.
Hume menyangkal bukti klasik
keberadaan Tuhan yang menggunakan akal penalaran. Hume mengkritik keras ketiga
bukti keberadaan Tuhan Descartes, dua bukti pertama adalah bukti sebab-akibat,
Descartes mendasarkan diri pada kejelasan dan kejernihan pemikiran bahwa sebab
harus sama nyatanya dengan akibatnya. Bagi Descartes gagasan ini sangat jelas
sehingga tidak ada pikiran rasional apa pun yang bisa meragukan, namun bagi
Hume sangatlah tidak berarti karena kita tidak mempunyai kesan indra mengenai
Tuhan sebagai suatu sebab, kita juga tidak mempunyai kesan apa pun mengenai
benda yang berfikir sebagai akibat.
Steven M. Cahn (2009: 272)
menyatakan bahwa menurut Hume sepanjang sejarah tidak pernah ada beberapa orang
yang menyaksikan adanya mukjizat mengenai adannya Tuhan. Semuanya adalah
kebohongan, karena menurutnya timbulnya keyakinan bahwa Tuhan itu ada adalah
karena manusia merasa takut dan gelisah kemudian mengada-adakan dan
menyakininya.
Bukti ketiga Descartes atas
keberadaan Tuhan pada Meditasinya yang kelima, menggunakan bukti ontologis yang
dikemukakan oleh Saint Anselm di abad XI yang menngungkapkan ide bawaan
mengenai Tuhan yang memiliki segala kesempurnaan, dan oleh itu memiliki
kesempurnaan pada kewujudan-Nya. Hume meruntuhkan bukti ini dengan pertama
mengingatkan atas filsuf empirisme seperti Locke tidak ada yang namanya ide
bawaan, kita hanya memiliki gagasan yang muncul dari pengalaman kesan. Kemudian
Hume menjawabnya dengan uji empirisme atas gagasan, jika tidak ada kesan dalam
pengalaman, gagasan tidaklah bermakna, tidak berarti. “Gagasan kita tidak lebih
dari pengalaman kita, kita tidak memiliki pengalaman akan ciri-ciri akhirat.
Aku harus menyimpulkan silogismeku. Anda bias menarik kesimpulan sendiri.”
pernyataan Hume. Maka bukti adanya Tuhan sebagaimana pendapat Descartes telah
diruntuhkan.
Hume juga mengkritik ajaran tentang
keabadian atau immortalitas, yang percaya akan adanya keabadian sehingga
keabadian menjadi dasar sistem moral (Budiman, 2004: 91). Pendapat ini
sepertinya karena Hume beranggapan bahwa manusia bi sa mewujudkan cita-citanya
tentang hidup sosial tanpa menunggu akhirat.
Kritik Hume atas Deisme
Bukti mengenai Tuhan dengan
menggunakan akal yang berlandaskan pada keteraturan, harmoni, dan keindahan
yang ditemukan di seluruh alam ini, merupakan bukti keberadaan Tuhan yang
paling diterima di abad pencerahan. Deisme merupakan keyakinan utama doktrin
Kristen bahwa Tuhan itu ada sebagai satu-satunya sumber rancangan dan
pengetahuan yang harmonis atas seluruh bagian alam semesta ini. Sebuah
pandangan religious yang hanya berlandaskan akal pemikiran, menyangkal kenabian
dan mukjizat, konsep Tuhan dibuat sejalan dengan akal pikiran dan ilmu
pengetahuan.
Hume meruntuhan doktrin Deisme dengan menggunakan bentuk dialog Plato dalam
Dialogues Concerning Natural religion. Suara Hume tertuang dalam Philo yang
Skeptis yang mengungkapkan kesan dari indra kita adalah landasan untuk semua
pengetahuan ilmiah kita, dan kesan ini tidak memberikan bukti bagi pernyataan
bahwa semesta ini secara sempurna teratur dan harmonis, juga tidak menjamin
bahwa keteraturan semacam ini akan berlanjut selamanya.
Hume menambahkan pertanyaan apakah anda menemukan bukti bahwa dunia ini
dirancang dngan baik oleh perancang yang baik dan penyayang? Lalu bagaimana
menjelaskan kesedihan, rasa sakit, dan kejahatan dalam kehidupan manusia? Ini
merupakan kritik paling keras terhadap agama Deisme di Masa Pencerahan.
Kritik atas keyakinan pada
Mukjizat
Hume juga mengkritik adanya Mukjizat
dalam esainya “Of Miracles” tahun 1748. Mukjizat menurut Hume merupakan
pelanggaran hukum alam oleh pihak akhirat, zat supranatural. Mukjizat telah
menentang pengalaman manusia, pengetahuan ilmiah, semua keteraturan dan
konjugsi konstan kesan manusia. Tidak ada mukjizat yang bias menjadi landasan
yang layak untuk agama karena sangat bertentangan dengan akal manusia.
F. Budi Hardiman (2004: 92)
menyatakan bahwa Hume melontarkan lima argumen yang untuk mengkritik mengenai
mukjizat ini. Pertama Hume mengatakan sepanjang sejarah belum pernah ada
mukjizat yang disaksikan secara kolektif oleh orang-orang cerdas. Kedua
kecenderungan manusia mempercayai peristiwa luar biasa tapi tidak membuktikan
kebenaran mukjizat. Ketiga kejadian mukjizat terjadi ketika manusia belum maju
dalam ilmu pengetahuan. Keempat segala wahyu mempunyai klaimnya sendiri atas
mukjizatnya masing-masing. Kelima semakin ilmiah penelitian historis, semakin
ragulah si sejarawan terhadap peristiwa mukjizat.
0 comments:
Post a Comment