Ustadz, bolehkah membuat akun palsu di Facebook? (Rendra Regen Rais)
Membuat akun palsu pada dasarnya adalah membuat akun bukan dengan nama sebenarnya. Misalnya seseorang bernama A tapi di Facebook membuat akun dengan nama B.
Hukumnya secara syar’i bergantung pada faktanya (manath), berhubung faktanya tidak tunggal, melainkan ada beberapa macam, yakni sebagai berikut :
Pertama, hukumnya makruh jika nama yang digunakan tujuannya untuk
menyembunyikan nama asli dan nama itu bukan nama atau panggilan
sehari-hari. Misalkan seseorang bernama asli “Yono”, sehari-hari
dipanggil “Yono”, tapi di Facebook membuat nama baru dengan akun “Simbah
Maridjon”.
Dalil kemakruhannya adalah hadits dari shahabat Jabir bin Abdillah RA yang pernah berkata :
أتيت النبي صلى الله عليه وسلم في دين كان على أبي، فدققت الباب، فقال: (من ذا). فقلت: أنا، فقال: (أنا أنا). كأنه كرهها.
“Aku pernah datang kepada Nabi SAW untuk menyelesaikan urusan utang ayahku kepada Nabi SAW. Aku lalu mengetuk pintu. Kemudian Nabi SAW bertanya,”Siapa ini?” Aku menjawab,”Saya.” Nabi SAW berkata,”Saya, saya,” seakan-akan beliau membenci jawaban saya itu.” (HR Bukhari no 5896).
Imam Nawawi dalam kitabnya Riyadhus Shalihin berdalil dengan hadits Jabir RA di atas sebagai dasar makruhnya seseorang menjawab “saya” ketika seseorang bertanya identitas atau nama kita. Maka dari itu, menurut kami, dalil ini dapat juga dijadikan dalil makruhnya seseorang yang tidak menyebut nama aslinya di media sosial dunia maya, seperti di Facebook, Twitter, dan sebagainya.
Kedua, hukumnya mubah dan tidak apa-apa, jika nama yang digunakan bukan nama asli tetapi meski demikian nama itu sudah menjadi nama baru bagi yang bersangkutan dan digunakan sebagai nama atau panggilan dalam kehidupan sehari-hari. Misalkan seseorang bernama asli “Sigit”, tapi di Facebook namanya “Shiddiq”, dan nama “Shiddiq” ini sudah menjadi nama baru bagi orang itu dan juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalil kebolehannya adalah hadits-hadits yang menunjukkan kebolehan bahkan kesunnahan (istihbab) mengganti nama menjadi nama lain yang maknanya lebih baik. Imam Nawawi telah menyebutkan hadits-hadits tersebut dalam kitabnya Al Adzkaar pada bab yang berjudul Baab Istihbaab Taghyiir Al Ism Ila Ahsan Minhu (Bab Tentang Kesunnahan Mengganti Nama Dengan Nama Yang Lebih Baik). (Lihat Imam Nawawi, Al Adzkaar An Nawawiyyah, hlm. 249-250).
Dari Ibnu Umar RA bahwa Nabi SAW telah mengganti nama seorang perempuan yang aslinya bernama ‘Aashiyah (artinya perempuan yang bermaksiat), menjadi nama baru yaitu Jamiilah (artinya perempuan yang cantik).
Ibnu Umar RA berkata :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم غير اسم عاصية، وقال (أنت جميلة).
“Bahwa Rasulullah SAW telah mengganti nama ‘Aashiyah, Nabi SAW bersabda,”[Nama] kamu adalah Jamiilah.” (HR Muslim no 2139).
Dari Sa’id bin Al Musayyab RA dia berkata :
أن أباه جاء إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: (ما اسمك). قال: حزن، قال: (أنت سهل). قال: لا أغير اسماً سمانيه أبي، قال ابن المسيَّب: فما زالت الحزونة فينا بعد
“Bahwa ayahnya yang bernama Hazn (artinya kesedihan) pernah datang kepada Nabi SAW lalu Nabi SAW bertanya,”Namamu siapa?” Maka Hazn menjawab,”Namaku Hazn (kesedihan).” Nabi SAW bersabda,”Gantilah namamu menjadi Sahl (artinya kemudahan)!” Hazn pun menjawab,”Aku tidak akan mengganti nama yang telah diberikan ayahku kepadaku.” Lalu Sa’id bin Al Musayyab RA berkomentar,”Maka sejak itu kesedihan selalu terjadi pada keluarga kami.” (HR Bukhari no 5836).
Dalil-dalil di atas menunjukkan kebolehan bahkan kesunnahan untuk mengganti nama seseorang dengan nama lain yang maknanya lebih baik. Maka jika seseorang di Facebook menggunakan nama lain yang bukan nama aslinya, tapi nama itu sudah menjadi nama baru baginya dan menjadi panggilannya sehari-hari, hukumnya boleh dan bahkan sunnah jika makna nama yang baru itu lebih baik dari nama yang lama.
أتيت النبي صلى الله عليه وسلم في دين كان على أبي، فدققت الباب، فقال: (من ذا). فقلت: أنا، فقال: (أنا أنا). كأنه كرهها.
“Aku pernah datang kepada Nabi SAW untuk menyelesaikan urusan utang ayahku kepada Nabi SAW. Aku lalu mengetuk pintu. Kemudian Nabi SAW bertanya,”Siapa ini?” Aku menjawab,”Saya.” Nabi SAW berkata,”Saya, saya,” seakan-akan beliau membenci jawaban saya itu.” (HR Bukhari no 5896).
Imam Nawawi dalam kitabnya Riyadhus Shalihin berdalil dengan hadits Jabir RA di atas sebagai dasar makruhnya seseorang menjawab “saya” ketika seseorang bertanya identitas atau nama kita. Maka dari itu, menurut kami, dalil ini dapat juga dijadikan dalil makruhnya seseorang yang tidak menyebut nama aslinya di media sosial dunia maya, seperti di Facebook, Twitter, dan sebagainya.
Kedua, hukumnya mubah dan tidak apa-apa, jika nama yang digunakan bukan nama asli tetapi meski demikian nama itu sudah menjadi nama baru bagi yang bersangkutan dan digunakan sebagai nama atau panggilan dalam kehidupan sehari-hari. Misalkan seseorang bernama asli “Sigit”, tapi di Facebook namanya “Shiddiq”, dan nama “Shiddiq” ini sudah menjadi nama baru bagi orang itu dan juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalil kebolehannya adalah hadits-hadits yang menunjukkan kebolehan bahkan kesunnahan (istihbab) mengganti nama menjadi nama lain yang maknanya lebih baik. Imam Nawawi telah menyebutkan hadits-hadits tersebut dalam kitabnya Al Adzkaar pada bab yang berjudul Baab Istihbaab Taghyiir Al Ism Ila Ahsan Minhu (Bab Tentang Kesunnahan Mengganti Nama Dengan Nama Yang Lebih Baik). (Lihat Imam Nawawi, Al Adzkaar An Nawawiyyah, hlm. 249-250).
Dari Ibnu Umar RA bahwa Nabi SAW telah mengganti nama seorang perempuan yang aslinya bernama ‘Aashiyah (artinya perempuan yang bermaksiat), menjadi nama baru yaitu Jamiilah (artinya perempuan yang cantik).
Ibnu Umar RA berkata :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم غير اسم عاصية، وقال (أنت جميلة).
“Bahwa Rasulullah SAW telah mengganti nama ‘Aashiyah, Nabi SAW bersabda,”[Nama] kamu adalah Jamiilah.” (HR Muslim no 2139).
Dari Sa’id bin Al Musayyab RA dia berkata :
أن أباه جاء إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: (ما اسمك). قال: حزن، قال: (أنت سهل). قال: لا أغير اسماً سمانيه أبي، قال ابن المسيَّب: فما زالت الحزونة فينا بعد
“Bahwa ayahnya yang bernama Hazn (artinya kesedihan) pernah datang kepada Nabi SAW lalu Nabi SAW bertanya,”Namamu siapa?” Maka Hazn menjawab,”Namaku Hazn (kesedihan).” Nabi SAW bersabda,”Gantilah namamu menjadi Sahl (artinya kemudahan)!” Hazn pun menjawab,”Aku tidak akan mengganti nama yang telah diberikan ayahku kepadaku.” Lalu Sa’id bin Al Musayyab RA berkomentar,”Maka sejak itu kesedihan selalu terjadi pada keluarga kami.” (HR Bukhari no 5836).
Dalil-dalil di atas menunjukkan kebolehan bahkan kesunnahan untuk mengganti nama seseorang dengan nama lain yang maknanya lebih baik. Maka jika seseorang di Facebook menggunakan nama lain yang bukan nama aslinya, tapi nama itu sudah menjadi nama baru baginya dan menjadi panggilannya sehari-hari, hukumnya boleh dan bahkan sunnah jika makna nama yang baru itu lebih baik dari nama yang lama.
Ketiga, hukumnya haram jika nama itu adalah nama atau identitas
orang lain, baik orang itu sudah meninggal atau pun masih hidup. Hal itu
tidak dibolehkan karena termasuk kedustaan (al kadzib) atau penipuan
(al ghisy) yang telah diharamkan oleh syara’.
Misalkan ada yang membuat nama akun Taqiyuddin An Nabhani di
Facebook. Jelas membuat akun dengan nama itu tidak boleh, karena pemilik
nama itu sudah meninggal tahun 1977 (semoga Allah merahmatinya). Atau
seseorang membuat akun dengan nama Ismail Yusanto. Itu juga tidak boleh,
karena pemilik nama itu sama sekali tidak pernah membuat akun di
Facebook (kami tahu persis karena Ustadz Ismail Yusanto pernah
menegaskan hal itu secara pribadi kepada kami).
Jadi membuat akun palsu dalam pengertian menggunakan nama orang
lain, baik orang itu sudah meninggal atau masih hidup, haram hukumnya,
karena merupakan kedustaan (al kadzib) atau penipuan (al ghisy) yang
telah diharamkan Islam. Sabda Rasulullah SAW :
ومن غشنا فليس منا
”Barangsiapa menipu kami, maka dia bukan golongan kami.” (HR Bukhari no 164).
Demikianlah jawaban kami, berdasarkan dalil-dalil syar’i yang
shahih untuk berbagai fakta (manath) yang ada. Semoga Allah SWT memberi
petunjuk kepada orang-orang yang bertakwa. Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 30 Juni 2013
Muhammad Shiddiq Al Jawi
0 comments:
Post a Comment