Oleh: M. Taufik N.T
Islam membedakan antara pembahasan ekonomi dari segi
bagaimana pengadaan (produksi) barang dan jasa dan upaya
meningkatkannya, diistilahkan dengan ilmu ekonomi, dengan pembahasan
ekonomi dari segi kepemilikan, pemanfaatan, pengembangan dan distribusi
harta kekayaan kepada masyarakat, diistilahkan dengan sistem ekonomi.
Pembahasan ekonomi dari segi pengadaan (produksi)
berikut upaya meningkatkan produktivitas barang dan jasa tidak
dipengaruhi oleh pandangan hidup (ideologi) tertentu dan bersifat
universal, maka ia dapat diambil dari manapun juga selama bermanfaat,
inilah yang. Adapun pembahasan tentang kepemilikan harta kekayaan,
bagaimana memanfaatkan dan mengembangkan harta kekayaan serta bagaimana
mendistribusikan harta kekayaan kepada masyarakat sangat dipengaruhi
oleh pandangan hidup t
ertentu dan tidak berlaku secara universal.
A. Problematika Ekonomi dan Solusinya
Salah satu perbedaan penting antara sistem ekonomi
Islam dengan sistem ekonomi Kapitalis adalah dalam memandang apa
sesungguhnya yang menjadi permasalahan utama ekonomi. Dalam sistem
ekonomi kapitalis, permasalahan ekonomi yang sesungguhnya adalah
kelangkaan (scarcity) barang dan jasa. Hal ini karena setiap
manusia mempunyai kebutuhan yang beranekaragam dan jumlahnya tidak
terbatas sementara sarana pemuas (barang dan jasa) yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan manusia terbatas[1].
Dari pandangan ini solusi pemikiran untuk memecahkan
problematika ekonomi tersebut dengan jalan menitikberatkan pada aspek
produksi dan pertumbuhan. Perhatian yang begitu besar terhadap aspek
produksi dan pertumbuhan seringkali justru mengabaikan aspek distribusi
dan kesejahteraan masyarakat banyak. Hal ini dapat dilihat dari
keberpihakan yang sangat besar kepada para konglomerat, sebab
pertumbuhan yang tinggi dengan mudah dapat dicapai dengan jalan ekonomi
konglomerasi dan sulit/ lambat jika ditempuh dengan mengandalkan ekonomi
kecil dan menengah.
Sebagai contoh dalam kasus makanan, permasalahan
ekonomi seolah-olah dianggap sudah teratasi jika produksi/stok beras
sudah lebih dari total kebutuhan rakyat, “Kebutuhan beras tahun ini akan terpenuhi oleh persediaan yang ada,” kata Suswono, menteri pertanian[2].
Disisi lain apakah beras tersebut bisa dinikmati oleh rakyat kurang
mendapat perhatian, bahkan petani penanam padi di daerah lumbung padi
pun hidup kekurangan, dengan rata-rata hasil bersih Rp. 350 ribu/bulan[3].
Dalam pandangan sistem ekonomi Islam, problematika
ekonomi yang utama adalah masalah pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga
negara, walaupun pertumbuhan dan produksi barang dan jasa tinggi, namun
bila ada warga negara yang tidak terpenuhi kebutuhan pokoknya, berarti
ekonomi negara tersebut berada dalam masalah.
Oleh sebab itu, solusi problem utama ekonomi
sebenarnya adalah bagaimana mengatur distribusi harta kekayaan sehingga
semua individu terpenuhi kebutuhan pokoknya dan kekayaan tersebut
beredar tidak hanya dikalangan orang-orang kaya saja. Banyak ayat
al-Quran dan al-Hadits yang berbicara masalah distribusi kekayaan,
diantaranya nash-nash yang memerintahkan manusia untuk menginfakkan
harta dan memberi makan orang-orang fakir, miskin, dan kekurangan,
seperti dalam QS al-Hajj [22]: 28; al-Baqarah [2]: 177, 184, 215;
al-Insan [76]: 8, al-Fajr [90]:13-14; dan al-Maidah [5]: 89. Al-Quran
menyatakan bahwa dalam setiap harta terdapat hak bagi orang miskin.
Allah Swt. berfirman:
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
Pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta-minta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian[4] (QS adz-Dzariyat [51]: 19).
Islam mencegah berputarnya harta kekayaan hanya di
kalangan orang-orang kaya, sementara kelompok lainnya tidak memperoleh
bagian. Allah Swt. berfirman:
كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Supaya harta itu jangan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kalian. (QS al-Hasyr [59]: 7).
Rasulullah saw bersabda:
وَأَيُّمَا أَهْلُ عَرْصَةٍ أَصْبَحَ فِيهِمْ امْرُؤٌ جَائِعٌ فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُمْ ذِمَّةُ اللهِ تَعَالَى
Penduduk negeri manapun yang berada di pagi hari,
sementara di tengah-tengah mereka ada orang yang kelaparan maka jaminan
Allah telah lepas dari mereka. (HR Ahmad, al-Hakim dan Abu Ya’la)[5]
مَا آمَنَ بِي مَنْ بَاتَ شَبْعَانَ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَهُوَ يَعْلَمُ بِهِ
Tidaklah beriman kepadaku orang yang bermalam dalam kondisi kenyang, sedangkan tetangga sebelahnya lapar dan dia mengetahui (HR. Thabrani dan Al Bazzar dari Anas dg sanad shahih)
Ayat-ayat dan hadits diatas memberikan pemahaman
bahwa yyang dipermasalahkan oleh Islam adalah bagaimana kebutuhan pokok
setiap individu rakyat terpenuhi, oleh sebab itu pemecahannya terletak
pada mekanisme distribusi kekayaan di tengah-tengah umat baik melalui
mekanisme ekonomi maupun non ekonomi.
B. Politik Ekonomi Islam: Strategi Pemenuhan Kebutuhan Pokok Masyarakat
Yang termasuk dalam kebutuhan pokok (primer) dalam
pandangan Islam mencakup kebutuhan terhadap barang-barang tertentu
berupa makanan, pakaian dan perumahan, serta kebutuhan terhadap
jasa-jasa tertentu berupa keamanan, pendidikan dan kesehatan. Sistem
Ekonomi Islam telah menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan
pokok (primer) setiap warga negara secara menyeluruh baik kebutuhan yang
berupa barang maupun jasa.
Makanan, pakaian dan perumahan adalah kebutuhan pokok
(primer) manusia yang harus dipenuhi. Tidak seorangpun yang dapat
melepaskan diri dari kebutuhan tersebut. Adapun dalil yang menunjukkan
bahwa ketiga kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan pokok adalah
nash-nash yang berkenaan dengan makanan, pakaian dan perumahan.
Diantaranya adalah:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik…” (QS. Al-Baqarah :233)
وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“…Dan berilah makan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj[22] : 28)
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di tempat kamu berperumahan menurut kemampuanmu…” (QS. At-Thalaq [65] : 6)
Demikian pula jasa-jasa keamanan, kesehatan dan
pendidikan, adalah tiga hal yang merupakan kebutuhan pokok manusia dalam
hidupnya. Rasulullah saw bersabda :
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barangsiapa yang bangun pagi dalam keadaan aman
jiwanya, sehat badannya dan disampingnya ada makanan hari itu, maka
seakan-akan dunia ini telah dikumpulkan baginya.” (HR. at Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad hasan).
Rasulullah saw bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Mencari ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim” (HR. Ibnu Majah, at Thabrani, al Bayhaqi dan Abu Ya’la).
Secara garis besar strategi pemenuhan kebutuhan pokok
dibedakan antara kebutuhan pokok yang berupa barang (pakaian, makanan
dan perumahan) dengan pemenuhan kebutuhan pokok berupa jasa (keamanan,
kesehatan dan pendidikan). Hal ini dilakukan karena terdapat perbedaan
antara pelaksanaan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok yang berbentuk
barang dengan yang berbentuk jasa. Untuk pemenuhan kebutuhan pokok yang
berupa barang sistem ekonomi Islam memberikan jaminan dengan mekanisme
tidak langsung, yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang
dapat menjamin terpenuhi kebutuhan tersebut. Sedangkan berkaitan dengan
kebutuhan jasa pokok dipenuhi dengan mekanisme langsung, yakni negara
secara langsung memenuhi kebutuhan jasa pokok tersebut.
1. Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Barang
Secara umum, sistem ekonomi Islam menetapkan dua mekanisme distribusi kekayaan, yakni mekanisme ekonomi dan non ekonomi.
a. Mekanisme Ekonomi
Mekanisme ekonomi adalah mekanisme yang terjadi
akibat tukar-menukar barang dan jasa dari para pemiliknya. Di antara
dalil absahnya mekanisme ini adalah firman Allah Swt.:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara
kalian (QS al-Nisa’ [4]: 29).
Diantara mekanisme ekonomi Islam untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok berupa barang adalah:
1) Mewajibkan dan memberikan dorongan spiritual
kepada laki-laki agar bekerja untuk mencukupi kebutuhan pokok dirinya
dan tanggungannya. Negara wajib membuka kesempatan seluas-luasnya bagi
berlangsungnya sebab-sebab kepemilikan individu, serta memberikan
kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan kepemilikan
melalui kegiatan investasi. Beberapa nash berkaitan dengan ini antara
lain:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya.”(QS. al-Baqarah:233).
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ، فَيَحْتَطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْتِيَ رَجُلًا، فَيَسْأَلَهُ أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ
“Demi Allah, jika seseorang di antara kamu
membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian
dipikul ke pasar untuk dijual, itu lebih baik daripada ia meminta-minta
kepada orang lain, baik ia diberi atau ditolak. (HR. Bukhari dan Muslim)
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidak ada orang yang makan makanan yang lebih
baik daripada hasil pekerjaan tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabi
Daud as makan dari hasil kerjanya sendiri” (HR. Bukhory)
مَنْ غَرَسَ غَرْسًا، أَوْ زَرَعَ زَرْعًا فَأَكَلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ أَوْ دَابَّةٌ أَوْ طَيْرٌ أَوْ سَبْعٌ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ
Barangsiapa yang menanam suatu tanaman lalu ada
manusia atau burung atau hewan buas atau hewan kendaraan yang
memakannya, maka itu menjadi sedekah baginya (HR. Ahmad, hadits shahih, perowinya perowi Syaikhain selain Thalhah bin Nâfi’, dia perowi Imam Muslim)
Negara juga wajib menciptakan lapangan kerja yang
mencukupi dan menyuruh/memaksa dan mendidik rakyatnya untuk bekerja agar
kebutuhan pokok mereka dapat mereka cukupi. Bahkan Islam mengancam siapa saja yang mengabaikan urusan rakyat, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Tidak ada seorang hamba yang dijadikan Allah
mengatur rakyat, kemudian dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya (tidak
menunaikan hak rakyatnya), kecuali Allah akan haramkan dia (langsung
masuk) surga.” (HR. Muslim)
Rasulullah pernah menyuruh seorang shahabat yang
meminta-minta untuk mengambil barangnya, kemudian Rasul melelangnya dan
memberikan hasil penjualannya sambil berkata: …
اشْتَرِ بِأَحَدِهِمَا طَعَامًا فَانْبِذْهُ إِلَى أَهْلِكَ وَاشْتَرِ بِالْآخَرِ قَدُومًا فَأْتِنِي بِهِ فَأَتَاهُ بِهِ فَشَدَّ فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُودًا بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ لَهُ اذْهَبْ فَاحْتَطِبْ وَبِعْ وَلَا أَرَيَنَّكَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا
“Belilah makanan dengan satu dirham kemudian
berikan kepada keluargamu, dan belilah kapak kemudian bawalah kepadaku.”
Kemudian orang tersebut membawanya kepada beliau, lalu Rasulullah
mengikatkan kayu pada kapak tersebut dengan tangannya kemudian berkata
kepadanya: “Pergilah kemudian carilah kayu dan juallah. Jangan sampai
aku melihatmu selama lima belas hari.” … (HR. Abu Dawud & Ibnu Majah)
Ketika Khalifah Umar r.a. mendengar jawaban
orang-orang yang berdiam di masjid di saat orang lain sibuk bekerja,
mereka beralasan bahwa mereka bertawakkal, beliau berkata: “(tidak
demikian), tetapi kalian adalah orang yang pura-pura bertawakkal,
padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan
perak.”
Kemudian Umar ra. Menngeluarkan mereka dari masjid, dan memberi mereka setakar biji-bijian. Beliau katakan pada mereka: “Tanamlah dan bertawakkallah kepada Allah!”
Dari sini, Imam Ghazali rahimahullah menyatakan bahwa
wajib atas Waliyul amri (pemerintah) memberi sarana-sarana pekerjaan
kepada para pencari kerja. [6]
2) Melarang hal-hal yang menyebabkan kekacauan ekonomi, diantaranya:
a. Menimbun harta benda (ihtikâr)
walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Harta yang ditimbun tidak akan
berfungsi ekonomi. Pada gilirannya akan menghambat distribusi karena
tidak terjadi perputaran harta. Penimbun adalah orang yang mengumpulkan
barang-barang dengan menunggu waktu naiknya harga barang-barang
tersebut, sehingga dia bisa menjualnya dengan harga yang tinggi,
sementara masyarakat mengalami kesulitan untuk menjangkau harganya. Cara
seperti ini adalah cara yang telah diharamkan oleh Islam. Rasulullah
saw bersabda: “Barangsiapa menimbun barang, maka dia berdosa.” (HR. Muslim No. 3012).
Demikian pula penimbunan emas dan perak (QS al-Taubah
[9]: 34). Dalam mekanisme ekonomi, kedua logam mulia itu berfungsi
sebagai alat tukar. Sebagai alat tukar, uang memiliki kedudukan amat
strategis, yang jika ditimbun maka akan berakibat pada seretnya
pertukaran barang dan jasa, atau bahkan terhenti.
Namun perlu diperhatikan Islam membedakan antara menimbun dengan penyimpanan (saving).
Menimbun kekayaan yang diharamkan adalah menimbun kekayaan melebihi
keperluan, sedangkan penyimpanan harta karena ada sesuatu keperluan
adalah dibolehkan. Jadi menyimpan kekayaan untuk membeli rumah,
mendirikan perusahaan, untuk pendidikan, untuk biaya naik haji dan lain
sebagainya adalah tidak dikategorikan sebagai menimbun harta yang
dilarang.
b. Monopoli dan penipuan. Penipuan harga yang keji (ghabn al fâkhisy)
, yaitu membeli dengan harga yang sangat jauh dari harga rata-rata
sementara pihak yang ditipu tidak mengetahui harga pasar. Rasulullah saw
bersabda: “Janganlah kalian mencegat rombongan dagang (sebelum sampai di pasar) …” (HR. Bukhory No. 2006)
Dilarang pula penipuan barang (tadlis), yang dapat
terjadi baik pada pihak penjual (dengan menyembunyikan cacat barang)
maupun pihak pembeli (dengan memanipulasi alat pembayaran). Rasulullah
saw bersabda:
وَلَا تُصَرُّوا الْغَنَمَ وَمَنْ ابْتَاعَهَا فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْتَلِبَهَا إِنْ رَضِيَهَا أَمْسَكَهَا وَإِنْ سَخِطَهَا رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْر
“ … Janganlah kalian menahan susu dari binatang
ternak (yang kurus, dengan maksud menipu calon pembeli). Maka siapa yang
membelinya setelah itu maka dia punya hak pilih setelah dia memerahnya,
bila dia rela maka diambilnya dan bila dia tidak suka dikembalikannya
dengan menambah satu sha’ kurma” (HR. Bukhory no. 2006)
c. Perjudian, riba, korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada penguasa.
Perjudian disamping memunculkan permusuhan dan menjadikan orang lalai
dari mengingat Allah (QS Al Maidah: 90) juga menyebabkan orang tidak
akan produktif menghasilkan barang atau jasa, disisi lain, sudah menjadi
rahasia umum, bahwa mayoritas yang akan meraup keuntungan hanyalah para
bandar, sehingga dari sisi distribusi menyebabkan harta akan berputar
ditangan mereka saja. Adapun korupsi, suap dan hadiah kepada penguasa
akan memperlemah aktivitas ekonomi dan menimbulkan inefisiensi.
Dalam hadits riwayat Imam Bukhory dan Muslim,
diceritakan bahwa Rasulullah saw sangat marah kepada seorang pegawai
negara dalam pengambilan zakat. Orang tersebut telah menerima hadiah
dari seseorang. Ketika ia kembali dengan membawa sejumlah harta, orang
tersebut berkata kepada Rasulullah saw: “(harta) Ini untuk anda dan (harta) ini untukku krn dihadiahkan kepadaku”. Setelah
mendengar kata-kata tersebut, Rasulullah s.a.w naik keatas mimbar.
Setelah mengucapkan puji-pujian ke hadirat Allah, beliau bersabda: Adakah
patut seorang petugas yang aku kirim untuk mengurus suatu tugas berani
berkata: “Ini untuk anda dan ini untukku krn memang dihadiahkan
kepadaku”? Bukankah lebih baik dia duduk di rumah bapa atau ibunya
(tanpa memegang suatu jabatan) dan perhatikan apakah dia akan dihadiahi
sesuatu atau tidak. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di dalam
genggaman-Nya, tidaklah seorang di antara kalian (pejabat) memperoleh
sesuatu darinya, kecuali pada Hari Kiamat dia akan datang dengan memikul
seekor unta yang sedang melenguh atau seekor lembu atau seekor kambing
yang mengembek di atas tengkuknya. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi sehingga tampak kedua ketiaknya yang putih dan bersabda: Ya Allah! Bukankah aku telah sampaikannya, sebanyak dua kali.
3) Mengatasi peredaran kekayaan di satu daerah tertentu saja, atau pada kelompok tertentu saja.
Allah berfirman:
كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
… Supaya harta itu jangan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kalian. (QS al-Hasyr [59]: 7).
Sebagai contoh dalam kasus fai’ Bani Nadhir,
Rasulullah saw membagikannya hanya kepada orang-orang miskin saja (yakni
Muhajirin dan dua orang Anshar). Adapun pada masa Abu Bakar, karena
tingkat kesejahteraan Muhajirin dan Anshar sudah berimbang, maka Abu
Bakar r.a melakukan pembagian secara merata dikalangan mereka.
4) Pemanfaatan secara optimal hasil dari kepemilikan
umum. Hasil dari kepemilikan umum adalah milik rakyat, tanpa membedakan
apakah mereka muslim atau tidak. Sumber daya alam (SDA) yang tergolong
sebagai milik umum ini nilainya pun amat besar. Apabila SDA itu boleh
dikuasai individu tertentu, niscaya harta akan terkosentrasi pada
sekelompok orang. Dengan menguasai SDA itu, pemilik modal besar akan
dengan mudah pula menggelembungkan kekayaannya. Sebaliknya, kalangan
miskin kian kesulitan mengakses SDA itu dan memenuhi kebutuhannya.
Bila semua mekanisme ekonomi berjalan sempuma, tapi
kesenjangan ekonomi tetap saja terjadi, masih ada mekanisme lain, yakni
melalui mekanisme non-ekonomi.
b.Mekanisme Non Ekonomi
Mekanisme non ekonomi adalah sebuah mekanisme yang
tidak dihasilkan dari transaksi pertukaran barang dan jasa. Barang dan
jasa mengalir dari satu pihak kepada pihak lain tanpa meminta timbal
balik. Mekanisme bisa diterapkan kepada orang-orang lemah, miskin, dan
kekurangan. Dengan mekanisme tersebut, mereka diharapkan bisa memenuhi
kebutuhan hidupnya. Bahkan lebih dari itu, mereka dapat bangkit untuk
kembali berkompetisi dalam mekanisme ekonomi dengan modal dari mekanisme
non ekonomi itu.
Dalam Islam cukup banyak aliran barang dan jasa yang
tidak melalui mekanisme ekonomi. Di antaranya adalah zakat. Islam
mewajibkan orang kaya membayar zakat. Harta itu kemudian disalurkan
kepada delapan golongan, yang sebagian besarnya adalah orang-orang
miskin dan membutuhkan pertolongan. Sebagai sebuah kewajiban, pembayaran
zakat tidak harus menanti kesadaran orang-perorang. Negara juga harus
proaktif mengambilnya dari kaum Muslim (QS at-Taubah [9]: 103),
sebagaimana yang dilakukan Khalifah Abu Bakar. Orang yang menolak untuk
membayar zakat beliau perangi hingga menyerahkan zakatnya.
Selain zakat, ada juga infak dan sedekah yang
disunnahkan. Semua jenis pemberian itu dilakukan tanpa mengharap
pengembalian. Demikian pula hibah, hadiah, dan wasiat; termasuk pula
pembagian harta waris. Negara juga bisa memberikan tanah kepada
warganya. Dalam fikih, kebijakan itu dikenal dengan iqthâ’.
Dengan adanya dua mekanisme itulah Islam dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap warganya.
2. Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Jasa
a. Jaminan Keamanan
Dalil yang menunjukkan jaminan keamanan untuk setiap
warga negara, baik muslim atau non muslim adalah tindakan Rasulullah saw
sebagai kepala negara yang memberikan keamanan kepada setiap warga
negara sebagaimana sabdanya: “Aku diperintahkan untuk memerangi
manusia hingga mereka bersaksi; tidak ada ilah kecuali Allah dan bahwa
sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan
zakat. Jika mereka lakukan yang demikian maka mereka telah memelihara
darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haq Islam dan perhitungan
mereka ada pada Allah” (HR. Bukhari dan Muslim).
“Barang siapa yang membunuh mu’ahad (orang kafir
yang terikat perjanjian) maka dia tidak akan mencium bau surga padahal
sesungguhnya bau surga itu dapat dirasakan dari jarak empat puluh tahun
perjalanan”. (HR. Bukhory)
Mekanisme untuk menjamin keamanan setiap anggota
masyarakat, adalah dengan jalan menerapkan aturan yang tegas kepada
siapa saja yang akan dan mengganggu keamanan jiwa, darah dan harta orang
lain. Aturan yang tegas ini selain berfungsi sebagai upaya mencegah
terjadinya tindakan gangguan keamanan, juga berfungsi sebagai tindakan
hukuman hingga membuat pelaku jera.
Hukum Islam menetapkan bahwa siapa yang membunuh
dengan sengaja maka ia harus dikenakan hukum qishash, dengan jalan
dibunuh kembali, atau ahli warisnya dapat menuntut ganti rugi berupa
diyat (denda) yang besarnya senilai dengan 100 ekor unta. Bahkan
terhadap pembunuhan yang tidak sengajapun akan dikenakan hukuman kepada
orang yang telah lalai tersebut berupa diyat sebagaimana dalam surat
Al-Baqarah : 178 dan surat An-Nisaa : 92.
Demikian juga siapa saja yang mengganggu keamanan
harta orang lain dengan jalan mencuri, menggarong atau merampoknya, maka
akan dikenakan hukuman yang tegas dan keras. Sebagai gambaran kepada
pencurian barang yang besarnya ¼ dinar atau lebih (1 dinar = 4,25 gram
emas) maka Islam menetapkan hukuman potong tangan sebagaimana Allah
nyatakan dalam surat Al-Maidah : 38 dan sabda Rasulullah saw: “Tidak dipotong tangan kecuali (dalam pencurian) sebesar ¼ dinar ke atas”. (HR. Muslim)
Masih banyak ketentuan-ketentuan hukum Islam yang
menjamin keamanan jiwa, darah dan harta setiap warga negara. Hukum-hukum
itu diterapkan dengan tegas adalah dalam rangka mencegah masyarakat
untuk tidak berbuat kejahatan.
b. Jaminan Kesehatan
Jaminan kesehatan juga diberikan gratis oleh negara,
pembiayaannya diambilkan dari Baitul Mal kaum muslimin. Rasulullah saw
pernah menjadikan dokter yang diberikan kepada beliau sebagai dokter
untuk seluruh rakyat. Tindakan Rasulullah saw itu, dengan menjadikan
dokter tersebut sebagai dokter kaum muslimin, menunjukkan bahwa hadiah
tersebut bukanlah untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadiah
semacam itu bukanlah khusus diperuntukkan bagi Beliau, tetapi untuk kaum
muslimin, atau untuk negara. Lain halnya apabila hadiah tersebut
dipakai oleh beliau pribadi, seperti selimut bulu dan keledai hadiah
dari Raja Aikah, misalnya, maka hadiah seperti itu memang khusus untuk
pribadi, bukan untuk seluruh kaum muslimin. Rasulullah saw juga pernah
membangun suatu tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan
membiayainya dengan harta benda Baitul Mal.
Pernah serombongan orang berjumlah delapan orang dari
Urairah datang mengunjungi Rasulullah saw di Madinah. Mereka kemudian
menyatakan keimanan dan keislamannya kepada Rasulullah, karena Allah. Di
sana, mereka terserang penyakit dan menderita sakit limpa. Rasulullah
saw memerintahkan mereka beristirahat di pos penggembalaan ternak kaum
muslimin milik Baitul Mal, di sebelah Quba’, di tempat yang bernama “Zhi Jadr”.
Mereka tinggal di sana hingga sembuh dan gemuk kembali. Mereka
diijinkan meminum susu binatang-binatang ternak itu (onta), karena
mereka memang berhak.
Dalam bidang pelayanan kesehatan ini, Bani Ibnu
Thulun di Mesir, memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat
untuk mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman-minuman dan
obat-obatan serta dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk
memberikan pengobatan gratis kepada orang-orang sakit.
Jadi, keberadaan dokter di tengah masyarakat,
terpecahnya problema kesehatan masyarakat, dan pembangunan sarana atau
balai-balai kesehatan, adalah tugas-tugas yang dibebankan Islam terhadap
negara. Negaralah yang bertanggung jawab terhadap perwujudan semua itu.
c. Jaminan Pendidikan
Pendidikan adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh
rakyat. Sementara negara berkewajiban menjadikan saran-sarana dan
tempat-tempat pendidikan.
Rasulullah saw telah menetapkan kebijakan terhadap
para tawanan perang Badar bahwa mereka bisa bebas bila telah mengajarkan
10 orang penduduk Madinah dalam baca-tulis. Tugas itu menjadi tebusan
untuk kebebasan dirinya, padahal tebusan tawanan adalah sumber pemasukan
Baitul Mal. Hal ini berarti bahwa Rasulullah saw telah menjadikan biaya
pendidikan itu dibebankan kepada Baitul Mal.
Al-Badri (1990) juga menceritakan Imam Ibnu Hazm,
dalam kitab “Al Ahkaam”, setelah memberikan batas ketentuan untuk
ilmu-ilmu yang tidak boleh ditinggalkan, agar ibadah dan mu’amalah kaum
muslimin dapat diterima (sah). Beliau menjelaskan bahwa seorang imam
atau kepala negara berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan,
sampai pada ungkapannya:
“Diwajibkan atas seorang imam untuk menangani masalah itu dan menggaji orang-orang tertentu untuk mendidik masyarakat.”
C. Kesimpulan
Kesejahteraan dan keberkahan hidup hanya ada ketika
kita menjadikan syari’ah Allah sebagai aturan hidup, tidak terkecuali
dalam bidang ekonomi. Hanya dengan sistem ekonomi Islam yang bisa
menjadi solusi bagi buruknya distribusi kekayaan. Tentu saja, keunggulan
sistem Islam hanya akan mewujud secara sempurna jika ada instiusi
pemerintahan Islam, yakni Khilafah, yang menerapkannya secara total.
Sebaliknya, berpaling dari aturan-Nya akan semakin menambah parah
keadaan yang ada. Rasulullah saw bersabda:
… وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ
… Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka enggan
menjalankan hukum-hukum Allah dan mereka memilih-milih apa yang
diturunkan Allah (sebagian diambil, sebagian dibuang), kecuali Allah
akan menjadikan bencana di antara mereka.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad hasan, juga Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliya).
Daftar Pustaka
Al Qur’an, Tafsir, Hadits, dll dalam Maktabah Syâmilah
Abdullah, M.H. 1990. Diraasaat fil Fikril Islami. Aman: Darul Bayariq
An Nabhani, T. 2004. Nidzomul Iqtishody Fil Islam. Beirut : Darul Ummah
Al Badri, Abdul Aziz. 1408H. Al Islam Dlominun lil Hâjât. Aman: Darul Bayariq
Zallum, Abdul Qadim. 2004. Al Amwal Fi Dawlati Al Khilafah. Beirut : Darul Ummah
Hizbut Tahrir. 2009. Muqaddimatud Dustur awil Asbaabul Maujibatu lahu. Beirut : Darul Ummah
Al Maliki, Abdurrahman. 1990. Nidzam al Uqubat. Min Mansyurat Hizb at Tahrir
(Disampaikan dalam Konferensi Tokoh Umat 1433H, di Gedung Sultan Suriansyah Banjarmasin, 17 Mei 2012)
[1]
kebutuhan (need) dengan keinginan (want) tidaklah bisa disamakan.
Keinginan (want) manusia memang tidak terbatas, namun kebutuhan pokok
manusia terbatas, sedang kebutuhan skunder/tersier memang berkembang.
[2] mediaindonesia.com,
29/10/11. Produksi beras nasional rata-rata 37 juta ton per tahun,
sedang kebutuhan konsumsi rata-rata 3 juta ton. Namun demikian ternyata
masih banyak yang tidak mampu membeli beras sehingga terpaksa makan nasi
aking.
[5]
Sanad hadits ini diperselisihkan, menurut tahqiq Syu’aib Arna’ut
sanadnya lemah karena Abu Bisyr majhûl, Al Hafidl Ibn Hajar dalam al-Qawl al-Musaddad (hal.22, maktabah syamilah) mengomentari riwayat di atas, “Abu Bisyr di sini ia adalah Ja’far bin Abi Wahsyiyah, termasuk rijâl asy-syaykhayn (perowi Bukhory Muslim)”.
0 comments:
Post a Comment