4 Feb 2015

SISTEM EKONOMI DAULAH KHILAFAH

Oleh: M. Taufik N.T
Islam membedakan antara pembahasan ekonomi dari segi bagaimana pengadaan (produksi) barang dan jasa dan upaya meningkatkannya, diistilahkan dengan ilmu ekonomi, dengan pembahasan ekonomi dari segi kepemilikan, pemanfaatan, pengembangan dan distribusi harta kekayaan kepada masyarakat, diistilahkan dengan sistem ekonomi.

Pembahasan ekonomi dari segi pengadaan (produksi) berikut upaya meningkatkan produktivitas barang dan jasa tidak dipengaruhi oleh pandangan hidup (ideologi) tertentu dan bersifat universal, maka ia dapat diambil dari manapun juga selama bermanfaat, inilah yang. Adapun pembahasan tentang kepemilikan harta kekayaan, bagaimana memanfaatkan dan mengembangkan harta kekayaan serta bagaimana mendistribusikan harta kekayaan kepada masyarakat sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup t
ertentu dan tidak berlaku secara universal.

A. Problematika Ekonomi dan Solusinya

Salah satu perbedaan penting antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi Kapitalis adalah dalam memandang apa sesungguhnya yang menjadi permasalahan utama ekonomi. Dalam sistem ekonomi kapitalis, permasalahan ekonomi yang sesungguhnya adalah kelangkaan (scarcity) barang dan jasa. Hal ini karena setiap manusia mempunyai kebutuhan yang beranekaragam dan jumlahnya tidak terbatas sementara sarana pemuas (barang dan jasa) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia terbatas[1].
Dari pandangan ini solusi pemikiran untuk memecahkan problematika ekonomi tersebut dengan jalan menitikberatkan pada aspek produksi dan pertumbuhan. Perhatian yang begitu besar terhadap aspek produksi dan pertumbuhan seringkali justru mengabaikan aspek distribusi dan kesejahteraan masyarakat banyak. Hal ini dapat dilihat dari keberpihakan yang sangat besar kepada para konglomerat, sebab pertumbuhan yang tinggi dengan mudah dapat dicapai dengan jalan ekonomi konglomerasi dan sulit/ lambat jika ditempuh dengan mengandalkan ekonomi kecil dan menengah.
Sebagai contoh dalam kasus makanan, permasalahan ekonomi seolah-olah dianggap sudah teratasi jika produksi/stok beras sudah lebih dari total kebutuhan rakyat, “Kebutuhan beras tahun ini akan terpenuhi oleh persediaan yang ada,” kata Suswono, menteri pertanian[2]. Disisi lain apakah beras tersebut bisa dinikmati oleh rakyat kurang mendapat perhatian, bahkan petani penanam padi di daerah lumbung padi pun hidup kekurangan, dengan rata-rata hasil bersih Rp. 350 ribu/bulan[3].
Dalam pandangan sistem ekonomi Islam, problematika ekonomi yang utama adalah masalah pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga negara, walaupun pertumbuhan dan produksi barang dan jasa tinggi, namun bila ada warga negara yang tidak terpenuhi kebutuhan pokoknya, berarti ekonomi negara tersebut berada dalam masalah.
Oleh sebab itu, solusi problem utama ekonomi sebenarnya adalah bagaimana mengatur distribusi harta kekayaan sehingga semua individu terpenuhi kebutuhan pokoknya dan kekayaan tersebut beredar tidak hanya dikalangan orang-orang kaya saja. Banyak ayat al-Quran dan al-Hadits yang berbicara masalah distribusi kekayaan, diantaranya nash-nash yang memerintahkan manusia untuk menginfakkan harta dan memberi makan orang-orang fakir, miskin, dan kekurangan, seperti dalam QS al-Hajj [22]: 28; al-Baqarah [2]: 177, 184, 215; al-Insan [76]: 8, al-Fajr [90]:13-14; dan al-Maidah [5]: 89. Al-Quran menyatakan bahwa dalam setiap harta terdapat hak bagi orang miskin. Allah Swt. berfirman:

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

Pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta-minta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian[4] (QS adz-Dzariyat [51]: 19).
Islam mencegah berputarnya harta kekayaan hanya di kalangan orang-orang kaya, sementara kelompok lainnya tidak memperoleh bagian. Allah Swt. berfirman:

كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ

Supaya harta itu jangan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kalian. (QS al-Hasyr [59]: 7).
Rasulullah saw bersabda:

وَأَيُّمَا أَهْلُ عَرْصَةٍ أَصْبَحَ فِيهِمْ امْرُؤٌ جَائِعٌ فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُمْ ذِمَّةُ اللهِ تَعَالَى

Penduduk negeri manapun yang berada di pagi hari, sementara di tengah-tengah mereka ada orang yang kelaparan maka jaminan Allah telah lepas dari mereka. (HR Ahmad, al-Hakim dan Abu Ya’la)[5]

مَا آمَنَ بِي مَنْ بَاتَ شَبْعَانَ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَهُوَ يَعْلَمُ بِهِ

Tidaklah beriman kepadaku orang yang bermalam dalam kondisi kenyang, sedangkan tetangga sebelahnya lapar dan dia mengetahui (HR. Thabrani dan Al Bazzar dari Anas dg sanad shahih)
Ayat-ayat dan hadits diatas memberikan pemahaman bahwa yyang dipermasalahkan oleh Islam adalah bagaimana kebutuhan pokok setiap individu rakyat terpenuhi, oleh sebab itu pemecahannya terletak pada mekanisme distribusi kekayaan di tengah-tengah umat baik melalui mekanisme ekonomi maupun non ekonomi.

B. Politik Ekonomi Islam: Strategi Pemenuhan Kebutuhan Pokok Masyarakat

Yang termasuk dalam kebutuhan pokok (primer) dalam pandangan Islam mencakup kebutuhan terhadap barang-barang tertentu berupa makanan, pakaian dan perumahan, serta kebutuhan terhadap jasa-jasa tertentu berupa keamanan, pendidikan dan kesehatan. Sistem Ekonomi Islam telah menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) setiap warga negara secara menyeluruh baik kebutuhan yang berupa barang maupun jasa.
Makanan, pakaian dan perumahan adalah kebutuhan pokok (primer) manusia yang harus dipenuhi. Tidak seorangpun yang dapat melepaskan diri dari kebutuhan tersebut. Adapun dalil yang menunjukkan bahwa ketiga kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan pokok adalah nash-nash yang berkenaan dengan makanan, pakaian dan perumahan. Diantaranya adalah:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik…” (QS. Al-Baqarah :233)

وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“…Dan berilah makan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj[22] : 28)

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di tempat kamu berperumahan menurut kemampuanmu…” (QS. At-Thalaq [65] : 6)
Demikian pula jasa-jasa keamanan, kesehatan dan pendidikan, adalah tiga hal yang merupakan kebutuhan pokok manusia dalam hidupnya. Rasulullah saw bersabda :

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

“Barangsiapa yang bangun pagi dalam keadaan aman jiwanya, sehat badannya dan disampingnya ada makanan hari itu, maka seakan-akan dunia ini telah dikumpulkan baginya.” (HR. at Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad hasan).
Rasulullah saw bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Mencari ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim” (HR. Ibnu Majah, at Thabrani, al Bayhaqi dan Abu Ya’la).
Secara garis besar strategi pemenuhan kebutuhan pokok dibedakan antara kebutuhan pokok yang berupa barang (pakaian, makanan dan perumahan) dengan pemenuhan kebutuhan pokok berupa jasa (keamanan, kesehatan dan pendidikan). Hal ini dilakukan karena terdapat perbedaan antara pelaksanaan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok yang berbentuk barang dengan yang berbentuk jasa. Untuk pemenuhan kebutuhan pokok yang berupa barang sistem ekonomi Islam memberikan jaminan dengan mekanisme tidak langsung, yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan tersebut. Sedangkan berkaitan dengan kebutuhan jasa pokok dipenuhi dengan mekanisme langsung, yakni negara secara langsung memenuhi kebutuhan jasa pokok tersebut.

1. Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Barang

Secara umum, sistem ekonomi Islam menetapkan dua mekanisme distribusi kekayaan, yakni mekanisme ekonomi dan non ekonomi.

a. Mekanisme Ekonomi

Mekanisme ekonomi adalah mekanisme yang terjadi akibat tukar-menukar barang dan jasa dari para pemiliknya. Di antara dalil absahnya mekanisme ini adalah firman Allah Swt.:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian (QS al-Nisa’ [4]: 29).
Diantara mekanisme ekonomi Islam untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok berupa barang adalah:
1) Mewajibkan dan memberikan dorongan spiritual kepada laki-laki agar bekerja untuk mencukupi kebutuhan pokok dirinya dan tanggungannya. Negara wajib membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab kepemilikan individu, serta memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan kepemilikan melalui kegiatan investasi. Beberapa nash berkaitan dengan ini antara lain:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.”(QS. al-Baqarah:233).

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ، فَيَحْتَطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْتِيَ رَجُلًا، فَيَسْأَلَهُ أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ

“Demi Allah, jika seseorang di antara kamu membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian dipikul ke pasar untuk dijual, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik ia diberi atau ditolak. (HR. Bukhari dan Muslim)

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

“Tidak ada orang yang makan makanan yang lebih baik daripada hasil pekerjaan tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud as makan dari hasil kerjanya sendiri” (HR. Bukhory)

مَنْ غَرَسَ غَرْسًا، أَوْ زَرَعَ زَرْعًا فَأَكَلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ أَوْ دَابَّةٌ أَوْ طَيْرٌ أَوْ سَبْعٌ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ

Barangsiapa yang menanam suatu tanaman lalu ada manusia atau burung atau hewan buas atau hewan kendaraan yang memakannya, maka itu menjadi sedekah baginya (HR. Ahmad, hadits shahih, perowinya perowi Syaikhain selain Thalhah bin Nâfi’, dia perowi Imam Muslim)
Negara juga wajib menciptakan lapangan kerja yang mencukupi dan menyuruh/memaksa dan mendidik rakyatnya untuk bekerja agar kebutuhan pokok mereka dapat mereka cukupi. Bahkan Islam mengancam siapa saja yang mengabaikan urusan rakyat, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Tidak ada seorang hamba yang dijadikan Allah mengatur rakyat, kemudian dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya (tidak menunaikan hak rakyatnya), kecuali Allah akan haramkan dia (langsung masuk) surga.” (HR. Muslim)
Rasulullah pernah menyuruh seorang shahabat yang meminta-minta untuk mengambil barangnya, kemudian Rasul melelangnya dan memberikan hasil penjualannya sambil berkata: …

اشْتَرِ بِأَحَدِهِمَا طَعَامًا فَانْبِذْهُ إِلَى أَهْلِكَ وَاشْتَرِ بِالْآخَرِ قَدُومًا فَأْتِنِي بِهِ فَأَتَاهُ بِهِ فَشَدَّ فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُودًا بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ لَهُ اذْهَبْ فَاحْتَطِبْ وَبِعْ وَلَا أَرَيَنَّكَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا

“Belilah makanan dengan satu dirham kemudian berikan kepada keluargamu, dan belilah kapak kemudian bawalah kepadaku.” Kemudian orang tersebut membawanya kepada beliau, lalu Rasulullah mengikatkan kayu pada kapak tersebut dengan tangannya kemudian berkata kepadanya: “Pergilah kemudian carilah kayu dan juallah. Jangan sampai aku melihatmu selama lima belas hari.” … (HR. Abu Dawud & Ibnu Majah)
Ketika Khalifah Umar r.a. mendengar jawaban orang-orang yang berdiam di masjid di saat orang lain sibuk bekerja, mereka beralasan bahwa mereka bertawakkal, beliau berkata: “(tidak demikian), tetapi kalian adalah orang yang pura-pura bertawakkal, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.”
Kemudian Umar ra. Menngeluarkan mereka dari masjid, dan memberi mereka setakar biji-bijian. Beliau katakan pada mereka: “Tanamlah dan bertawakkallah kepada Allah!”
Dari sini, Imam Ghazali rahimahullah menyatakan bahwa wajib atas Waliyul amri (pemerintah) memberi sarana-sarana pekerjaan kepada para pencari kerja. [6]
2) Melarang hal-hal yang menyebabkan kekacauan ekonomi, diantaranya:
a. Menimbun harta benda (ihtikâr) walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Harta yang ditimbun tidak akan berfungsi ekonomi. Pada gilirannya akan menghambat distribusi karena tidak terjadi perputaran harta. Penimbun adalah orang yang mengumpulkan barang-barang dengan menunggu waktu naiknya harga barang-barang tersebut, sehingga dia bisa menjualnya dengan harga yang tinggi, sementara masyarakat mengalami kesulitan untuk menjangkau harganya. Cara seperti ini adalah cara yang telah diharamkan oleh Islam. Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa menimbun barang, maka dia berdosa.” (HR. Muslim No. 3012).
Demikian pula penimbunan emas dan perak (QS al-Taubah [9]: 34). Dalam mekanisme ekonomi, kedua logam mulia itu berfungsi sebagai alat tukar. Sebagai alat tukar, uang memiliki kedudukan amat strategis, yang jika ditimbun maka akan berakibat pada seretnya pertukaran barang dan jasa, atau bahkan terhenti.
Namun perlu diperhatikan Islam membedakan antara menimbun dengan penyimpanan (saving). Menimbun kekayaan yang diharamkan adalah menimbun kekayaan melebihi keperluan, sedangkan penyimpanan harta karena ada sesuatu keperluan adalah dibolehkan. Jadi menyimpan kekayaan untuk membeli rumah, mendirikan perusahaan, untuk pendidikan, untuk biaya naik haji dan lain sebagainya adalah tidak dikategorikan sebagai menimbun harta yang dilarang.
b. Monopoli dan penipuan. Penipuan harga yang keji (ghabn al fâkhisy) , yaitu membeli dengan harga yang sangat jauh dari harga rata-rata sementara pihak yang ditipu tidak mengetahui harga pasar. Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kalian mencegat rombongan dagang (sebelum sampai di pasar) …” (HR. Bukhory No. 2006)
Dilarang pula penipuan barang (tadlis), yang dapat terjadi baik pada pihak penjual (dengan menyembunyikan cacat barang) maupun pihak pembeli (dengan memanipulasi alat pembayaran). Rasulullah saw bersabda:

وَلَا تُصَرُّوا الْغَنَمَ وَمَنْ ابْتَاعَهَا فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْتَلِبَهَا إِنْ رَضِيَهَا أَمْسَكَهَا وَإِنْ سَخِطَهَا رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْر

“ … Janganlah kalian menahan susu dari binatang ternak (yang kurus, dengan maksud menipu calon pembeli). Maka siapa yang membelinya setelah itu maka dia punya hak pilih setelah dia memerahnya, bila dia rela maka diambilnya dan bila dia tidak suka dikembalikannya dengan menambah satu sha’ kurma” (HR. Bukhory no. 2006)
c. Perjudian, riba, korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada penguasa. Perjudian disamping memunculkan permusuhan dan menjadikan orang lalai dari mengingat Allah (QS Al Maidah: 90) juga menyebabkan orang tidak akan produktif menghasilkan barang atau jasa, disisi lain, sudah menjadi rahasia umum, bahwa mayoritas yang akan meraup keuntungan hanyalah para bandar, sehingga dari sisi distribusi menyebabkan harta akan berputar ditangan mereka saja. Adapun korupsi, suap dan hadiah kepada penguasa akan memperlemah aktivitas ekonomi dan menimbulkan inefisiensi.
Dalam hadits riwayat Imam Bukhory dan Muslim, diceritakan bahwa Rasulullah saw sangat marah kepada seorang pegawai negara dalam pengambilan zakat. Orang tersebut telah menerima hadiah dari seseorang. Ketika ia kembali dengan membawa sejumlah harta, orang tersebut berkata kepada Rasulullah saw: “(harta) Ini untuk anda dan (harta) ini untukku krn dihadiahkan kepadaku”. Setelah mendengar kata-kata tersebut, Rasulullah s.a.w naik keatas mimbar. Setelah mengucapkan puji-pujian ke hadirat Allah, beliau bersabda: Adakah patut seorang petugas yang aku kirim untuk mengurus suatu tugas berani berkata: “Ini untuk anda dan ini untukku krn memang dihadiahkan kepadaku”? Bukankah lebih baik dia duduk di rumah bapa atau ibunya (tanpa memegang suatu jabatan) dan perhatikan apakah dia akan dihadiahi sesuatu atau tidak. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di dalam genggaman-Nya, tidaklah seorang di antara kalian (pejabat) memperoleh sesuatu darinya, kecuali pada Hari Kiamat dia akan datang dengan memikul seekor unta yang sedang melenguh atau seekor lembu atau seekor kambing yang mengembek di atas tengkuknya. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi sehingga tampak kedua ketiaknya yang putih dan bersabda: Ya Allah! Bukankah aku telah sampaikannya, sebanyak dua kali.
3) Mengatasi peredaran kekayaan di satu daerah tertentu saja, atau pada kelompok tertentu saja.
Allah berfirman:

كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ

… Supaya harta itu jangan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kalian. (QS al-Hasyr [59]: 7).
Sebagai contoh dalam kasus fai’ Bani Nadhir, Rasulullah saw membagikannya hanya kepada orang-orang miskin saja (yakni Muhajirin dan dua orang Anshar). Adapun pada masa Abu Bakar, karena tingkat kesejahteraan Muhajirin dan Anshar sudah berimbang, maka Abu Bakar r.a melakukan pembagian secara merata dikalangan mereka.
4) Pemanfaatan secara optimal hasil dari kepemilikan umum. Hasil dari kepemilikan umum adalah milik rakyat, tanpa membedakan apakah mereka muslim atau tidak. Sumber daya alam (SDA) yang tergolong sebagai milik umum ini nilainya pun amat besar. Apabila SDA itu boleh dikuasai individu tertentu, niscaya harta akan terkosentrasi pada sekelompok orang. Dengan menguasai SDA itu, pemilik modal besar akan dengan mudah pula menggelembungkan kekayaannya. Sebaliknya, kalangan miskin kian kesulitan mengakses SDA itu dan memenuhi kebutuhannya.
Bila semua mekanisme ekonomi berjalan sempuma, tapi kesenjangan ekonomi tetap saja terjadi, masih ada mekanisme lain, yakni melalui mekanisme non-ekonomi.

b.Mekanisme Non Ekonomi

Mekanisme non ekonomi adalah sebuah mekanisme yang tidak dihasilkan dari transaksi pertukaran barang dan jasa. Barang dan jasa mengalir dari satu pihak kepada pihak lain tanpa meminta timbal balik. Mekanisme bisa diterapkan kepada orang-orang lemah, miskin, dan kekurangan. Dengan mekanisme tersebut, mereka diharapkan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan lebih dari itu, mereka dapat bangkit untuk kembali berkompetisi dalam mekanisme ekonomi dengan modal dari mekanisme non ekonomi itu.
Dalam Islam cukup banyak aliran barang dan jasa yang tidak melalui mekanisme ekonomi. Di antaranya adalah zakat. Islam mewajibkan orang kaya membayar zakat. Harta itu kemudian disalurkan kepada delapan golongan, yang sebagian besarnya adalah orang-orang miskin dan membutuhkan pertolongan. Sebagai sebuah kewajiban, pembayaran zakat tidak harus menanti kesadaran orang-perorang. Negara juga harus proaktif mengambilnya dari kaum Muslim (QS at-Taubah [9]: 103), sebagaimana yang dilakukan Khalifah Abu Bakar. Orang yang menolak untuk membayar zakat beliau perangi hingga menyerahkan zakatnya.
Selain zakat, ada juga infak dan sedekah yang disunnahkan. Semua jenis pemberian itu dilakukan tanpa mengharap pengembalian. Demikian pula hibah, hadiah, dan wasiat; termasuk pula pembagian harta waris. Negara juga bisa memberikan tanah kepada warganya. Dalam fikih, kebijakan itu dikenal dengan iqthâ’.
Dengan adanya dua mekanisme itulah Islam dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap warganya.

2. Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Jasa

a. Jaminan Keamanan
Dalil yang menunjukkan jaminan keamanan untuk setiap warga negara, baik muslim atau non muslim adalah tindakan Rasulullah saw sebagai kepala negara yang memberikan keamanan kepada setiap warga negara sebagaimana sabdanya: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi; tidak ada ilah kecuali Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang demikian maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haq Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah” (HR. Bukhari dan Muslim).
“Barang siapa yang membunuh mu’ahad (orang kafir yang terikat perjanjian) maka dia tidak akan mencium bau surga padahal sesungguhnya bau surga itu dapat dirasakan dari jarak empat puluh tahun perjalanan”. (HR. Bukhory)
Mekanisme untuk menjamin keamanan setiap anggota masyarakat, adalah dengan jalan menerapkan aturan yang tegas kepada siapa saja yang akan dan mengganggu keamanan jiwa, darah dan harta orang lain. Aturan yang tegas ini selain berfungsi sebagai upaya mencegah terjadinya tindakan gangguan keamanan, juga berfungsi sebagai tindakan hukuman hingga membuat pelaku jera.
Hukum Islam menetapkan bahwa siapa yang membunuh dengan sengaja maka ia harus dikenakan hukum qishash, dengan jalan dibunuh kembali, atau ahli warisnya dapat menuntut ganti rugi berupa diyat (denda) yang besarnya senilai dengan 100 ekor unta. Bahkan terhadap pembunuhan yang tidak sengajapun akan dikenakan hukuman kepada orang yang telah lalai tersebut berupa diyat sebagaimana dalam surat Al-Baqarah : 178 dan surat An-Nisaa : 92.
Demikian juga siapa saja yang mengganggu keamanan harta orang lain dengan jalan mencuri, menggarong atau merampoknya, maka akan dikenakan hukuman yang tegas dan keras. Sebagai gambaran kepada pencurian barang yang besarnya ¼ dinar atau lebih (1 dinar = 4,25 gram emas) maka Islam menetapkan hukuman potong tangan sebagaimana Allah nyatakan dalam surat Al-Maidah : 38 dan sabda Rasulullah saw: “Tidak dipotong tangan kecuali (dalam pencurian) sebesar ¼ dinar ke atas”. (HR. Muslim)
Masih banyak ketentuan-ketentuan hukum Islam yang menjamin keamanan jiwa, darah dan harta setiap warga negara. Hukum-hukum itu diterapkan dengan tegas adalah dalam rangka mencegah masyarakat untuk tidak berbuat kejahatan.
b. Jaminan Kesehatan
Jaminan kesehatan juga diberikan gratis oleh negara, pembiayaannya diambilkan dari Baitul Mal kaum muslimin. Rasulullah saw pernah menjadikan dokter yang diberikan kepada beliau sebagai dokter untuk seluruh rakyat. Tindakan Rasulullah saw itu, dengan menjadikan dokter tersebut sebagai dokter kaum muslimin, menunjukkan bahwa hadiah tersebut bukanlah untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadiah semacam itu bukanlah khusus diperuntukkan bagi Beliau, tetapi untuk kaum muslimin, atau untuk negara. Lain halnya apabila hadiah tersebut dipakai oleh beliau pribadi, seperti selimut bulu dan keledai hadiah dari Raja Aikah, misalnya, maka hadiah seperti itu memang khusus untuk pribadi, bukan untuk seluruh kaum muslimin. Rasulullah saw juga pernah membangun suatu tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta benda Baitul Mal.
Pernah serombongan orang berjumlah delapan orang dari Urairah datang mengunjungi Rasulullah saw di Madinah. Mereka kemudian menyatakan keimanan dan keislamannya kepada Rasulullah, karena Allah. Di sana, mereka terserang penyakit dan menderita sakit limpa. Rasulullah saw memerintahkan mereka beristirahat di pos penggembalaan ternak kaum muslimin milik Baitul Mal, di sebelah Quba’, di tempat yang bernama “Zhi Jadr”. Mereka tinggal di sana hingga sembuh dan gemuk kembali. Mereka diijinkan meminum susu binatang-binatang ternak itu (onta), karena mereka memang berhak.
Dalam bidang pelayanan kesehatan ini, Bani Ibnu Thulun di Mesir, memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat untuk mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman-minuman dan obat-obatan serta dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk memberikan pengobatan gratis kepada orang-orang sakit.
Jadi, keberadaan dokter di tengah masyarakat, terpecahnya problema kesehatan masyarakat, dan pembangunan sarana atau balai-balai kesehatan, adalah tugas-tugas yang dibebankan Islam terhadap negara. Negaralah yang bertanggung jawab terhadap perwujudan semua itu.
c. Jaminan Pendidikan
Pendidikan adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh rakyat. Sementara negara berkewajiban menjadikan saran-sarana dan tempat-tempat pendidikan.
Rasulullah saw telah menetapkan kebijakan terhadap para tawanan perang Badar bahwa mereka bisa bebas bila telah mengajarkan 10 orang penduduk Madinah dalam baca-tulis. Tugas itu menjadi tebusan untuk kebebasan dirinya, padahal tebusan tawanan adalah sumber pemasukan Baitul Mal. Hal ini berarti bahwa Rasulullah saw telah menjadikan biaya pendidikan itu dibebankan kepada Baitul Mal.
Al-Badri (1990) juga menceritakan Imam Ibnu Hazm, dalam kitab “Al Ahkaam”, setelah memberikan batas ketentuan untuk ilmu-ilmu yang tidak boleh ditinggalkan, agar ibadah dan mu’amalah kaum muslimin dapat diterima (sah). Beliau menjelaskan bahwa seorang imam atau kepala negara berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan, sampai pada ungkapannya:
“Diwajibkan atas seorang imam untuk menangani masalah itu dan menggaji orang-orang tertentu untuk mendidik masyarakat.”

C. Kesimpulan

Kesejahteraan dan keberkahan hidup hanya ada ketika kita menjadikan syari’ah Allah sebagai aturan hidup, tidak terkecuali dalam bidang ekonomi. Hanya dengan sistem ekonomi Islam yang bisa menjadi solusi bagi buruknya distribusi kekayaan. Tentu saja, keunggulan sistem Islam hanya akan mewujud secara sempurna jika ada instiusi pemerintahan Islam, yakni Khilafah, yang menerapkannya secara total. Sebaliknya, berpaling dari aturan-Nya akan semakin menambah parah keadaan yang ada. Rasulullah saw bersabda:

… وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ

… Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka enggan menjalankan hukum-hukum Allah dan mereka memilih-milih apa yang diturunkan Allah (sebagian diambil, sebagian dibuang), kecuali Allah akan menjadikan bencana di antara mereka.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad hasan, juga Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliya).
Daftar Pustaka
Al Qur’an, Tafsir, Hadits, dll dalam Maktabah Syâmilah
Abdullah, M.H. 1990. Diraasaat fil Fikril Islami. Aman: Darul Bayariq
An Nabhani, T. 2004. Nidzomul Iqtishody Fil Islam. Beirut : Darul Ummah
Al Badri, Abdul Aziz. 1408H. Al Islam Dlominun lil Hâjât. Aman: Darul Bayariq
Zallum, Abdul Qadim. 2004. Al Amwal Fi Dawlati Al Khilafah. Beirut : Darul Ummah
Hizbut Tahrir. 2009. Muqaddimatud Dustur awil Asbaabul Maujibatu lahu. Beirut : Darul Ummah
Al Maliki, Abdurrahman. 1990. Nidzam al Uqubat. Min Mansyurat Hizb at Tahrir
(Disampaikan dalam Konferensi Tokoh Umat 1433H, di Gedung Sultan Suriansyah Banjarmasin, 17 Mei 2012)

[1] kebutuhan (need) dengan keinginan (want) tidaklah bisa disamakan. Keinginan (want) manusia memang tidak terbatas, namun kebutuhan pokok manusia terbatas, sedang kebutuhan skunder/tersier memang berkembang.
[2] mediaindonesia.com, 29/10/11. Produksi beras nasional rata-rata 37 juta ton per tahun, sedang kebutuhan konsumsi rata-rata 3 juta ton. Namun demikian ternyata masih banyak yang tidak mampu membeli beras sehingga terpaksa makan nasi aking.
[3] m.poskota.co.id (20/12/11)
[4] Yakni orang miskin yang tidak meminta-minta.
[5] Sanad hadits ini diperselisihkan, menurut tahqiq Syu’aib Arna’ut sanadnya lemah karena Abu Bisyr majhûl, Al Hafidl Ibn Hajar dalam al-Qawl al-Musaddad (hal.22, maktabah syamilah) mengomentari riwayat di atas, “Abu Bisyr di sini ia adalah Ja’far bin Abi Wahsyiyah, termasuk rijâl asy-syaykhayn (perowi Bukhory Muslim)”.
[6] Abdul ‘Aziz Al Badri, Al Islam Dlominun lil Hâjât, hal. 9

0 comments:

Post a Comment