Soal: Ustadz yang terhormat, saya mau nanya bagaimana
hukumnya menanyi dan musik dalam pandangan Islam? Karena ada sebagian
ulama yang mengharamkan, tapi ada sebagian ulama yang membolehkan. Mohon
penjelasannya.
Jawab :
Pendahuluan
Keperihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau
kita melihat ulah generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam
bermain musik atau bernyanyi. Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau
kelompok musik terkenal yang umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta
tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit
atau jarang mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di
tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil, generasi
muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau penyanyi
sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan
berbagai media lainnya.
Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut
tercipta karena sistem kehidupan kita telah menganut paham sekularisme yang
sangat bertentangan dengan Islam. Muhammad Quthb mengatakan sekularisme adalah
iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad dîn, artinya, mengatur kehidupan
dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam bahasa yang lebih tajam,
sekularisme menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah memisahkan agama dari
segala urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an al-hayah) (Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm, hal. 25). Dengan demikian, sekularisme sebenarnya tidak
sekedar terwujud dalam pemisahan agama dari dunia politik, tetapi juga nampak
dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya, termasuk seni musik dan seni
vokal (nyanyian).
Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan
merobohkan sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita
bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan yang berasaskan
semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw dan para
shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan radikal terhadap kondisi kehidupan
yang sangat rusak dan buruk sekarang ini, sebagai akibat penerapan paham
sekulerisme yang kufur. Namun demikian, di tengah perjuangan kita mewujudkan
kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti kita saat ini tidak berbuat
apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak demikian. Kita
tetap wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat
kita lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam
dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita.
Tulisan ini bertujuan
menjelaskan secara ringkas hukum musik dan menyanyi dalam pandangan fiqih
Islam. Diharapkan, norma-norma Islami yang disampaikan dalam makalah ini tidak
hanya menjadi bahan perdebatan akademis atau menjadi wacana semata, tetapi juga
menjadi acuan dasar untuk merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam
perspektif Islam. Selain itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan
bermuara pada pengamalan konkret di lapangan, berupa perilaku Islami yang nyata
dalam aktivitas bermain musik atau melantunkan lagu. Minimal di kampus atau
lingkungan kita.
Definisi Seni
Karena bernyanyi dan bermain musik adalah
bagian dari seni, maka kita akan meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai
proses pendahuluan untuk memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek
penerapan hukum. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah
penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan
dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh
indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan
dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni
Dalam Pandangan Islam, hal. 13).
Adapun seni musik (instrumental art) adalah
seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari
alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan
instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni
musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa
vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti
telah dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan melalui media
alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan cara
melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen
musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal
(gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan alat-alat musik majemuk
seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya (Dr. Abdurrahman
al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13-14). Inilah sekilas penjelasan
fakta seni musik dan seni vokal yang menjadi topik pembahasan.
Tinjauan
Fiqih Islam
Dalam pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, penulis melakukan
pemilahan hukum berdasarkan variasi dan kompleksitas fakta yang ada dalam
aktivitas bermusik dan menyanyi. Menurut penulis, terlalu sederhana jika
hukumnya hanya digolongkan menjadi dua, yaitu hukum memainkan musik dan hukum
menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih beranekaragam dari dua aktivitas
tersebut. Maka dari itu, paling tidak, ada 4 (empat) hukum fiqih yang berkaitan
dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi, yaitu:
Pertama, hukum melantunkan
nyanyian (ghina’).
Kedua, hukum mendengarkan nyanyian.
Ketiga, hukum memainkan
alat musik.
Keempat, hukum mendengarkan musik.
Di samping pembahasan ini, akan
disajikan juga tinjauan fiqih Islam berupa kaidah-kaidah atau patokan-patokan
umum, agar aktivitas bermain musik dan bernyanyi tidak tercampur dengan
kemaksiatan atau keharaman.
Ada baiknya penulis sampaikan, bahwa hukum menyanyi
dan bermain musik bukan hukum yang disepakati oleh para fuqaha, melainkan hukum
yang termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi para ulama mempunyai pendapat
berbeda-beda dalam masalah ini (Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh
‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, hal. 41-42; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki,
Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96; Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam
Pandangan Islam, hal. 21-25; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan
Seni Tari Dalam Islam, hal. 3). Karena itu, boleh jadi pendirian penulis dalam
tulisan ini akan berbeda dengan pendapat sebagian fuqaha atau ulama lainnya.
Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang berbeda dengan
pendapat penulis, tetap penulis hormati.
Hukum Melantunkan Nyanyian
(al-Ghina’ / at-Taghanni)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi
(al-ghina’ / at-taghanni). Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya
menghalalkan. Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut
sebagian dalil masing-masing, seperti diuraikan oleh al-Ustadz Muhammad
al-Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful
Qathi’i lin-Niza’ bab Fi Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu
(Musik. http://www.ashifnet.tripod.com),/ juga oleh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi
dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam (hal. 27-38), dan Syaikh Muhammad
asy-Syuwaiki dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas (hal. 97-101):
A. Dalil-Dalil
Yang Mengharamkan Nyanyian:
a. Berdasarkan firman Allah:
“Dan di antara manusia
ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk
menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan
Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Qs.
Luqmân [31]: 6) Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai
nyanyian, musik atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan
Ibnu Mas’ud. Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah
Qs. an-Najm [53]: 59-61; dan Qs. al-Isrâ’ [17]: 64 (Abi Bakar Jabir al-Jazairi,
Haramkah Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal.
20-22).
b. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina,
sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari,
hadits no. 5590].
c. Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya
Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya,
mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas.
[HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].
d. Hadits dari Ibnu Mas’ud ra,
Rasulullah Saw bersabda: “Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air
menumbuhkan kembang.” [HR. Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf].
e.
Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda: “Orang yang bernyanyi, maka
Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan
memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu
Abid Dunya.].
f. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah
Saw bersabda: “Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu:
1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan
(mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga
menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan
(rannatus syaithan).”
B. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:
a. Firman
Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang
baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah
[5]: 87).
b. Hadits dari Nafi’ ra, katanya: Aku berjalan bersama Abdullah Bin
Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup
telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi,
masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia
lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw.” [HR.
Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].
c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:
Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti
dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul
gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang
Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada
Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw
bersabda: “Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.”
[HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].
d. Dari
Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba
Rasulullah Saw bersabda: “Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang
Anshar itu suka pada permainan.” [HR. Bukhari].
e. Dari Abu Hurairah ra,
sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan
syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata:
“Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia
daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR. Muslim, juz II, hal. 485].
C. Pandangan
Penulis
Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya),
akan nampak adanya kontradiksi (ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya.
Karena itu kita perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di
kalangan ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak
bertentangan itu.
Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi
Saw ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya
menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat
dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau
salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir).
Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun
mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Imam asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila
Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, hal. 275).
Karena itu, jika ada dua kelompok
dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah
melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya, bukan menolak salah satunya.
Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi
pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada
melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya.
Dalam hal ini Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul
fiqih:
Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima
“Mengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama
daripada meninggalkan salah satunya.” (Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah,
Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, hal. 390).
Prinsip yang demikian itu dikarenakan
pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan
(tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:
Al-ashlu fi ad-dalil
al-i’mal lâ al-ihmal “Pada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan
untuk ditanggalkan.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah
al-Islamiyah, juz 1, hal. 239).
Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah
bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut : bahwa dalil yang
mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan,
menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya nyanyian
pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti
pada hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan
menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan,
menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau kriterianya)
(Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 63-64; Syaikh
Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103).
Dari sini
kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan.
Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu
nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa
perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai
khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau
syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung
pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan
sebagainya. Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu
nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran.
Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang
meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu,
menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya (Dr. Abdurrahman
al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 64-65; Syaikh Muhammad
asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 103).
Hukum Mendengarkan
Nyanyian
a. Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ al-Ghina’)
Hukum menyanyi tidak
dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan
antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (sama’
al-ghina’). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-‘âl (perbuatan) yang
hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm
asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘âl
jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-‘âl jibiliyyah adalah
perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan manusia,
seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan,
minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang
tergolong kepada af-‘âl jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah, kecuali adfa
dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan:
Al-ashlu fi al-af’âl
al-jibiliyah al-ibahah “Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah
mubah.” (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96).
Maka dari itu, melihat —sebagai perbuatan jibiliyyah— hukum asalnya adalah
boleh (ibahah). Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung,
pohon, batu, kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan
dalil khusus untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh
menurut syara’. Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat
sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya
haram.
Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan
jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja
boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar, suara binatang, juga suara
manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan.
Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun
mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh
mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan, “Saya akan
membunuh si Fulan!” Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar
perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita
berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita
diharamkan mendiamkannya.
Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar
mendengarkan nyanyian adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab
mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi
atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam
diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi Saw bersabda:
“Siapa
saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan
tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya
(ucapannya). Jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai).
Dan itu adalah selemah-lemah iman.” [HR. Imam Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan
Ibnu Majah].
b. Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ al-Ghina’)
Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’). Ada
hukum lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima’ li
al-ghina’). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama’) dengan
mendengar-interaktif (istima’). Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah
sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses
menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’ li al-ghina’, adalah lebih dari
sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi dengan penyanyi,
yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana,
dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki,
Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama’
al-ghina’) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian
(istima’ al-ghina’) bukan perbuatan jibiliyyah.
Jika seseorang mendengarkan
nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama
sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu
boleh mendengarkan nyanyian tersebut. Adapun jika seseorang mendengar nyanyian
secara interaktif (istima’ al-ghina’) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram,
atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat) karena disertai
dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram (Syaikh
Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Allah SWT
berfirman:
“Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada
pembicaraan yang lainnya.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 140).
“…Maka janganlah kamu duduk
bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi peringatan.” (Qs. al-An’âm
[6]: 68).
Hukum Memainkan Alat Musik
Bagaimanakah hukum memainkan alat
musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya? Jawabannya adalah, secara
tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan
kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda
Nabi Saw:
“Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).”
[HR. Ibnu Majah] ( Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu?
(Al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 52; Toha Yahya Omar, Hukum
Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 24).
Adapun selain alat
musik ad-duff / al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan
dan ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat
Syaikh Nashiruddin al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani
hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan
sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli hadits yang memandang
shahih, seperti Ibnu Shalah dalam Muqaddimah ‘Ulumul Hadits, Imam an-Nawawi
dalam Al-Irsyad, Imam Ibnu Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Imam Ibnu
Hajar dalam Taghliqul Ta’liq, as-Sakhawy dalam Fathul Mugits, ash-Shan’ani
dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar juga Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan
Imam Ibnul Qayyim dan masih banyak lagi. Akan tetapi Syaikh Nashiruddin
al-Albani dalam kitabnya Dha’if al-Adab al-Mufrad setuju dengan pendapat Ibnu
Hazm dalam Al-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah
Munqathi’ (Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Dha’if al-Adab al-Mufrad, hal. 14-16).
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal. 59 mengatakan: “Jika
belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita
perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat
musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” (Dr.
Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).
Kesimpulannya,
memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika
ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik
tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum
asalnya, yaitu mubah.
Hukum Mendengarkan Musik
a. Mendengarkan Musik
Secara Langsung (Live)
Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga
digabung dengan vokal) secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan,
di GOR, lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian
secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan
atau kemungkaran dalam pelaksanaannya.
Jika terdapat unsur kemaksiatan atau
kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat, atau
terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.
Jika tidak terdapat unsur
kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah (Dr. Abdurrahman
al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74).
b. Mendengarkan Musik
Di
Radio, TV, Dan Semisalnya Menurut Dr. Abdurrahman al-Baghdadi (Seni Dalam
Pandangan Islam, hal. 74-76) dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki (Al-Khalash wa
Ikhtilaf an-Nas, hal. 107-108) hukum mendengarkan musik melalui media TV,
radio, dan semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara
langsung sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah
(ibahah), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media
tersebut.
Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yâ’)
—dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya— yaitu mubah. Kaidah syar’iyah
mengenai hukum asal pemanfaatan benda menyebutkan: Al-ashlu fi al-asy-yâ’
al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim “Hukum asal benda-benda, adalah boleh,
selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.” (Dr. Abdurrahman
al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 76).
Namun demikian, meskipun
asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila diduga kuat akan
mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban.
Kaidah syar’iyah menetapkan:
Al-wasilah ila al-haram haram “Segala sesuatu
perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga.” (Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 86).
Pedoman Umum Nyanyian Dan Musik
Islami
Setelah menerangkan berbagai hukum di atas, penulis ingin membuat suatu
pedoman umum tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang lebih
rinci dan operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa
nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau
kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4 (empat) komponen pokok
yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah nyanyian atau alunan musik
yang indah (Islami):
1. Musisi/Penyanyi.
2. Instrumen (alat musik).
3. Sya’ir
dalam bait lagu.
4. Waktu dan Tempat. Berikut sekilas uraiannya:
1).
Musisi/Penyanyi
a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr
/ ma’ruf) dan menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya,
mengajak jihad fi sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau
menentang judi, menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang
kezaliman penguasa sekuler.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru
orang kafir dalam masalah yang bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya)
baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung
salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan sejenisnya.
c) Tidak menyalahi
ketentuan syara’, seperti wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan
transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai
pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian
dan/atau asesoris pria. Ini semua haram.
2). Instrumen/Alat Musik
Dengan
memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat, maka di
antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah:
a) Memberi kemaslahatan
bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya seperti genderang untuk
membangkitkan semangat.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat
musik atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim.
Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si
pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada
dalil yang mengharamkannya.
3). Sya’ir Berisi:
a) Amar ma’ruf (menuntut
keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi munkar (menghujat
kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya)
b) Memuji Allah, Rasul-Nya
dan ciptaan-Nya.
c) Berisi ‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia.
d) Tidak
menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.
e) Hal-hal mubah yang tidak
bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
Tidak berisi:
a) Amar munkar
(mengajak pacaran, dan sebagainya) dan nahi ma’ruf (mencela jilbab,dsb).
b)
Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Qur’an.
c) Berisi “bius” yang menghilangkan
kesadaran manusia sebagai hamba Allah.
d) Ungkapan yang tercela menurut syara’
(porno, tak tahu malu, dan sebagainya).
e) Segala hal yang bertentangan dengan aqidah
dan syariah Islam.
4). Waktu Dan Tempat
a) Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu
sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan
rizki, dan sebagainya.
b) Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang
wajib).
c) Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat).
d)
Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat
(campur baur).
Penutup
Demikianlah kiranya apa yang dapat penulis sampaikan
mengenai hukum menyanyi dan bermusik dalam pandangan Islam. Tentu saja tulisan
ini terlalu sederhana jika dikatakan sempurna. Maka dari itu, dialog dan kritik
konstruktif sangat diperlukan guna penyempurnaan dan koreksi.
Penulis sadari
bahwa permasalahan yang dibahas ini adalah permasalahan khilafiyah. Mungkin
sebagian pembaca ada yang berbeda pandangan dalam menentukan status hukum
menyanyi dan musik ini, dan perbedaan itu sangat penulis hormati.
Semua ini
mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi —walau pun cuma secuil— dalam upaya
melepaskan diri dari masyarakat sekuler yang bobrok, yang menjadi pendahuluan
untuk membangun peradaban dan masyarakat Islam yang kita idam-idamkan bersama,
yaitu masyarakat Islam di bawah naungan Laa ilaaha illallah Muhammadur
Rasulullah. Amin. Wallahu a’lam bi
ash-showab.
[KH. Shiddiq Al-Jawi] (www.faridm.com).
terima kasih ...sangat membantu dalam belajar sebelum saya UAS
ReplyDelete